Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Indikator anu

Sangat sulit mengukur indikator adil makmur. perkara adil makmur menyangkut urusan lahir batin. mengukur kesejahteraan, ujudnya nampak tapi sulit diraba. indikator yang dipakai pun belum ada kesepakatan.

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZAMAN kalabendu, orang diliputi kegelapan. Zaman kalatida, orang dicekam keraguan. Di saat semacam itu, dibutuhkan berbagai pegangan. Hidup di zaman edan, haruslah berpeluk kewaspadaan. Ramalan Ronggowarsito itu ternyata merupakan telaah sosial yang masih tetap berlaku, tak tahu sampai kapan. Tapi bagaimana dengan zaman kalaini? Orang bilang, terang benderang. Sekurang-kurangnya di waktu siang. Semua orang memandang langit, dengan doa atau wirid. Apa yang diminta, wallahualam. Perkara terwujud tidaknya permintaan, tergantung usaha. Mungkin juga tak peduli, karena itu dianggap urusan belakang. Di zaman kalaini bila siang hari terjadi kegelapan, itu hanya lantaran mendung mau hujan. Atau gerhana total yang banyak dikira keajaiban. Anehnya di zaman yang terang benderang ini, banyak orang meraba-raba. Medan yang terhampar, suka tampak seperti samudra. Angin sumilir dikira datang prahara. Azan lohor, teringat talkin. Bacaan Al Baqarah dikira Yasin. Karena itu, tiap orang membuat tafsir, terhadap setiap pertanda alam mutakhir. Para sarjana sibuk mereka-reka. Ukuran apa gerangan yang sesuai, untuk menerka setiap pertanda zaman. Mereka membuat indikator ini, dan indikator itu. Untuk kemudahan bagi mereka yang ingin tahu. Ada indikator ekonomi, ada indikator sosial. Digabung pun jadi, disebut indikator sosial ekonomi. Kurang merakyat boleh ambil indikator kesejahteraan rakyat. Atau sesuai dengan zaman, sebutlah indikator pembangunan. Apa pun namanya, semuanya berurusan dengan perkara ukur mengukur. Mengukur baju pakai meteran. Mengukur beras, pakai kiloan. Mengukur emas, pakai gram-graman. Mengukur adil makmur? Itulah pasal pelik yang sulit distatistikkan. Perkara adil makmur, menyangkut urusan lahir maupun batin. Perut kenyang ditakar dengan makanan. Kecukupan pakaian dibatas dengan kewajaran. Rumah tempat berteduh, seluas kelayakan. Pendidikan, kesehatan dan kebebasan, dikira-kira sebatas kebutuhan perkembangan. Tetapi keadaan batin, bagaimana tahunya. Bak dalam laut dapat diduga, dalam batin siapa tahu? Orang juga mau keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Kalau di Solo, mengukur keselarasan biasanya dengan telinga laras. Di Medan, mengukur keserasian dengan cermin serasi bah! Di Jombang, keseimbangan, diukur dengan dacin ndak njomplang rek! Di Indonesia haruslah ditemukan alat ukur baku. Yang dapat diterima semua suku. Dan sesuai dengan maksud sesungguhnya dari ketiga sasaran itu! Mengukur kesejahteraan seperti menerpa terik matahari. Panasnya jelas terasa, tetapi sengatnya sulit diraba. Batas ambang, suka pula menjadi satu perkara. Yang melimpah untuk Kulonprogo, belum tentu memadai bagi ukuran Yogya, apalagi Surabaya. Sepatu di Jakarta sebuah kebutuhan, di Lubuk Pasung mungkin suatu kemewahan. Ambang batas mana layak, dan mana yang tak layak, atau mana cukup dan mana yang tidak cukup, menjadi kabur. Karenanya lalu sulit dari mana harus mulai mengukur. Indikator Pembangunan dapat beranjak dari Trilogi. Stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Tetapi waktu harus dijabarkan, ukuran apa yang dipakai buat masing-masing patokan urusan menjadi tidak sederhana yang diperkirakan. Atau cenderung malah terlalu disederhanakan. Stabilitas misalnya suka hanya diukur dengan laju inflasi dan peredaran kebutuhan pokok rakyat. Pertumbuhan hanya diwakili dengan tingkat produksi, Anggaran Belanja Negara dan pendapatan per kapita. Pemerataan ditebak dengan berapa yang berada di bawah garis kemiskinan dan pertumbuhan pendapatan mereka. Apakah itu cukup menggambarkan tingkat kesejahteraan rakyat seluruhnya, saya tidak tahu. Banyak ahli memeras otak dan pikiran untuk menyusun indikator yang cukup peka dan tajam. Dari cewek-cewek tekun seperti Irma (Adelman), Cynthia (Moris), dan Melly Tan, sampai ke cowok serius seperti Johan Galtung, Hendra Esmara dan J. Tamba. Dari panitia internasional seperti Komite Rao PBB, sampai panitia lokal, semisal kelompok Mahar Mangahas di Filipina. Anehnya, makin banyak yang memikirkan, makin terasa sulit dicapai kesepakatan. Apa yang diukur, bagaimana mengukur dan di mana batas ambang ukuran diletakkan, menjadi bahan telaah yang berkepanjangan. Belum lagi sampai mengukur soal menebak-keselarasan cita-cita hidup di dunia dan mengejar kebahagiaan di akhirat, padang kemustahilan sudah jelas di mata. Maka apa boleh buat, soal ukur mengukur terpaksa terbatas ke soal yang terlihat, dapat diraba atau mampu dipatut-patut pada sebuah skala. Antara bangsa, indikator mesti berbeda. Antarcita-cita, yang diukur tidak bisa sama. Indikator pembangunan menunjuk posisi kita pada sebuah skala, yang dirancang khas sesuai dengan mau kita. Sasaran pembangunan ialah recehan dari kehendak politik. Karena mengukurnya mesti dengan tolok yang secara politik telah ditera. Tolok ukur kehendak politik dipetik dari dokumen keputusan politik. Perkara peka tidaknya ukuran, tajam tumpulnya hasil telaahan, masing-masing yang harus memberi penilaian. Cuma saya memang tidak ada jawaban, bila anda bertanya: bila sifatnya demikian, apakah layak menyerahkan perkara indikator pembangunan sebagai masalah keilmuan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus