Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Aman, dicium pun boleh

Benda aneh yang jatuh di sumatra barat yang disangka pecahan satelit cosmos 1402 yang radioaktif, masih dalam penelitian batan, yang pasti benda tersebut tidak mengandung radioaktif.(ilt)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG pertemuan Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Senin pagi kemarin penuh. Hadir Ketua Lapan, Dr. Sunaryo beserta stafnya, beberapa pejabat Hankam dan LIPI, serta belasan wartawan Ibukota. Kabarnya pagi itu Batan akan menyampaikan hasil penelitian mereka atas benda aneh yang ditemukan Kamis lalu di Desa Palangki dekat umbang emas Solok, di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Sum-Bar. Banyak juga yang agak kecewa, ketika Alex Sudibyo, asisten operasi Lapan, mengumumkan benda itu "masih dalam penelitian Batan." Yang pasti "benda" itu -- yang semula berbentuk batang sebesar kelingking jari, kemudian berubah menadi seperti butiran pasir -- tidak mengandung radioaktif. Benda itu tersimpan dalam tabung plastik tanpa bahan pelindung khusus. Setiap hadirin boleh memegang tabung itu, bahkan -- menurut laporan wartawati TEMPO Indrayati -- "dicium pun juga boleh." Ketua Lapan Dr. Sunaryo hanya bisa menambahkan bahwa hasil akhir penelitian itu akan diberitahukan "dalam waktu dekat". Heboh sekitar benda itu bermula Kamis lalu, ketika sekawanan anak Agusman, 10 tahun, Jon, 13 tahun, Jaiyus 15 tahun, dan Supriadi, 17 tahun -- menuju surau, hendak salat Isya. Ketika melewati Nmpukan pasir di tepi Sungai Batang Palangki, tampak oleh Jaiyus benda berkilau lembut di kegelapan malam itu. Tanpa pikir panjang, ia berlari, memungut benda aneh itu, yang disangkanya induk emas . . . Dongeng seperti itu memang berkembang di masyarakat Desa Tambang Emas. Sejak zaman Belanda, penduduk sudah terbiasa mendulang emas di Sungai Batang Palangki yang membelah desa berpenduduk 1.000 jiwa. Emas itu berasal dari hulu Sungai Palangki dekat Desa Sirukam, daerah yang di zaman Jepang pernah ditambang. Alangkah terkejutnya Jaiyus ketika benda yang ia pungut itu terasa membakar tangannya. Ia segera melemparkannya lagi. Supriadi, temannya, masih dirasuk bayangan ketemu harta, agaknya tak menghiraukan reaksi Jaiyus, kembali memungut benda itu, dan memasukkannya ke dalam saku belakang celananya. Ia pun kemudian merasakan tangannya seperti terbakar. Bersamaan dengan itu tercium bau kain terbakar dan rasa nyeri di pantat membuat Supriadi cepat melemparkan benda aneh itu. Suasana menjadi hingar dan dalam ketakutan Jon dan Agusman berlari menemukan penduduk yang kebetulan berkumpul di warung. Maka hebohlah masyarakat desa itu, lebih lagi karena cerita sekitar jatuhnya satelit Soviet, Cosmos 1402, masih hangat di benak orang. Karuan saja bayangan tentang radiasi radioaktif yang bisa membakar dan merenggut nyawa manusia, semakin menghantu. Kedua anak itu secepatnya dibawa ke rumah sakit Sawahlunto, 70 km dari Tambang Emas. Para pejabat dan petugas di Sum-Bar pun siaga. Malam itu Gubernur Azwar Anas memerintahkan agar daerah dengan radius 500 m dari lokasi ditemukan benda aneh itu segera dikosongkan, dan penduduknya diungsikan. Jakarta pun sudah dihubungi, dan esoknya dua ahli radiasi dari Batan sudah tiba di Desa Tambang Emas, lengkap dengan berbagai peralatan deteksi. Arifin S. Kustiono, dan Zulkarnaen, kedua ahli itu, anggota Satgas Cosmos 1402 Pantarnas Antariksa, malam hari sudah bisa memastikan bahwa di daerah itu tidak terdapat kontaminasi radiasi radioaktif. Benda, yang telah berubah menjadi seperti butiran pasir dan masih berpijar, dikumpulkan dan dibawa ke Jakarta. Tapi setibanya di Jakarta, pijar butiran itu ternyata sudah lenyap. Agaknya ini menyulitkan penelitian Batan, karena, seperti berkata Cuk Hudoyo, humas Lapan, tak lagi jelas, mana butiran benda itu dan mana pasir tempat ditemukannya. Keduanya sudah membaur. Tapi bagi penduduk Tambang Emas lebih penting mereka sudah boleh pulang ke rumah masing-masing, meski hati penuh tanya tentang asal-usul benda itu. Suatu kemungkinan yang layak dikemukakan Direktur Observatorium Bosscha di Lembang, Prof. Dr. Bambang Hidayat. "Saya menduga keras benda yang jatuh di Sijunjung itu, cuma meteorit," ujar sarjana astronomi itu kepada TEMPO, awal pekan ini. Ia menjelaskan memang justru meteor (jika jatuh di tanah disebut meteorit) sering melewati daerah pertemuan antara ekliptika (daerah gerhana) dan khatulistiwa. "Kalau meteor jatuh di Sijunjung pada jamjam itu memang mungkin sekali," ujar Bambang, "karena saat itu ekliptika dekat dengan khatulistiwa." MENGENAI pijar hijau yang terdapat pada benda tersebut Bambang Hidayat menerangkan hal itu merupakan peristiwa fluoresensi. "Ciri radio-aktivitas bukan pada pijarnya," ujar Bambang yang menjelaskan bahwa pancaran radioaktif itu tidak usah memijar, tapi terus-menerus memancarkan sinar alpha, beta dan gamma, tanpa terlihat mata. Peristiwa fluoresensi terjadi akibat gesekan dengan udara, mengakibatkan pemanasan hingga bagian luar meteor itu memijar. "Itu sebenarnya bukan pembakaran biasa, melainkan exitasi," ujar Bambang. Ia menjelaskan jika sebuah atom menerima energi, energi itu tidak tersimpan lama, tapi kembali ke tingkat dasar sambil memancarkan cahaya seperti pijar berwarna hijau. Kenapa baru sekarang orang meramaikan ada meteor jatuh? "Ini karena ada berita tentang Cosmos jatuh, maka orang melaporkan kejadian itu," ujar Bambang. Meski peristiwa semacam itu mungkin terjadi sebelumnya, tapi karena tidak ada berita mengenai Cosmos orang tidak memperhatikannya secara khusus. Di daerah itu benda langit yang jatuh inl disebut cirik (tahi) langit. Alhasil, kedua anak yang dirawat di rumah sakit Sawahlunto, sudah diperbolehkan pulang. Dr. Abizar, yang memeriksa kedua anak itu, hanya menemukan luka bakar ringan. Meski begitu semula dokter ini juga cemas karena belum jelas luka itu akibat radiasi radioaktif atau bukan. Tapi dengan bantuan kedua ahli Batan dari Jakarta semua kecemasan menjadi reda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus