UNTUK suatu seminar bulan November, saya diminta oleh PUTL
menyusun tulisan tentang pembiayaan proyek konstruksi dam besar.
Agar saya "sebagai orang luar' dapat memahami seluk beluk
pembuatan dam, maka saya dipinjami buku laporan tentang proyek
Kali Brantas, yang dibuat pada tahun 1961 oleh Nippon Koei K.K.,
itu kelompok konsultan ternama dari Jepang.
Sambil saya membaca buku, satu hal amat menarik perhatian saya.
Alkisah, disebutlah di Taiwan di masa silam dilakukan serentetan
eksperimen di bidang irigasi, dengan tujuan menemukan cara
menghemat air. Ternyata cara terbaik ialah menggenangi ladang
dengan air.
Cara ini disebut intermittent irrigation atau rotational
irrigation, atau genangan bergilir. Penggunaan air hanya
sepertiga dari volume normal, dan bisa kurang. Dengan tercengang
saya menghitung bahwa dua pertiga sampai tiga perempat dari air
dapat dihemat. Hebat. Dengan air yang sama bisa diirigasi areal
tiga sampai empat kali lebih luas. Fantastis. Betapa teknologi
pesat maju karena ketekunan para penyelidik.
Sesudah buku dikembalikan, hal yang menarik tadi, betapa pun
mengesankan, menjadi terdesak ke luar jangkauan ingatan, apalagi
di bawah saingan urusan-urusan praktis yang lebih berhak
mendapatkan perhatian.
Namun, pada hari pertama seminar, sesaat sebelum upacara
pembukaan, secara kebetulan saya berjumpa dengan beberapa orang
muda dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Teringat akan hal yang
pernah mencengangkan saya itu, kontan saya tanyakan mereka
tentang hasil percobaan genangan bergilir di Indonesia. Ternyata
mereka tidak pernah mendengar hal ihwal genangan bergilir. Pula
mereka sama sekali tidak menunjukkan adanya minat untuk
membicarakannya.
Saya agak kecewa tentunya. Apa boleh buat. Mungkin juga sayalah
yang salah baca. Maklum, saya "orang luar" di bidang pertanian.
Sore hari pada seminar itu pula, seorang insinyur bernama
Santoso melaporkan, bahwa di luar negeri juga diterapkan
sprinkler system, cara pengairan dengan semprotan melalui
lubang-lubang pada pipa. Sangat menguntungkan, kata Santoso, air
yang diperlukan hanya sepertiga dari yang dibutuhkan pada
irigasi genangan. Astaga, sepertiga. Saya seperti terhentak.
Seakan-akan lampu kecil mulai menyala lagi di tengah-tengah
kegelapan. Namun tidak lama. Maklumlah tidak ada seminar yang
memberikan waktu untuk memikirkan sesuatu dengan lurus, lengkap
dan habis. Mungkin juga cara berpikir saya sudah hanya separuh
komplit: air bisa dihemat, tetapi air masih cukup. Buktinya,
banjir masih merupakan tamu setia. Asal saja banjir sudah dapat
dikendalikan, air bukan soal lagi. Maka masuklah genangan
bergilir sekali lagi ke dalam alam nirguna.
Melalui media mulai dibicarakan betapa pentingnya air. Betapa
komoditi ini sudah menjadi langka. Diskusi menjadi seru,
frekuensi meningkat, sudut penglihatan membengkak jumlah forum
bertambah.
Dengan sendirinya minat saya terbangkit lagi. Genangan bergilir
mulai menghantui, tidak terus-menerus, namun suka muncul di kala
senggang. Pada kesempatan-kesempatan yang saya anggap memadai
saya mencoba lagi menanam minat terhadap cara irigasi yang kian
salah dimengerti itu tetapi selalu sia-sia belaka. Penampilan
kurang tepat?
Akhirnya usaha saya hentikan, yakni sesaat saya menjadi sadar.
bahwa ucapan-ucapan saya tidak didukung oleh kredibilitas yang
melekat pada seorang ahli. Saya masih tetap orang luar".
Satu kesimpulan pahit menonjol ke depan: jangan berbicara
sebelum dapat menunjukkan bukti kongkrit. Saya berjanji kepada
diri sendiri, tidak lagi membuka mulut tentang genangan bergilir
tanpa dapat menunjukkan halaman buku laporan Nippon Koei yang
menyebutnya.
Sejak saat itu saya berusaha untuk menemukan kembali laporan
Nippon Koei K.K. dari tahun 1961 itu. Sungguh tidak mudah.
Kontak saya di PUTL sudah menghilang dimutasi entah ke mana.
Beberapa usaha melalui saluran-saluran lain di departemen itu
ternyata gagal. Akhirnya saya menjadi sungkan pula.
Secara kebetulan sekali, atas kemurahan hati seorang yang saya
kenal dari seminar tahun 1970 itu, akhirnya saya memperoleh
fotokopi dari tulisan yang saya sangka sudah hilang. Halaman 76
dan 77 dari Comprehensive Report on the Kali Brantas Overall
Project, April 1961 -- Nippon Koei K.K., Designing and
Consulting Engineers, Tokyo.
Inti isinya masih tetap mendebarkan hati. Saya singkatkan saja:
Lokasi eksperimen: Formosa (sekarang Taiwan).
Masa eksperimen: 1932-1942 (10 tahun).
Ladang teladan ikut serta: 287 (tidak jelas luas keseluruhan
berapa).
Masa putaran giliran: 2,3,4,5,6,7,9 dan 15 hari. Penyelenggara:
Rukun irigasi.
Hasil terbaik: masa putaran 3 atau 4 hari, dan ketinggian air 3
- 4 cm.
Mudah-mudahan daftar perincian ini dapat memberikan saya cukup
kredibilitas untuk sekarang mengungkapkan keheranan saya.
Mengapa informasi tentang genangan bergilir tidak diketahui oleh
IPB, itu pusat keunggulan di bidang pertanian? Oh, alasan tidak
kurang, dapat dicari dan dapat dikarang: Informasi dimuat dalam
tulisan, yang semata-mata ditujukan kepada teknisi konstruksi
sipil, dan sama sekali tidak kepada IPB. Dapat dimengerti,
bahwa teknisi itu kurang memperhatikannya. Namun, dapatkah
mereka dibenarkan untuk meneruskan informasi ke IPB, ke Deptan
dan ke LIPI?
Kita di Indonesia jelas butuh akan pengelolaan informasi yang
efektif, agar kita dapat mengkaji semua teknologi yang mengalir
ke arah kita, dalam bentuk apa pun dan melalui saluran apa pun.
Bukan hanya pesanan yang diimpor dalam paket besar, melainkan
pula yang nyasar datang melayang tanpa kulo nuwun. Justru jenis
inilah yang membutuhkan penanganan lintas sektoral. Memang tidak
mudah, namun toh tidak mustahil.
Atau dapatkah LIPI dan BPPT meyakinkan kita, bahwa sistem
information engineering kita memang tidak mampu menyerap
butir-butir mutiara yang tercecer di mana-mana itu?
Kalau benar air merupakan komoditi yang teramat langka di
Indonesia -- seperti sering dituturkan oleh pemuka-pemuka kita
di muka televisi -- patut dijawab pertanyaan: Sudahkah kita di
Indonesia melakukan eksperimen yang memadai dengan genangan
bergilir?
Saya tidak menutup mata terhadap segudang persoalan yang harus
kita hadapi, seandainya dari eksperimen setempat ternyata,
genangan bergilir benar-benar menghemat air seperti di Taiwan.
Bagaimana meyakinkan petani akan keampuhan genangan bergilir?
Selama beberapa tahun kita harus operasikan demo plots?
Bagaimana jatuhnya perbandingan dengan sprinkler system,
keuntungan dan kelemahan? Bagaimana perubahan dalam neraca air,
termasuk hubungan curah hujan dengan air dari saluran? Dan
seterusnya. Untuk menginventarisasi saja sudah dibutuhkan
segudang buku.
Mungkin juga saya keliru atau salah tebak, dalam arti genangan
bergilir sama sekali tidak menghasilkan penghematan yang berarti
dalam penggunaan air. Kalaupun demikian dapatkah kita diyakinkan
akan kelirunya pandangan itu, langsung atau tidak langsung, oleh
para mereka yang paling kompeten, seperti para profesor atau
Doktor Sudarsono Hadisaputro, Emil Salim, Habibie, dan
Purnomosidi Hadjisarosa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini