Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Berkat resep bumbu si mbok

Ayam goreng mbok berek (alm) sudah terkenal dimana-mana, anak cucunya melanjuntukan usahanya di beberapa kota, nama mbok berek sudah menjadi tanda dagang bagi trah (keturunannya).(tk)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI hari-hari biasa, tak kurang dari 1.000 orang makan di sana. Di hari-hari libur jumlah tamu meningkat. Memang, hampir setiap orang yang kenal Yogya mengenal Rumah Makan Ayam Goreng Nyonya Suharti. Setidak-tidaknya namanya yang lebih populer: mBok Berek. Terletak di pinggir jalan raya, sekitar 7 km dari pusat kota, rumah makan itu tampak menyolok tak jauh dari Bandar Udara Adisucipto. Di tanah seluas 8.000 meter persegi itu juga terdapat rumah tinggal pemilik, ruang pertemuan, masjid, dan asrama untuk 70 karyawan. Dan di bagian belakang sebuah kandang ayam cukup besar. Tapi jangan salah paham: mBok Berek itu bukan Ny. Suharti: Ny. Suharti 36 tahun, tak lain salah seorang cucu. Akan mBok Berek sendiri, beliau itu dulu janda petani dari Desa Candisari, Kecamatan Kalasan, Yogya, yang begitu kondang alias beken dengan ayam gorengnya -- puluhan tahun lalu, entah sejak kapan. Nama sebenarnya dari si embok adalah mBok Rame. Mungkin karena ayamnya banyak, jadi rame. Atau karena anaknya yang enam itu suka rame-rame. Tapi yang menentukan adalah ini: anak sulungnya, yang kelak bernama Ronopawiro, ketika masih kecil dan suka menangis suaranya serak. Hingga bunyinya kedengaran "breeek, breeek". Anak ini lantas dipanggil Si Berek. Dan sejak itu mBok Rame juga dijuluki mBok Berek, artinya ibunya Si Berek. Padahal, yah, kalau orang Jawa mendengar ayam berkeok-keok, misalnya waktu ditangkap buat disembelih, mereka bilang: "Weee, ayamnya berek-berek". Jadi riwayat nama mBok Berek boleh jadi masih kontroversial. Perlu riset. Yang jelas nama itu sudah merupakan tanda dagang bagi trah (anak-turun) si embok. Malah beberapa bulan lalu merk tersebut sudah dimintakan hak paten. Hanya anggota keluarga ini (keturunan langsung) yang berhak pakai. Maklum, dewasa ini ayam goreng si embok sudah menyebar di beberapa kota besar di Jawa: Surabaya, Mojokerto, Sala, Semarang, Madiun, Prambanan, Kalasan, Bandung, Bogor, Jakarta. Siapa menyusul? Di Yogya sendiri ada lima restoran mBok Berek. Tapi rupanya usaha Suharti yang paling berhasil. Karirnya dimulai ketika sebagai gadis remaja, ia menjadi juru masak di warung ayam goreng milik kakak perempuannya, mBok Mangundimedjo di Desa Candisari. Empat tahun kemudian, 1960, Suharti menggoreng ayam sendiri. Usahanya maju setelah ia menikah dengan Syahlan P.H, yang ketika itu menjadi karyawan Pemda DIY. Setiap subuh ia mengayuh sepeda membonceng sekerenjang ayam goreng berisi 15 sampai 20 ekor, disetor ke beberapa toko dan pasar Yogya. Suaminya, pulang dari kantor, membeli ayam dari pasar. Beberapa waktu kemudian langganannya bertambah -- sampai ke Klaten dan Sala. Dan beberapa tahun kemudian, mereka mengganti sepeda dengan Vespa bekas. Selama 10 tahun mereka menjajakan ayam goreng dari pasar ke pasar. Bereeek! Bereeek! Setiap hari, mereka beristirahat di sebuah tempat yang teduh -- dekat lapangan terbang Adisucipto. Nah, di sinilah terjadi saat yang begitu romantis lagi pula bersejarah. "Alangkah baiknya, kalau kita bisa membeli tempat ini untuk membuka warung," kata Syahlan ketika itu -- sambil menyeka keringat tentunya. Nah. Beberapa waktu kemudian Syahlan mendengar lapangan terbang tersebut akan dijadikan bandar udara antar-bangsa. Tak ayal lagi, tanah milik seorang anggota AURI itu pun pada 1970 mereka beli. Mula-mula Suharti masih merasa perlu membonceng nama neneknya yang Berek itu. Malah nama rumah makannya komplit dengan embel-embel jadi "mBok Berek Asli". Tapi kurang dari setahun, setelah para langganan cukup mengenal, embel-embel dicabut. Dan kini rumah makan itu berkembang pesat. Bangunan diperindah dengan tiang-tiang kayu jati berukir dan lampu-lampu hias. Suasananya teduh dan redup. Bukti lain sukses Suharti: Selain menggoreng ayam, sejak 1976 Suharti juga membuka usaha pemondokan untuk mahasiswi atau pelajar wanita. Sekarang sudah berdiri sebuah asrama pelajar dan mahasiswa putri dengan 40 kamar di tanah seluas 1.500 meter persegi. Sebuah asrama lagi, dengan 30 kamar di tanah 1.000 meter persegi, tengah dibangun pula. Suharti memang membuka usaha pondokan sejak 1975. Dan, terakhir, ia juga punya rencana mendirikan sebuah hotel di tanah 10.000 meter persegi, tak jauh dari kompleks restoran. Suharti yang sekarang tentu saja bukan Suharti yang bermandi keringat dulu. Ibu empat anak ini tak jarang ke luar negeri. Ia hanya tamat SD, setiap hari macak tapi sebagai anggota Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha) Yogyakarta, tahun lalu, misalnya, ia ke Amsterdam. "Sempat bertemu dengan Ratu Yuliana," tuturnya. Suaminya, Syahlan, pernah pula berkeliling Asia mempelajari cara pengelolaan beberapa restoran. Dan akhir bulan depan ia akan ke Bangkok mengikuti lomba perkutut. Syahlan memang memiliki hobi perkutut. Ia punya 15 ekor, konon harganya jutaan per ekor. Sudah beberapa kali burung Syahlan menjadi juara pertama. Dari bisnis ayam goreng, Suharti memiliki enam mobil, tiga di antaranya sedan. Itu semua berkat nama eyangnya, mBok Berek. Padahal dahulu kala dagangan si embok sendiri sebenarnya kecil saja, meskipun ia cukup terkenal. Maklum zaman itu. Pada suatu siang, kala itu, ia ketamuan seorang kakek-kakek berpakaian serba hitam. Konon lelaki tua itu memberikan resep dan bumbu ayam goreng. Nah, resep membumbui ayam goreng yang dianggap "wangsit" itulah kuncinya. Sampai kini resep itu tetap dirahasiakan. Yang tidak dirahasiakan ialah cara memasaknya. Ayamnya bukan ayam negeri. Tapi ayam kampung, biasanya berumur kurang dari setahun. Setelah disembelih dan dikuliti sendiri, dan dibumbui, dengan resep rahasia itu, ayam utuh itu direbus dengan api dari kayu bakar -- tidak boleh dengan api kompor. Air untuk merebus pun konorl harus dari sumur yang tcrpilih. Bukan apa-apa. "Air di sekitar sini rasanya tentu lain dengan air di Jakarta, misalnya," ujar Syahlan, yang sudah lama tidak lagi pegawai pemerintah daerah. Air juga harus dapat diresap semuanya oleh si daging. Baru setelah itu ayam digoreng. Tapi cara menggoreng juga tidak sembarangan, meskipun boleh dilakukan oleh karyawan. Seorang karyawan memerlukan latihan menggoreng selama 2 - 3 bulan sebelum dapat menggoreng dengan baik. MENURUT Nyonya Umi, 39 tahun -- ini keturunan mBok Berek yang lain, yaitu cicitnya -- terlebih dulu minyak gorengnya harus cukup panas. "Kalau tidak, ayamnya jadi keras," katanya lagi. "Pernah saya membanting ayam yang digoreng dengan minyak yang belum terlalu panas. Tetap utuh," tambahnya, sambil tertawa. Umi adalah pemilik "pusat Berek" yang lain. Ia membuka rumah makan ayamnya di Jalan Prof. Soepomo, Jakarta. Setelah mengontrak sebuah rumah selama lima tahun, kini Umi membangun restoran dan rumah miliknya sendiri, tak jauh dari tempat kontrakan semula. Bangunan bertingkat dua bernilai Rp 200 juta yang sedang dibangunnya itu cukup mewah. Restorannya dilengkapi 25 meja berwarna hijau, serasi dengan warna temboknya. Salah satu sisi dinding ruang makan dihias pahatan relief, sementara pilar-pilarnya berukir. Ada air terjun buatan serta lampu chandelier kristal ukuran besar. Kursi-kursi berwarna oranye. Menurut rencana, rumah makan itu akan dilengkapi dengan bar. "Setiap hari Selasa Sri Sultan memesan ayam goreng dari sini," kata Umi dengan bangga. Ia juga bangga sempat berkenalan dengan, misalnya, Ibu Tien Soeharto. Selain ayam goreng, Umi juga menyajikan sayur asem, soto, gudek, sayur lodeh, rujak, tahu-tempe bacem. Agaknya sambal ramuan Umi juga terkenal. Banyak orang yang hanya membeli sambal ada yang sampai 1 atau 2 kg, misalnya, untuk dikirim ke keluarganya di luar negeri. Seminggu Umi menghabiskan 5-7 karung beras Cianjur kepala. "Saya ingin menggantinya dengan beras rojolele yang lebih enak," katanya lagi. Kini Umi juga membuka satu cabang mBok Berek di Jalan Panglima Polim Raya, Kebayoran Baru. Rumah makan itu diurus seorang saudaranya, tapi ayam goreng yang dijual di sana tetap dibumbui dan dimasak sendiri oleh Umi. Untuk melayani dua restoran itu ia mempekerjakan 41 karyawan. Malah ia sudah punya rencana membuka sebuah cabang lagi di Jakarta Pusat atau Ciputat. "Di Jakarta, membuka sepuluh cabang juga masih laku," katanya. Boleh dikata rumah makan ini dikelola Umi sendiri, suaminya sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Ibu empat anak yang memiliki ijazah SKKA ini memulai karirnya dengan membuka salon kecantikan pada 1963 di Jalan Talangbetutu. Empat tahun kemudian ia menikah dengan Nursalim, lulusan FH-UGM, dan pindah ke Rawamangun. Setelah melahirkan seorang anak, 1971 ia membuka warung ayam goreng kecil-kecilan di Pegangsaan Timur. Dari sini pindah mengontrak tempat usaha di Jalan Tanjungkarang lantas, ke Pasar Cikini. Karena usahanya kurang maju, tahun 1973 ia istirahat. Empat tahun mengurus anak-anaknya, tahun 1977 ia bangkit lagi berjualan ayam goreng di depan rumah. Dijualnya beberapa perhiasannya untuk modal, ditambah Rp 3 juta lagi yang dipinjamnya dari bibinya, Nyonya Suharti yang tadi. Dengan modal 20 ekor ayam kampung, Umi memulai usahanya -- dan maju. Ia berhasil membeli sebuah rumah. Di sanalah anak-anaknya sempat belajar dengan tenang, tidak terganggu oleh kesibukan tamu-tamu di restorannya. Satu hal yang tetap mereka pertahankan ialah pesan mBok Berek agar anakcucunya, yang sekarang mengusahakan rumah makan secara sendiri-sendiri itu, memulai usaha 'dari bawah'. Pernah Umi mendapat tawaran sebuah perusahaan yang menyediakan fasilitas sebuah rumah makan lengkap untuk menjual ayam goreng yang dimasaknya. Tawaran itu ditolaknya. "Saya selalu mengingat pesan mBah Buyut itu," katanya mantap. Dan tentang anak-anaknya sendiri, tekadnya: "Kalau anak-anak itu memang pintar, sebaiknya sekolah terus. Kelak sebagai orang pandai, misalnya, sebagai insinyur atau dokter, tidak ada salahnya berjualan ayam goreng."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus