Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku The Anxious Generation merekam kerusakan mental gen Z akibat telepon seluler dan media sosial.
Kesehatan mental anak-anak perempuan lebih rentan dibanding remaja laki-laki.
Empat solusi mencegah gen Z menjadi generasi cemas dan gelisah.
MEDIA sosial telah menjadi epidemi baru di era digital. Dampaknya merusak kesehatan mental, terutama mereka yang termasuk kelompok gen Z, lahir setelah 1995, seperti kesimpulan Jonathan Haidt dalam bukunya yang terbit tahun lalu, The Anxious Generation. Temuan dan saran dosen psikologi sosial di University of New York itu diikuti regulasi pemakaian media sosial di banyak negara. Pemerintah Indonesia kini mencoba mengikutinya dengan membuat regulasi pembatasan usia pengguna media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku itu sebetulnya kelanjutan buku kedua Haidt yang terkenal, The Righteous Mind, yang menganalisis polarisasi di era digital: mengapa orang baik bisa terbelah karena politik dan agama serta kepo terhadap urusan orang lain. Kesimpulan dalam buku yang terbit pada 2012 ini membawa ia meneliti lebih jauh dampak Internet dan media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haidt menyebut epidemi itu—istilah kedokteran untuk wabah yang berjangkit secara meluas dan menimbulkan banyak korban—sebagai “great rewiring”. Istilah ini mengingatkan pada masa-masa genting semacam “great depression”, krisis ekonomi hebat pada 1929-1939, atau “great recession” pada 2007-2009. Great rewiring merujuk pada kecanggihan teknologi yang mengubah jalan pikiran sebuah generasi.
Dalam great rewiring, menurut Haidt, terjadi pertentangan antara generasi orang tua yang tumbuh dalam kemajuan teknologi dan anak-anak mereka yang lahir pada zaman komunikasi. Para orang tua yang datang dari generasi X dan milenial adalah produk Revolusi Industri. Mereka akrab dengan teknologi, gaya hidup urban, dan individualisme.
Akibatnya, great rewiring menjadi disrupsi: para orang tua protektif terhadap anak-anak di dunia nyata, tapi sangat longgar di dunia maya. Bagi orang tua, terhubung dalam dunia maya menjadi gaya hidup, prestise, sekaligus substitusi dunia nyata. Keadaan ini membuat gen Z menjadi generasi cemas, anxious generation, terutama karena media sosial menyediakan dunia yang kamuflatif.
Media sosial, terutama Instagram dan TikTok, menyediakan segala kesempurnaan. Content creator kini menjadi jenis prekariat baru yang keren karena menghasilkan uang tak terbatas. Namun persaingan berebut pengikut serta membuat konten yang disukai manusia dan mesin algoritma membuat gen Z menjadi stres. Bagi mereka yang menjadi followers, konten di media sosial juga menjadi distraksi bagi kehidupan di bawah proteksionisme orang tua itu.
Gejala-gejala kegelisahan Gen Z yang diungkap Haidt dari pelbagai data yang ia analisis, antara lain, kehilangan kehidupan sosial, gangguan tidur, kecanduan, bahkan hingga ganggaun makan dan keinginan bunuh diri. Dari penelitian Haidt, kecemasan itu berakar dari penggunaan media sosial yang berlebihan.
Dengan 300 video pendek yang diunggah ke TikTok per detik serta 100 juta foto dan video di Instagram setiap hari, pengguna media sosial terkubur oleh tsunami informasi. Dengan kemudahan menggulir konten di layar telepon seluler, pengguna media sosial bisa tenggelam dalam informasi tanpa sempat mencerna dan memahaminya. Mereka menonton dan menyimpan video tanpa mengingat isinya. Kita cemas jika ketinggalan informasi yang berganti bertubi-tubi di media sosial.
Haidt menyajikan data meyakinkan yang ia teliti sendiri serta data ilmiah dari studi-studi orang lain di pelbagai negara. Data dalam buku ini memang terbatas di negara maju, tapi gejala yang ia potret makin terasa terjadi juga di negara-negara berkembang. Anak-anak remaja kian tenggelam dalam dunia maya yang semu. Ada banyak laporan bahwa intelektualitas anak-anak sekarang menurun akibat brain rot karena mengkonsumsi konten receh yang tak berisi ilmu pengetahuan.
Haidt memisahkan dampak Internet serta media sosial terhadap anak ataupun remaja laki-laki dan perempuan. Berdasarkan data konseling yang ia kumpulkan, ketahanan mental anak-anak perempuan lebih rapuh dibanding laki-laki. Mereka menjadi anak-anak yang merasa tak penting dalam kehidupan (meaningless) akibat dunia sempurna yang mereka lihat di media sosial.
Anak laki-laki, meski lebih tahan, ternyata menempuh jalur lain dengan ujung penyakit mental yang sama dengan remaja perempuan. Persaingan yang sengit di media sosial membuat mereka rentan mengidap kegelisahan akut yang berakhir pada ketidakmampuan melihat masa depan dan makna kehidupan.
Jonathan Haidt. Dok. Taft School
Haidt menyamakan apa yang menimpa gen Z sebagai anomi, istilah sosiolog Prancis, Èmile Durkheim, untuk menyebut masyarakat tanpa norma karena ketiadaan moral. Dalam anomi Durkheim, gejala sosial itu memicu bunuh diri massal di Eropa pada abad ke-19. Menurut Haidt, gen Z memang tak selalu berwujud bunuh diri secara fisik. Perasaan tidak berguna dalam kehidupan nyata adalah bunuh diri secara psikis.
Sebagai dosen dan psikolog sosial, Haidt tak melulu menganalisis data kesehatan mental gen Z akibat telepon seluler dan media sosial. Ia mengajukan solusi. Sebagai peneliti yang banyak bersentuhan dengan remaja dan anak-anak, Haidt percaya gen Z adalah generasi yang cerdas, punya keinginan hidup sehat, dan menatap masa depan dengan positif. Maka solusi yang ia tawarkan adalah menjauhkan mereka dari media sosial.
Dari banyak saran yang ia ajukan sepanjang 385 halaman buku ini, anjuran menciptakan dunia yang lebih sehat bagi anak-anak mengerucut pada empat hal:
- Tak memberikan telepon seluler kepada anak-anak sebelum sekolah menengah atas. Para orang tua mesti menunda pemberian akses Internet kepada anak-anak sebelum usia 14 tahun. Pemakaian telepon seluler tak dilengkapi peramban dan terbatas untuk penggunaan dasar, seperti telepon untuk percakapan.
- Tak ada media sosial sebelum usia 16 tahun. Ini usia yang rentan dalam perkembangan otak sehingga tak bagus jika mereka terpapar oleh komparasi gaya hidup yang dikendalikan mesin algoritma dan konten pemengaruh (influencer) di media sosial.
- Sekolah tanpa telepon seluler. Para siswa menaruh telepon seluler, jam pintar, atau gawai yang bisa menerima dan mengirim pesan agar tak mengganggu perhatian mereka terhadap guru ataupun teman-teman mereka di kelas.
- Independensi anak-anak dalam bermain. Tak perlu pengawasan dalam permainan anak. Ini cara alamiah agar mereka bisa mengembangkan kemampuan sosial, berlatih menciptakan solusi dari problem yang mereka hadapi, serta mendorong kreativitas dengan aktivitas fisik.
Empat saran Haidt itu terdengar aneh untuk zaman sekarang. Apalagi untuk mewujudkannya diperlukan kolaborasi peran orang tua, guru di sekolah, lingkungan perumahan, hingga pemerintah melalui regulasi. Aturan pembatasan usia pemakaian media sosial bisa menjadi awal pencegahan gen Z terjerumus menjadi generasi cemas, gelisah, dan rusuh. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo