Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mengkhawatirkan orangutan terancam punah akibat dampak pembangunan bendungan PLTA Batangtoru, Tapanuli Selatan, yang bernilai Rp21 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manager Harian Program Batang Toru Yayasan Ekosistem Lestari, Burhanuddin, melalui keterangan persnya yang diterima Rabu, 1 Mei 2019, menyebutkan bangunan PLTA Batang Toru yang dikerjakan PT North Sumatera Hydro Energi (NSHE) dapat mengancam ekosistem Batangtoru yang memiliki berbagai ragam hayati baik flora dan fauna.
Pembangunan PLTA Batangtoru berkapasitas 510 Mega Watt (MW) dengan pembukaan jalan pembangunan bendungan, menurut dia, dapat mengakibatkan koridor atau perlintasan spesies langka orang utan dari blok Barat ke blok Timur dan blok Selatan terputus.
Terputusnya koridor tersebut juga dikhawatirkan dapat mengancam populasi dan perkembangbiakan orangutan yang diperkirakan jumlahnya sekitar 800 individu ini.
Ancaman lain dari PLTA Batangtoru, lanjutnya, terkait gempa dan rusaknya ekosistem Batangtoru yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna langka seperti raflesia, hutan, harimau Sumatera, tapir, rangkong bertanduk, dan lainnya.
"Bendungan PLTA berada dekat dengan daerah patahan tektonik dan apabila gempa dikhawatirkan kawasan sekitar terancam banjir yang berakibat fatal bagi kehidupan baik manusia maupun satwa liar di daerah tersebut," katanya.
YEL mengaku peduli terhadap lingkungan dan apa yang mereka perjuangkan tersebut bukan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tetapi semata untuk kepentingan semua pihak.
Dr Agus Djoko Ismanto, Senior Advisor LIngkungan PT NSHE kepada ANTARA, Rabu, menyatakan apa yang menjadi kekhawatiran pihak lembaga pemerhati lingkungan (YEL) terlalu berlebihan dan bahkan mengada-ada.
"Proyek strategis nasional PLTA Batangtoru yang mendorong energi baru terbarukan untuk mengurangi emisi karbon ini sudah melalui pengkajian yang matang dan ilmiah serta profesional," katanya.
Untuk menjaga keberagaman hayati termasuk orangutan, PLTA Batangtoru yang berlokasi di areal penggunaan lain (APL) ini kerap melakukan koordinasi dengan BBKSDA dan Balai Litbang LHK.
Sesuai laporan sintesa hasil penelitian Balai Litbang dan Kehutanan Aek Nauli, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian LHK blok Timur orangutan ada sekitar 120-150 individu, blok Barat 360-400 individu, dan blok Selatan 15-27 individu.
Mengantisipasi dampak terhadap satwa liar seperti orangutan, NSHE melakukan langkah-langkah mitigasi di antaranya membangun jembatan arboreal untuk memfasilitasi satwa arboreal melintas areal terbuka akibat proyek.
Menurut Agus Djoko Ismanto, PLTA Batangtoru ini irit lahan atau memakai 0,9 persen atau 67,7 hektare lahan dari seluas 566,3 hektare dibebaskan dari total 7.000 hektare izin lokasi, berada pada tebing curam yang membentuk cekungan tajam seperti huruf "V".
Proyek ini juga menerapkan sistem run off river hydropower sehingga menampung air dalam jumlah banyak, namun air akan tetap mengalir ke hilir selama 24 jam, sehingga aliran sungai tidak terganggu dengan adanya bendungan, karena air akan tetap dilepas terus menerus.
Didiek Djawardi, tenaga ahli NSHE untuk desain bendungan, kegempaan dan terowongan juga mengatakan PLTA Batang Toru dibangun tidak di atas sesar dan dibangun untuk tahan gempa dengan mengadopsi praktik terbaik dari ketentuan nasional dan internasional terbaru.
"PLTA Batangtoru memiliki kajian-kajian gempa yang dipersyaratkan termasuk geologi dan geofisika, termasuk seismic hazard assesment dan seismic hazard analysis," kata Didiek.
Berita lain tentang orangutan di Batangtoru dapat Anda ikuti di Tempo.co.