Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Madya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mirna Widiyanti, mengatakan sebagian besar masyarakat Indonesia masih membutuhkan edukasi lebih jauh mengenai skema penularan virus HIV/AIDS. Kurangnya pemahaman terhadap penyakit tersebut menimbulkan stigma yang sulit dihilangkan, kemudian memicu diskriminasi terhadap para pengidapnya..
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Banyak orang masih salah menganggap HIV bisa menular melalui makan bersama, berenang bersama, atau menggunakan toilet bersama," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu, 7 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai peneliti dari Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Mirna menyebut masyarakat Indonesia harus mendapatkan informasi yang benar. Penyakit HIV berpotensi menular melalui transfusi darah, perpindahan cairan sperma dan cairan vagina ketika berhubungan seksual, serta jarum suntik yang tidak steril.
Untuk mengikis penularan HIV/AIDS, ucap Mirna, pemerintah menggencarkan edukasi penggunaan kondom, mendistribusikan alat suntik steril, terapi metadon, dan memberi profilaksis pra dan pasca-pajanan (PrEP dan PEP). Ada juga program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA)/
“Serta edukasi kesehatan reproduksi menggunakan pendekatan Abstinence, Be Faithful, Condom Use, Drug Avoidance, dan Education (ABCDE),” tuturnya.
Ajakan Mirna untuk menghilangkan stigma negatif terhadap penyandang HIV sekaligus menjadi momentum bagi masyarakat Indonesia ikut berkontribusi mengakhiri epidemi AIDS pada 2030. Tujuan utama misi tersebut adalah mengakhiri infeksi baru. “Tidak ada lagi kematian akibat AIDS, dan tidak ada lagi diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA),” katanya.
Kementerian Kesehatan, Mirna meneruskan, bermitra dengan banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan komunitas untuk mendukung kampanye melawan HIV/AIDS. LSM pun berperan aktif mendekati dan mengajak ODHA agar terlibat dalam kampanye serupa.
Terapi Antiretroviral (ARV) yang optimal serta pengobatan infeksi menular seksual (IMS) menjadi prioritas. “Penanganan IMS, seperti penyakit sifilis, gonore, dan herpes dianggap penting karena sering menjadi pintu masuk HIV,” ucap Mirna.
Praktisi kesehatan masyarakat, Ngabila Salama, juga mengingatkan risiko penggunaan jarum yang dapat memicu penularan penyakit. Penggunaan jarum tajam, seperti jarum suntik, secara bergantian dapat meningkatkan risiko terkena HIV. “Karena HIV dapat menyebar melalui kontak langsung dengan darah yang terkontaminasi,” kata Ngabila, dikutip dari Antara.
Risiko penularan juga datang dari jarum tajam yang tidak steril, misalnya yang dipakai dalam prosedur medis atau pembuatan tato. Jika tidak dibuang dengan benar, virus pada jarum sisa tato bisa mengenai orang lain.