DI hari-hari biasa, tak kurang dari 1.000 orang makan di sana.
Di hari-hari libur jumlah tamu meningkat. Memang, hampir setiap
orang yang kenal Yogya mengenal Rumah Makan Ayam Goreng Nyonya
Suharti. Setidak-tidaknya namanya yang lebih populer: mBok
Berek.
Terletak di pinggir jalan raya, sekitar 7 km dari pusat kota,
rumah makan itu tampak menyolok tak jauh dari Bandar Udara
Adisucipto. Di tanah seluas 8.000 meter persegi itu juga
terdapat rumah tinggal pemilik, ruang pertemuan, masjid, dan
asrama untuk 70 karyawan. Dan di bagian belakang sebuah kandang
ayam cukup besar.
Tapi jangan salah paham: mBok Berek itu bukan Ny. Suharti: Ny.
Suharti 36 tahun, tak lain salah seorang cucu. Akan mBok Berek
sendiri, beliau itu dulu janda petani dari Desa Candisari,
Kecamatan Kalasan, Yogya, yang begitu kondang alias beken dengan
ayam gorengnya -- puluhan tahun lalu, entah sejak kapan.
Nama sebenarnya dari si embok adalah mBok Rame. Mungkin karena
ayamnya banyak, jadi rame. Atau karena anaknya yang enam itu
suka rame-rame. Tapi yang menentukan adalah ini: anak sulungnya,
yang kelak bernama Ronopawiro, ketika masih kecil dan suka
menangis suaranya serak. Hingga bunyinya kedengaran "breeek,
breeek". Anak ini lantas dipanggil Si Berek. Dan sejak itu mBok
Rame juga dijuluki mBok Berek, artinya ibunya Si Berek.
Padahal, yah, kalau orang Jawa mendengar ayam berkeok-keok,
misalnya waktu ditangkap buat disembelih, mereka bilang: "Weee,
ayamnya berek-berek". Jadi riwayat nama mBok Berek boleh jadi
masih kontroversial. Perlu riset.
Yang jelas nama itu sudah merupakan tanda dagang bagi trah
(anak-turun) si embok. Malah beberapa bulan lalu merk tersebut
sudah dimintakan hak paten. Hanya anggota keluarga ini
(keturunan langsung) yang berhak pakai. Maklum, dewasa ini ayam
goreng si embok sudah menyebar di beberapa kota besar di Jawa:
Surabaya, Mojokerto, Sala, Semarang, Madiun, Prambanan, Kalasan,
Bandung, Bogor, Jakarta. Siapa menyusul? Di Yogya sendiri ada
lima restoran mBok Berek.
Tapi rupanya usaha Suharti yang paling berhasil. Karirnya
dimulai ketika sebagai gadis remaja, ia menjadi juru masak di
warung ayam goreng milik kakak perempuannya, mBok Mangundimedjo
di Desa Candisari. Empat tahun kemudian, 1960, Suharti
menggoreng ayam sendiri. Usahanya maju setelah ia menikah dengan
Syahlan P.H, yang ketika itu menjadi karyawan Pemda DIY.
Setiap subuh ia mengayuh sepeda membonceng sekerenjang ayam
goreng berisi 15 sampai 20 ekor, disetor ke beberapa toko dan
pasar Yogya. Suaminya, pulang dari kantor, membeli ayam dari
pasar. Beberapa waktu kemudian langganannya bertambah -- sampai
ke Klaten dan Sala. Dan beberapa tahun kemudian, mereka
mengganti sepeda dengan Vespa bekas. Selama 10 tahun mereka
menjajakan ayam goreng dari pasar ke pasar. Bereeek! Bereeek!
Setiap hari, mereka beristirahat di sebuah tempat yang teduh --
dekat lapangan terbang Adisucipto. Nah, di sinilah terjadi saat
yang begitu romantis lagi pula bersejarah. "Alangkah baiknya,
kalau kita bisa membeli tempat ini untuk membuka warung," kata
Syahlan ketika itu -- sambil menyeka keringat tentunya. Nah.
Beberapa waktu kemudian Syahlan mendengar lapangan terbang
tersebut akan dijadikan bandar udara antar-bangsa. Tak ayal
lagi, tanah milik seorang anggota AURI itu pun pada 1970 mereka
beli.
Mula-mula Suharti masih merasa perlu membonceng nama neneknya
yang Berek itu. Malah nama rumah makannya komplit dengan
embel-embel jadi "mBok Berek Asli". Tapi kurang dari setahun,
setelah para langganan cukup mengenal, embel-embel dicabut. Dan
kini rumah makan itu berkembang pesat. Bangunan diperindah
dengan tiang-tiang kayu jati berukir dan lampu-lampu hias.
Suasananya teduh dan redup.
Bukti lain sukses Suharti: Selain menggoreng ayam, sejak 1976
Suharti juga membuka usaha pemondokan untuk mahasiswi atau
pelajar wanita. Sekarang sudah berdiri sebuah asrama pelajar dan
mahasiswa putri dengan 40 kamar di tanah seluas 1.500 meter
persegi. Sebuah asrama lagi, dengan 30 kamar di tanah 1.000
meter persegi, tengah dibangun pula. Suharti memang membuka
usaha pondokan sejak 1975. Dan, terakhir, ia juga punya rencana
mendirikan sebuah hotel di tanah 10.000 meter persegi, tak jauh
dari kompleks restoran.
Suharti yang sekarang tentu saja bukan Suharti yang bermandi
keringat dulu. Ibu empat anak ini tak jarang ke luar negeri. Ia
hanya tamat SD, setiap hari macak tapi sebagai anggota Iwapi
(Ikatan Wanita Pengusaha) Yogyakarta, tahun lalu, misalnya, ia
ke Amsterdam. "Sempat bertemu dengan Ratu Yuliana," tuturnya.
Suaminya, Syahlan, pernah pula berkeliling Asia mempelajari cara
pengelolaan beberapa restoran. Dan akhir bulan depan ia akan ke
Bangkok mengikuti lomba perkutut. Syahlan memang memiliki hobi
perkutut. Ia punya 15 ekor, konon harganya jutaan per ekor.
Sudah beberapa kali burung Syahlan menjadi juara pertama.
Dari bisnis ayam goreng, Suharti memiliki enam mobil, tiga di
antaranya sedan. Itu semua berkat nama eyangnya, mBok Berek.
Padahal dahulu kala dagangan si embok sendiri sebenarnya kecil
saja, meskipun ia cukup terkenal. Maklum zaman itu. Pada suatu
siang, kala itu, ia ketamuan seorang kakek-kakek berpakaian
serba hitam. Konon lelaki tua itu memberikan resep dan bumbu
ayam goreng. Nah, resep membumbui ayam goreng yang dianggap
"wangsit" itulah kuncinya. Sampai kini resep itu tetap
dirahasiakan.
Yang tidak dirahasiakan ialah cara memasaknya. Ayamnya bukan
ayam negeri. Tapi ayam kampung, biasanya berumur kurang dari
setahun. Setelah disembelih dan dikuliti sendiri, dan dibumbui,
dengan resep rahasia itu, ayam utuh itu direbus dengan api dari
kayu bakar -- tidak boleh dengan api kompor. Air untuk merebus
pun konorl harus dari sumur yang tcrpilih. Bukan apa-apa. "Air
di sekitar sini rasanya tentu lain dengan air di Jakarta,
misalnya," ujar Syahlan, yang sudah lama tidak lagi pegawai
pemerintah daerah.
Air juga harus dapat diresap semuanya oleh si daging. Baru
setelah itu ayam digoreng. Tapi cara menggoreng juga tidak
sembarangan, meskipun boleh dilakukan oleh karyawan. Seorang
karyawan memerlukan latihan menggoreng selama 2 - 3 bulan
sebelum dapat menggoreng dengan baik.
MENURUT Nyonya Umi, 39 tahun -- ini keturunan mBok Berek yang
lain, yaitu cicitnya -- terlebih dulu minyak gorengnya harus
cukup panas. "Kalau tidak, ayamnya jadi keras," katanya lagi.
"Pernah saya membanting ayam yang digoreng dengan minyak yang
belum terlalu panas. Tetap utuh," tambahnya, sambil tertawa.
Umi adalah pemilik "pusat Berek" yang lain. Ia membuka rumah
makan ayamnya di Jalan Prof. Soepomo, Jakarta. Setelah
mengontrak sebuah rumah selama lima tahun, kini Umi membangun
restoran dan rumah miliknya sendiri, tak jauh dari tempat
kontrakan semula. Bangunan bertingkat dua bernilai Rp 200 juta
yang sedang dibangunnya itu cukup mewah. Restorannya dilengkapi
25 meja berwarna hijau, serasi dengan warna temboknya. Salah
satu sisi dinding ruang makan dihias pahatan relief, sementara
pilar-pilarnya berukir. Ada air terjun buatan serta lampu
chandelier kristal ukuran besar. Kursi-kursi berwarna oranye.
Menurut rencana, rumah makan itu akan dilengkapi dengan bar.
"Setiap hari Selasa Sri Sultan memesan ayam goreng dari sini,"
kata Umi dengan bangga. Ia juga bangga sempat berkenalan dengan,
misalnya, Ibu Tien Soeharto. Selain ayam goreng, Umi juga
menyajikan sayur asem, soto, gudek, sayur lodeh, rujak,
tahu-tempe bacem. Agaknya sambal ramuan Umi juga terkenal.
Banyak orang yang hanya membeli sambal ada yang sampai 1 atau 2
kg, misalnya, untuk dikirim ke keluarganya di luar negeri.
Seminggu Umi menghabiskan 5-7 karung beras Cianjur kepala. "Saya
ingin menggantinya dengan beras rojolele yang lebih enak,"
katanya lagi.
Kini Umi juga membuka satu cabang mBok Berek di Jalan Panglima
Polim Raya, Kebayoran Baru. Rumah makan itu diurus seorang
saudaranya, tapi ayam goreng yang dijual di sana tetap dibumbui
dan dimasak sendiri oleh Umi. Untuk melayani dua restoran itu ia
mempekerjakan 41 karyawan. Malah ia sudah punya rencana membuka
sebuah cabang lagi di Jakarta Pusat atau Ciputat. "Di Jakarta,
membuka sepuluh cabang juga masih laku," katanya. Boleh dikata
rumah makan ini dikelola Umi sendiri, suaminya sehari-hari
bekerja di sebuah perusahaan asuransi.
Ibu empat anak yang memiliki ijazah SKKA ini memulai karirnya
dengan membuka salon kecantikan pada 1963 di Jalan Talangbetutu.
Empat tahun kemudian ia menikah dengan Nursalim, lulusan FH-UGM,
dan pindah ke Rawamangun. Setelah melahirkan seorang anak, 1971
ia membuka warung ayam goreng kecil-kecilan di Pegangsaan Timur.
Dari sini pindah mengontrak tempat usaha di Jalan Tanjungkarang
lantas, ke Pasar Cikini. Karena usahanya kurang maju, tahun 1973
ia istirahat.
Empat tahun mengurus anak-anaknya, tahun 1977 ia bangkit lagi
berjualan ayam goreng di depan rumah. Dijualnya beberapa
perhiasannya untuk modal, ditambah Rp 3 juta lagi yang
dipinjamnya dari bibinya, Nyonya Suharti yang tadi. Dengan modal
20 ekor ayam kampung, Umi memulai usahanya -- dan maju. Ia
berhasil membeli sebuah rumah. Di sanalah anak-anaknya sempat
belajar dengan tenang, tidak terganggu oleh kesibukan tamu-tamu
di restorannya.
Satu hal yang tetap mereka pertahankan ialah pesan mBok Berek
agar anakcucunya, yang sekarang mengusahakan rumah makan secara
sendiri-sendiri itu, memulai usaha 'dari bawah'. Pernah Umi
mendapat tawaran sebuah perusahaan yang menyediakan fasilitas
sebuah rumah makan lengkap untuk menjual ayam goreng yang
dimasaknya. Tawaran itu ditolaknya. "Saya selalu mengingat pesan
mBah Buyut itu," katanya mantap.
Dan tentang anak-anaknya sendiri, tekadnya: "Kalau anak-anak itu
memang pintar, sebaiknya sekolah terus. Kelak sebagai orang
pandai, misalnya, sebagai insinyur atau dokter, tidak ada
salahnya berjualan ayam goreng."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini