Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pengangguran makin merata

Memberhentikan 105 buruhnya, karena keuangan perusahaan mengalami kesulitan dan kegiatan usaha berkurang. (eb)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI Buruh 20 Februari tahun ini nampaknya tak sedap buat Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Dalam ulang tahun yang kesepuluh, organisasi buruh itu dibanjiri berita duka dari berbagai daerah. Sejak April 1981 hingga kini sedikitnya ada 32.000 buruh diberhentikan dari pekerjaannya. Menurut Oetojo Oesman, Dirjen Bina Lindung Departemen Nakertrans, 24.650 buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PTIK). "Sekitar 30 persen di antaranya diberhentikan karena perusahaannya terkena resesi dunia," kata Oetojo minggu lalu. Sedang sekitar 8.000 orang lagi berhenti secara "sukarela" karena perusahaan elektronik PT NS, dan beberapa perusahaan kecil di sekitar Bandung mengalami kelesuan. Sektor yang paling banyak menciutkan jumlah buruhnya ialah perusahaan tekstil, industri komponen elektronik, dan pembuat barang ekspor. Namun ia tidak mau menunjuk, perusahaan tersebut melakukan PHK semata karena terkena resesi dunia. "Masalah yang dihadapi perusahaan tekstil bukan cuma resesi, tetapi persaingan pasar," katanya kepada TEM PO . "Untuk merebut pasaran, seharusnya mereka tidak perlu memukul buruh." Artinya, perusahaan tekstil itu mesti memperbaiki mutu, mempelajari selera konsumen dan mampu bertahan di pasaran. Menurut catatannya, angka PHK yang disebabkan resesi hanya 35 persen dari 12.800 buruh yang dikeluarkan dari perusahaan selama 1982. Beberapa perusahaan yang menciutkan jumlah buruhnya antara lain PT Wira Mustika Indah, Jakarta. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) Pusat, 12 Juli 1982 menyetujui PHK atas 279 buruh yang pernah mogok. Sedang Perusahaan Ganaco Group Bandung yang memang bangkrut, 16 Agustus melepas 300 buruhnya. Hal sama dilakukan PT Daha Motor, Jakarta terhadap 105 orang buruhnya. Alasannya: keuangan perusahaan itu sulit, dan kegiatan usaha berkurang. Perusahaan yang melakukan PHK dengan alasan terkena resesi dunia antara lain PT Inco Indonesia, di Soroako, Sul-Sel. Perusahaan nikel milik PMA itu mencopot 426 dari seluruh 3.600 buruh asal Indonesia dan menghentikan 30% dari 88 tenaga asing (TEMPO, 30 Oktober 1982). PT Sumber Bersama Jaya, Pontianak memberhentikan 71 orang juga dengan alasan resesi. Tapi ada pula perusahaan yang mengurangi buruhnya karena peraturan pemerintah. PT Gaya Wahana Timber Unit Plywood, Jambi, 15 November 1982 mencopot 128 buruh karena SK Menteri Perdagangan dan Koperasi mengenai pemberhentian produksi Venex basah. Sementara itu, P4 Pusat juga mengabulkan pemberhentian 88 buruh PT Darma Neswara Jakarta karena perusahaan itu mengalami kesulitan pemasaran. Terakhir, 17 Januari lalu, PT Philips-Ralin Bandung melakukan PHK atas 134 karyawannya dengan alasan kesulitan pemasaran pula. Pabrik yang merakit tv dan radio merk Philips itu tidak bisa menjual seluruh produksinya. "Pemasaran turun antara 15-25%," kata Gerrit Vos, Direktur PT Philips-Ralin Electronic di Jakarta kepada TEMPO. Kecuali pasaran lesu, Vos juga menunjuk kemajuan teknologi yang menjadi biang keladi PHK itu. Dulu, radio memakai tabung dan kawat-kawat. Sekarang, komponen itu diganti dengan transistor yang tidak memerlukan banyak tenaga untuk memasangnya. Namun, menurut Vos, perusahaan patungan Philips-Ralin itu tidak terlalu cepat memberhentikan karyawannya yang kini berjumlah 1.500 orang itu bila pasaran bisa naik 12% tiap tahun. Sebagai contoh cabang perusahaan itu di Surabaya yang membuat lampu TL dan pijar yang menguasai 60% pasaran, justru akan menambah jumlah buruhnya. "Tapi penambahan buruh di Surabaya tidak lebih besar dibanding pengurangan buruh di Bandung," katanya. Walau sudah "dirumahkan", beberapa karyawan pabrik tv dan radio di Jalan Kiaracondong Bandung itu masih kelihatan tetap datang ke tempat kerja. "Siapa tahu putusan itu bisa dicabut kembali," kata Iri Sutisna, bekas karyawan bagian perakitan yang bekerja sejak 10 tahun lalu. Buruh yang terkena PHK rata-rata ialah mereka yang belum genap 16 tahun bekerja. Mereka mendapat pesangon dua kali gaji, dan masih akan menerima gaji penuh sampai bulan Maret. "Paket ini saya anggap cukup baik," kata Gerrit Vos. Nasib buruh, menurut Ketua Umum DPP FBSI Agus Sudono, tidak cerah untuk tahun-tahun mendatang. "Banyak buruh, misalnya, dari sektor tekstil mendapat upah yang jauh di bawah kebutuhan hidup," katanya kepada TEMPO. Sebuah penelitian menyebutkan kebanyakan pekerja wanita di pedesaan Jawa Tengah memperoleh upah di bawah upah minimum Rp 625 per hari. Upah rata-rata yang diperoleh pekerja wanita Rp 14.200 per bulan, ditambah pinjaman Rp 5.000. Masa depan buruh agaknya masih tergantung pada keadaan ekonomi negara. "Jadi tidak mengherankan kalau di Indonesia mengalami masalah semacam itu," kata Menteri Nakertrans Harun Zein kepada TEMPO. Yang perlu dilakukan ialah bagaimana meringankan beban buruh walau perusahaan terkena angin resesi dunia. "Kalau ekonomi membaik, masalah buruh juga akan ikut baik," katanya. Dengan kata lain, selama keadaan ekonomi masih suram, pengangguran makin merata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus