HARI Buruh 20 Februari tahun ini nampaknya tak sedap buat
Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Dalam ulang tahun yang
kesepuluh, organisasi buruh itu dibanjiri berita duka dari
berbagai daerah. Sejak April 1981 hingga kini sedikitnya ada
32.000 buruh diberhentikan dari pekerjaannya.
Menurut Oetojo Oesman, Dirjen Bina Lindung Departemen
Nakertrans, 24.650 buruh terkena pemutusan hubungan kerja
(PTIK). "Sekitar 30 persen di antaranya diberhentikan karena
perusahaannya terkena resesi dunia," kata Oetojo minggu lalu.
Sedang sekitar 8.000 orang lagi berhenti secara "sukarela"
karena perusahaan elektronik PT NS, dan beberapa perusahaan
kecil di sekitar Bandung mengalami kelesuan.
Sektor yang paling banyak menciutkan jumlah buruhnya ialah
perusahaan tekstil, industri komponen elektronik, dan pembuat
barang ekspor. Namun ia tidak mau menunjuk, perusahaan tersebut
melakukan PHK semata karena terkena resesi dunia. "Masalah yang
dihadapi perusahaan tekstil bukan cuma resesi, tetapi persaingan
pasar," katanya kepada TEM PO . "Untuk merebut pasaran,
seharusnya mereka tidak perlu memukul buruh." Artinya,
perusahaan tekstil itu mesti memperbaiki mutu, mempelajari
selera konsumen dan mampu bertahan di pasaran.
Menurut catatannya, angka PHK yang disebabkan resesi hanya 35
persen dari 12.800 buruh yang dikeluarkan dari perusahaan selama
1982. Beberapa perusahaan yang menciutkan jumlah buruhnya antara
lain PT Wira Mustika Indah, Jakarta. Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (P4) Pusat, 12 Juli 1982 menyetujui PHK
atas 279 buruh yang pernah mogok. Sedang Perusahaan Ganaco Group
Bandung yang memang bangkrut, 16 Agustus melepas 300 buruhnya.
Hal sama dilakukan PT Daha Motor, Jakarta terhadap 105 orang
buruhnya. Alasannya: keuangan perusahaan itu sulit, dan kegiatan
usaha berkurang.
Perusahaan yang melakukan PHK dengan alasan terkena resesi dunia
antara lain PT Inco Indonesia, di Soroako, Sul-Sel. Perusahaan
nikel milik PMA itu mencopot 426 dari seluruh 3.600 buruh asal
Indonesia dan menghentikan 30% dari 88 tenaga asing (TEMPO, 30
Oktober 1982). PT Sumber Bersama Jaya, Pontianak memberhentikan
71 orang juga dengan alasan resesi.
Tapi ada pula perusahaan yang mengurangi buruhnya karena
peraturan pemerintah. PT Gaya Wahana Timber Unit Plywood, Jambi,
15 November 1982 mencopot 128 buruh karena SK Menteri
Perdagangan dan Koperasi mengenai pemberhentian produksi Venex
basah.
Sementara itu, P4 Pusat juga mengabulkan pemberhentian 88 buruh
PT Darma Neswara Jakarta karena perusahaan itu mengalami
kesulitan pemasaran. Terakhir, 17 Januari lalu, PT Philips-Ralin
Bandung melakukan PHK atas 134 karyawannya dengan alasan
kesulitan pemasaran pula. Pabrik yang merakit tv dan radio merk
Philips itu tidak bisa menjual seluruh produksinya. "Pemasaran
turun antara 15-25%," kata Gerrit Vos, Direktur PT Philips-Ralin
Electronic di Jakarta kepada TEMPO. Kecuali pasaran lesu, Vos
juga menunjuk kemajuan teknologi yang menjadi biang keladi PHK
itu. Dulu, radio memakai tabung dan kawat-kawat. Sekarang,
komponen itu diganti dengan transistor yang tidak memerlukan
banyak tenaga untuk memasangnya.
Namun, menurut Vos, perusahaan patungan Philips-Ralin itu tidak
terlalu cepat memberhentikan karyawannya yang kini berjumlah
1.500 orang itu bila pasaran bisa naik 12% tiap tahun. Sebagai
contoh cabang perusahaan itu di Surabaya yang membuat lampu TL
dan pijar yang menguasai 60% pasaran, justru akan menambah
jumlah buruhnya. "Tapi penambahan buruh di Surabaya tidak lebih
besar dibanding pengurangan buruh di Bandung," katanya.
Walau sudah "dirumahkan", beberapa karyawan pabrik tv dan radio
di Jalan Kiaracondong Bandung itu masih kelihatan tetap datang
ke tempat kerja. "Siapa tahu putusan itu bisa dicabut kembali,"
kata Iri Sutisna, bekas karyawan bagian perakitan yang bekerja
sejak 10 tahun lalu. Buruh yang terkena PHK rata-rata ialah
mereka yang belum genap 16 tahun bekerja. Mereka mendapat
pesangon dua kali gaji, dan masih akan menerima gaji penuh
sampai bulan Maret. "Paket ini saya anggap cukup baik," kata
Gerrit Vos.
Nasib buruh, menurut Ketua Umum DPP FBSI Agus Sudono, tidak
cerah untuk tahun-tahun mendatang. "Banyak buruh, misalnya, dari
sektor tekstil mendapat upah yang jauh di bawah kebutuhan
hidup," katanya kepada TEMPO. Sebuah penelitian menyebutkan
kebanyakan pekerja wanita di pedesaan Jawa Tengah memperoleh
upah di bawah upah minimum Rp 625 per hari. Upah rata-rata yang
diperoleh pekerja wanita Rp 14.200 per bulan, ditambah pinjaman
Rp 5.000.
Masa depan buruh agaknya masih tergantung pada keadaan ekonomi
negara. "Jadi tidak mengherankan kalau di Indonesia mengalami
masalah semacam itu," kata Menteri Nakertrans Harun Zein kepada
TEMPO. Yang perlu dilakukan ialah bagaimana meringankan beban
buruh walau perusahaan terkena angin resesi dunia. "Kalau
ekonomi membaik, masalah buruh juga akan ikut baik," katanya.
Dengan kata lain, selama keadaan ekonomi masih suram,
pengangguran makin merata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini