Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Yang Berguna Tapi Mubazir

Sistem yang dilakukan oleh taiwan di bidang irigasi, dengan tujuan menemukan cara menghemat air. (ilt)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK suatu seminar bulan November, saya diminta oleh PUTL menyusun tulisan tentang pembiayaan proyek konstruksi dam besar. Agar saya "sebagai orang luar' dapat memahami seluk beluk pembuatan dam, maka saya dipinjami buku laporan tentang proyek Kali Brantas, yang dibuat pada tahun 1961 oleh Nippon Koei K.K., itu kelompok konsultan ternama dari Jepang. Sambil saya membaca buku, satu hal amat menarik perhatian saya. Alkisah, disebutlah di Taiwan di masa silam dilakukan serentetan eksperimen di bidang irigasi, dengan tujuan menemukan cara menghemat air. Ternyata cara terbaik ialah menggenangi ladang dengan air. Cara ini disebut intermittent irrigation atau rotational irrigation, atau genangan bergilir. Penggunaan air hanya sepertiga dari volume normal, dan bisa kurang. Dengan tercengang saya menghitung bahwa dua pertiga sampai tiga perempat dari air dapat dihemat. Hebat. Dengan air yang sama bisa diirigasi areal tiga sampai empat kali lebih luas. Fantastis. Betapa teknologi pesat maju karena ketekunan para penyelidik. Sesudah buku dikembalikan, hal yang menarik tadi, betapa pun mengesankan, menjadi terdesak ke luar jangkauan ingatan, apalagi di bawah saingan urusan-urusan praktis yang lebih berhak mendapatkan perhatian. Namun, pada hari pertama seminar, sesaat sebelum upacara pembukaan, secara kebetulan saya berjumpa dengan beberapa orang muda dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Teringat akan hal yang pernah mencengangkan saya itu, kontan saya tanyakan mereka tentang hasil percobaan genangan bergilir di Indonesia. Ternyata mereka tidak pernah mendengar hal ihwal genangan bergilir. Pula mereka sama sekali tidak menunjukkan adanya minat untuk membicarakannya. Saya agak kecewa tentunya. Apa boleh buat. Mungkin juga sayalah yang salah baca. Maklum, saya "orang luar" di bidang pertanian. Sore hari pada seminar itu pula, seorang insinyur bernama Santoso melaporkan, bahwa di luar negeri juga diterapkan sprinkler system, cara pengairan dengan semprotan melalui lubang-lubang pada pipa. Sangat menguntungkan, kata Santoso, air yang diperlukan hanya sepertiga dari yang dibutuhkan pada irigasi genangan. Astaga, sepertiga. Saya seperti terhentak. Seakan-akan lampu kecil mulai menyala lagi di tengah-tengah kegelapan. Namun tidak lama. Maklumlah tidak ada seminar yang memberikan waktu untuk memikirkan sesuatu dengan lurus, lengkap dan habis. Mungkin juga cara berpikir saya sudah hanya separuh komplit: air bisa dihemat, tetapi air masih cukup. Buktinya, banjir masih merupakan tamu setia. Asal saja banjir sudah dapat dikendalikan, air bukan soal lagi. Maka masuklah genangan bergilir sekali lagi ke dalam alam nirguna. Melalui media mulai dibicarakan betapa pentingnya air. Betapa komoditi ini sudah menjadi langka. Diskusi menjadi seru, frekuensi meningkat, sudut penglihatan membengkak jumlah forum bertambah. Dengan sendirinya minat saya terbangkit lagi. Genangan bergilir mulai menghantui, tidak terus-menerus, namun suka muncul di kala senggang. Pada kesempatan-kesempatan yang saya anggap memadai saya mencoba lagi menanam minat terhadap cara irigasi yang kian salah dimengerti itu tetapi selalu sia-sia belaka. Penampilan kurang tepat? Akhirnya usaha saya hentikan, yakni sesaat saya menjadi sadar. bahwa ucapan-ucapan saya tidak didukung oleh kredibilitas yang melekat pada seorang ahli. Saya masih tetap orang luar". Satu kesimpulan pahit menonjol ke depan: jangan berbicara sebelum dapat menunjukkan bukti kongkrit. Saya berjanji kepada diri sendiri, tidak lagi membuka mulut tentang genangan bergilir tanpa dapat menunjukkan halaman buku laporan Nippon Koei yang menyebutnya. Sejak saat itu saya berusaha untuk menemukan kembali laporan Nippon Koei K.K. dari tahun 1961 itu. Sungguh tidak mudah. Kontak saya di PUTL sudah menghilang dimutasi entah ke mana. Beberapa usaha melalui saluran-saluran lain di departemen itu ternyata gagal. Akhirnya saya menjadi sungkan pula. Secara kebetulan sekali, atas kemurahan hati seorang yang saya kenal dari seminar tahun 1970 itu, akhirnya saya memperoleh fotokopi dari tulisan yang saya sangka sudah hilang. Halaman 76 dan 77 dari Comprehensive Report on the Kali Brantas Overall Project, April 1961 -- Nippon Koei K.K., Designing and Consulting Engineers, Tokyo. Inti isinya masih tetap mendebarkan hati. Saya singkatkan saja: Lokasi eksperimen: Formosa (sekarang Taiwan). Masa eksperimen: 1932-1942 (10 tahun). Ladang teladan ikut serta: 287 (tidak jelas luas keseluruhan berapa). Masa putaran giliran: 2,3,4,5,6,7,9 dan 15 hari. Penyelenggara: Rukun irigasi. Hasil terbaik: masa putaran 3 atau 4 hari, dan ketinggian air 3 - 4 cm. Mudah-mudahan daftar perincian ini dapat memberikan saya cukup kredibilitas untuk sekarang mengungkapkan keheranan saya. Mengapa informasi tentang genangan bergilir tidak diketahui oleh IPB, itu pusat keunggulan di bidang pertanian? Oh, alasan tidak kurang, dapat dicari dan dapat dikarang: Informasi dimuat dalam tulisan, yang semata-mata ditujukan kepada teknisi konstruksi sipil, dan sama sekali tidak kepada IPB. Dapat dimengerti, bahwa teknisi itu kurang memperhatikannya. Namun, dapatkah mereka dibenarkan untuk meneruskan informasi ke IPB, ke Deptan dan ke LIPI? Kita di Indonesia jelas butuh akan pengelolaan informasi yang efektif, agar kita dapat mengkaji semua teknologi yang mengalir ke arah kita, dalam bentuk apa pun dan melalui saluran apa pun. Bukan hanya pesanan yang diimpor dalam paket besar, melainkan pula yang nyasar datang melayang tanpa kulo nuwun. Justru jenis inilah yang membutuhkan penanganan lintas sektoral. Memang tidak mudah, namun toh tidak mustahil. Atau dapatkah LIPI dan BPPT meyakinkan kita, bahwa sistem information engineering kita memang tidak mampu menyerap butir-butir mutiara yang tercecer di mana-mana itu? Kalau benar air merupakan komoditi yang teramat langka di Indonesia -- seperti sering dituturkan oleh pemuka-pemuka kita di muka televisi -- patut dijawab pertanyaan: Sudahkah kita di Indonesia melakukan eksperimen yang memadai dengan genangan bergilir? Saya tidak menutup mata terhadap segudang persoalan yang harus kita hadapi, seandainya dari eksperimen setempat ternyata, genangan bergilir benar-benar menghemat air seperti di Taiwan. Bagaimana meyakinkan petani akan keampuhan genangan bergilir? Selama beberapa tahun kita harus operasikan demo plots? Bagaimana jatuhnya perbandingan dengan sprinkler system, keuntungan dan kelemahan? Bagaimana perubahan dalam neraca air, termasuk hubungan curah hujan dengan air dari saluran? Dan seterusnya. Untuk menginventarisasi saja sudah dibutuhkan segudang buku. Mungkin juga saya keliru atau salah tebak, dalam arti genangan bergilir sama sekali tidak menghasilkan penghematan yang berarti dalam penggunaan air. Kalaupun demikian dapatkah kita diyakinkan akan kelirunya pandangan itu, langsung atau tidak langsung, oleh para mereka yang paling kompeten, seperti para profesor atau Doktor Sudarsono Hadisaputro, Emil Salim, Habibie, dan Purnomosidi Hadjisarosa?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus