RUANG pertemuan Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional) Senin pagi kemarin penuh. Hadir Ketua Lapan, Dr.
Sunaryo beserta stafnya, beberapa pejabat Hankam dan LIPI, serta
belasan wartawan Ibukota. Kabarnya pagi itu Batan akan
menyampaikan hasil penelitian mereka atas benda aneh yang
ditemukan Kamis lalu di Desa Palangki dekat umbang emas Solok,
di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Sum-Bar.
Banyak juga yang agak kecewa, ketika Alex Sudibyo, asisten
operasi Lapan, mengumumkan benda itu "masih dalam penelitian
Batan." Yang pasti "benda" itu -- yang semula berbentuk batang
sebesar kelingking jari, kemudian berubah menadi seperti
butiran pasir -- tidak mengandung radioaktif.
Benda itu tersimpan dalam tabung plastik tanpa bahan pelindung
khusus. Setiap hadirin boleh memegang tabung itu, bahkan --
menurut laporan wartawati TEMPO Indrayati -- "dicium pun juga
boleh." Ketua Lapan Dr. Sunaryo hanya bisa menambahkan bahwa
hasil akhir penelitian itu akan diberitahukan "dalam waktu
dekat".
Heboh sekitar benda itu bermula Kamis lalu, ketika sekawanan
anak Agusman, 10 tahun, Jon, 13 tahun, Jaiyus 15 tahun, dan
Supriadi, 17 tahun -- menuju surau, hendak salat Isya. Ketika
melewati Nmpukan pasir di tepi Sungai Batang Palangki, tampak
oleh Jaiyus benda berkilau lembut di kegelapan malam itu. Tanpa
pikir panjang, ia berlari, memungut benda aneh itu, yang
disangkanya induk emas . . .
Dongeng seperti itu memang berkembang di masyarakat Desa Tambang
Emas. Sejak zaman Belanda, penduduk sudah terbiasa mendulang
emas di Sungai Batang Palangki yang membelah desa berpenduduk
1.000 jiwa. Emas itu berasal dari hulu Sungai Palangki dekat
Desa Sirukam, daerah yang di zaman Jepang pernah ditambang.
Alangkah terkejutnya Jaiyus ketika benda yang ia pungut itu
terasa membakar tangannya. Ia segera melemparkannya lagi.
Supriadi, temannya, masih dirasuk bayangan ketemu harta, agaknya
tak menghiraukan reaksi Jaiyus, kembali memungut benda itu, dan
memasukkannya ke dalam saku belakang celananya. Ia pun kemudian
merasakan tangannya seperti terbakar. Bersamaan dengan itu
tercium bau kain terbakar dan rasa nyeri di pantat membuat
Supriadi cepat melemparkan benda aneh itu. Suasana menjadi
hingar dan dalam ketakutan Jon dan Agusman berlari menemukan
penduduk yang kebetulan berkumpul di warung.
Maka hebohlah masyarakat desa itu, lebih lagi karena cerita
sekitar jatuhnya satelit Soviet, Cosmos 1402, masih hangat di
benak orang. Karuan saja bayangan tentang radiasi radioaktif
yang bisa membakar dan merenggut nyawa manusia, semakin
menghantu. Kedua anak itu secepatnya dibawa ke rumah sakit
Sawahlunto, 70 km dari Tambang Emas.
Para pejabat dan petugas di Sum-Bar pun siaga. Malam itu
Gubernur Azwar Anas memerintahkan agar daerah dengan radius 500
m dari lokasi ditemukan benda aneh itu segera dikosongkan, dan
penduduknya diungsikan. Jakarta pun sudah dihubungi, dan esoknya
dua ahli radiasi dari Batan sudah tiba di Desa Tambang Emas,
lengkap dengan berbagai peralatan deteksi.
Arifin S. Kustiono, dan Zulkarnaen, kedua ahli itu, anggota
Satgas Cosmos 1402 Pantarnas Antariksa, malam hari sudah bisa
memastikan bahwa di daerah itu tidak terdapat kontaminasi
radiasi radioaktif. Benda, yang telah berubah menjadi seperti
butiran pasir dan masih berpijar, dikumpulkan dan dibawa ke
Jakarta.
Tapi setibanya di Jakarta, pijar butiran itu ternyata sudah
lenyap. Agaknya ini menyulitkan penelitian Batan, karena,
seperti berkata Cuk Hudoyo, humas Lapan, tak lagi jelas, mana
butiran benda itu dan mana pasir tempat ditemukannya. Keduanya
sudah membaur. Tapi bagi penduduk Tambang Emas lebih penting
mereka sudah boleh pulang ke rumah masing-masing, meski hati
penuh tanya tentang asal-usul benda itu.
Suatu kemungkinan yang layak dikemukakan Direktur Observatorium
Bosscha di Lembang, Prof. Dr. Bambang Hidayat. "Saya menduga
keras benda yang jatuh di Sijunjung itu, cuma meteorit," ujar
sarjana astronomi itu kepada TEMPO, awal pekan ini. Ia
menjelaskan memang justru meteor (jika jatuh di tanah disebut
meteorit) sering melewati daerah pertemuan antara ekliptika
(daerah gerhana) dan khatulistiwa. "Kalau meteor jatuh di
Sijunjung pada jamjam itu memang mungkin sekali," ujar Bambang,
"karena saat itu ekliptika dekat dengan khatulistiwa."
MENGENAI pijar hijau yang terdapat pada benda tersebut Bambang
Hidayat menerangkan hal itu merupakan peristiwa fluoresensi.
"Ciri radio-aktivitas bukan pada pijarnya," ujar Bambang yang
menjelaskan bahwa pancaran radioaktif itu tidak usah memijar,
tapi terus-menerus memancarkan sinar alpha, beta dan gamma,
tanpa terlihat mata.
Peristiwa fluoresensi terjadi akibat gesekan dengan udara,
mengakibatkan pemanasan hingga bagian luar meteor itu memijar.
"Itu sebenarnya bukan pembakaran biasa, melainkan exitasi," ujar
Bambang. Ia menjelaskan jika sebuah atom menerima energi, energi
itu tidak tersimpan lama, tapi kembali ke tingkat dasar sambil
memancarkan cahaya seperti pijar berwarna hijau.
Kenapa baru sekarang orang meramaikan ada meteor jatuh? "Ini
karena ada berita tentang Cosmos jatuh, maka orang melaporkan
kejadian itu," ujar Bambang. Meski peristiwa semacam itu mungkin
terjadi sebelumnya, tapi karena tidak ada berita mengenai Cosmos
orang tidak memperhatikannya secara khusus. Di daerah itu benda
langit yang jatuh inl disebut cirik (tahi) langit.
Alhasil, kedua anak yang dirawat di rumah sakit Sawahlunto,
sudah diperbolehkan pulang. Dr. Abizar, yang memeriksa kedua
anak itu, hanya menemukan luka bakar ringan. Meski begitu semula
dokter ini juga cemas karena belum jelas luka itu akibat radiasi
radioaktif atau bukan. Tapi dengan bantuan kedua ahli Batan dari
Jakarta semua kecemasan menjadi reda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini