ZAMAN kalabendu, orang diliputi kegelapan. Zaman kalatida, orang
dicekam keraguan. Di saat semacam itu, dibutuhkan berbagai
pegangan. Hidup di zaman edan, haruslah berpeluk kewaspadaan.
Ramalan Ronggowarsito itu ternyata merupakan telaah sosial yang
masih tetap berlaku, tak tahu sampai kapan.
Tapi bagaimana dengan zaman kalaini? Orang bilang, terang
benderang. Sekurang-kurangnya di waktu siang. Semua orang
memandang langit, dengan doa atau wirid. Apa yang diminta,
wallahualam. Perkara terwujud tidaknya permintaan, tergantung
usaha. Mungkin juga tak peduli, karena itu dianggap urusan
belakang.
Di zaman kalaini bila siang hari terjadi kegelapan, itu hanya
lantaran mendung mau hujan. Atau gerhana total yang banyak
dikira keajaiban.
Anehnya di zaman yang terang benderang ini, banyak orang
meraba-raba. Medan yang terhampar, suka tampak seperti samudra.
Angin sumilir dikira datang prahara. Azan lohor, teringat
talkin. Bacaan Al Baqarah dikira Yasin. Karena itu, tiap orang
membuat tafsir, terhadap setiap pertanda alam mutakhir. Para
sarjana sibuk mereka-reka. Ukuran apa gerangan yang sesuai,
untuk menerka setiap pertanda zaman. Mereka membuat indikator
ini, dan indikator itu. Untuk kemudahan bagi mereka yang ingin
tahu.
Ada indikator ekonomi, ada indikator sosial. Digabung pun jadi,
disebut indikator sosial ekonomi. Kurang merakyat boleh ambil
indikator kesejahteraan rakyat. Atau sesuai dengan zaman,
sebutlah indikator pembangunan. Apa pun namanya, semuanya
berurusan dengan perkara ukur mengukur. Mengukur baju pakai
meteran. Mengukur beras, pakai kiloan. Mengukur emas, pakai
gram-graman.
Mengukur adil makmur? Itulah pasal pelik yang sulit
distatistikkan. Perkara adil makmur, menyangkut urusan lahir
maupun batin. Perut kenyang ditakar dengan makanan. Kecukupan
pakaian dibatas dengan kewajaran. Rumah tempat berteduh, seluas
kelayakan. Pendidikan, kesehatan dan kebebasan, dikira-kira
sebatas kebutuhan perkembangan. Tetapi keadaan batin, bagaimana
tahunya. Bak dalam laut dapat diduga, dalam batin siapa tahu?
Orang juga mau keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Kalau
di Solo, mengukur keselarasan biasanya dengan telinga laras. Di
Medan, mengukur keserasian dengan cermin serasi bah! Di
Jombang, keseimbangan, diukur dengan dacin ndak njomplang rek!
Di Indonesia haruslah ditemukan alat ukur baku. Yang dapat
diterima semua suku. Dan sesuai dengan maksud sesungguhnya dari
ketiga sasaran itu!
Mengukur kesejahteraan seperti menerpa terik matahari. Panasnya
jelas terasa, tetapi sengatnya sulit diraba. Batas ambang, suka
pula menjadi satu perkara. Yang melimpah untuk Kulonprogo, belum
tentu memadai bagi ukuran Yogya, apalagi Surabaya. Sepatu di
Jakarta sebuah kebutuhan, di Lubuk Pasung mungkin suatu
kemewahan. Ambang batas mana layak, dan mana yang tak layak,
atau mana cukup dan mana yang tidak cukup, menjadi kabur.
Karenanya lalu sulit dari mana harus mulai mengukur.
Indikator Pembangunan dapat beranjak dari Trilogi. Stabilitas,
pertumbuhan dan pemerataan. Tetapi waktu harus dijabarkan,
ukuran apa yang dipakai buat masing-masing patokan urusan
menjadi tidak sederhana yang diperkirakan. Atau cenderung malah
terlalu disederhanakan. Stabilitas misalnya suka hanya diukur
dengan laju inflasi dan peredaran kebutuhan pokok rakyat.
Pertumbuhan hanya diwakili dengan tingkat produksi, Anggaran
Belanja Negara dan pendapatan per kapita. Pemerataan ditebak
dengan berapa yang berada di bawah garis kemiskinan dan
pertumbuhan pendapatan mereka. Apakah itu cukup menggambarkan
tingkat kesejahteraan rakyat seluruhnya, saya tidak tahu.
Banyak ahli memeras otak dan pikiran untuk menyusun indikator
yang cukup peka dan tajam. Dari cewek-cewek tekun seperti Irma
(Adelman), Cynthia (Moris), dan Melly Tan, sampai ke cowok
serius seperti Johan Galtung, Hendra Esmara dan J. Tamba. Dari
panitia internasional seperti Komite Rao PBB, sampai panitia
lokal, semisal kelompok Mahar Mangahas di Filipina.
Anehnya, makin banyak yang memikirkan, makin terasa sulit
dicapai kesepakatan. Apa yang diukur, bagaimana mengukur dan di
mana batas ambang ukuran diletakkan, menjadi bahan telaah yang
berkepanjangan.
Belum lagi sampai mengukur soal menebak-keselarasan cita-cita
hidup di dunia dan mengejar kebahagiaan di akhirat, padang
kemustahilan sudah jelas di mata. Maka apa boleh buat, soal ukur
mengukur terpaksa terbatas ke soal yang terlihat, dapat diraba
atau mampu dipatut-patut pada sebuah skala.
Antara bangsa, indikator mesti berbeda. Antarcita-cita, yang
diukur tidak bisa sama. Indikator pembangunan menunjuk posisi
kita pada sebuah skala, yang dirancang khas sesuai dengan mau
kita. Sasaran pembangunan ialah recehan dari kehendak politik.
Karena mengukurnya mesti dengan tolok yang secara politik telah
ditera. Tolok ukur kehendak politik dipetik dari dokumen
keputusan politik.
Perkara peka tidaknya ukuran, tajam tumpulnya hasil telaahan,
masing-masing yang harus memberi penilaian. Cuma saya memang
tidak ada jawaban, bila anda bertanya: bila sifatnya demikian,
apakah layak menyerahkan perkara indikator pembangunan sebagai
masalah keilmuan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini