SEPEKAN setelah Zia Ul-Haq dimakamkan, panglima angkatan darat Pakistan yang baru, Jenderal Mirza Aslam Beg, mengumumkan angkatan darat "tidak akan berbuat buruk" menjelang pemilu 16 November yang akan datang. Keterangan Aslam Beg itu menyusul janji penjabat Presiden Ishaq Khan bahwa pemilu tetap akan diselenggarakan, sebagaimana telah diumumkan sebelum malapetaka Bahawalpur 17 Agustus lalu. Tetapi benarkah Pakistan akan memasuki era demokrasi? Benarkah pendapat sementara cendekiawan Pakistan di London belum lama ini, bahwa "jutaan orang mendambakan Benazir Bhutto menjadi pemimpin negerinya" setelah "pemerintahan militer selama 11 tahun"? Sesederhana itukah kehidupan politik Pakistan dikategorikan seperti lazimnya ilmuwan politik Barat membahas hubungan "sipil-militer" ? Siapa pun harus ingat pada rumus kata orang Inggris tentang Pakistan zaman dahulu. Rumus itu berbunyi: "Pimpinlah orang Punjab tindaslah orang Sindh kawanilah orang Baluchi dan sogoklah orang Pathan." Itu memang rumus kolonial lebih dari 50 tahun yang lalu, sebelum British India pecah menjadi India dan Pakistan Agustus 1947. Tetapi demografi, geopolitik, dan kebudayaan amat menentukan cara mengkaji perkembangan nyata di Pakistan, perkembangan yang luput dari pemberitaan media Barat tentang "demokrasi di Pakistan." Pakistan tak mungkin dipahami dengan baik tanpa mengetahui kedudukan sentral orang Punjab. Lebih dari 55 juta orang Pakistan (dari jumlah sekitar 100 juta) adalah orang Punjab. Siapa pun yang menang dalam pemilu 16 November harus memperhatikan faktor demografi ini. Orang Punjab adalah Prusianya orang Pakistan besar, tegap, gagah, dan berani. Sekitar 80% tentara Pakistan berasal dari situ. Jadi, apa pun nama pemerintahan yang terbentuk sebagai hasil pemilihan umum November nanti, mau tak mau ia harus memperhitungkan faktor itu. Lagi pula, bagian terbesar jabatan pemerintahan sipil Pakistan ditempati oleh orang Punjab. Orang Punjab jugalah yang memasukkan anak-anaknya di perguruan-perguruan tinggi di Pakistan untuk menjadi bagian dari kelas menengah yang berhasil. Bahkan pengusaha turunan Punjab berperan kuat di tengah-tengah Kota Karachi, ibu kota Provinsi Sindh, daerah asal keluarga Bhutto. Orang Sindh di Pakistan berjumlah sekitar 23 juta, tetapi dalam beberapa tahun ini merasa kian menjadi minoritas di provinsinya sendiri. Ribuan orang Punjab, Bihari (asal Pakistan Timur sebelum negeri itu terbelah dua pada 1971) dan Pathan mulai masuk Provinsi Sindh dan mendesak kedudukan tokoh-tokoh lama. Karachi, ibu kota provinsi, menjadi salah satu pusat penjualan obat bius yang terkemuka di dunia. Mafia obat bius dan mafia perdagangan senjata gelap buatan Eropa Timur, Amerika Serikat, dan Inggris beredar secara leluasa. Orang Sindh di pedesaan yang merasa terdesak oleh pendatang luar akhirnya membentuk gerakan pembebasan bangsa Sindh. Tetapi seperti halnya Zulfikar Ali Bhutto lebih dari 10 tahun yang lalu gerakan itu lebih bersifat anti-Punjab daripada gerakan pembebasan murni. Sementara itu, pengkotakan orang Punjab, orang Pathan, dan orang Sindh kian menajam, sehingga lengkaplah provinsi itu dikenal sebagai arena "demokrasi gontok-gontokan". Baluchistan menempati wilayah separuh seluruh Pakistan, tetapi penduduknya hanya berjumlah 5 juta orang. Pada tahun 1970-an, Zia Ul-Haq berhasil meredam untuk sementara tuntutan orang Baluchi tentang otonomi daerah. Akan tetapi pemberontakan berkobar lagi, terutama setelah pertentangan orang Baluchi yang berasal dari suku Masrii, suku Mengal, dan suku Bugti sulit digabung menjadi pengelompokan yang utuh. Di mana Zulfikar Ali Bhutto berkuasa, merekalah yang paling gigih menentang pemerintahannya, karena program pembangunan pemerintah pusat mengancam kedudukan tradisional mereka di kalangan penduduk pedesaan. Hingga sekarang pun orang Baluchi bertahan menantang kewenangan pemerintah pusat di Islamabad. Akhirnya, di wilayah barat laut -- daerah North-West Frontier yang terkenal itu -- bermukimlah sekitar 12 juta orang yang terdiri atas suku-suku yang diawasi oleh pemerintah pusat, yang disebut Federally Administered Tribal Areas. Hanya sebagian wilayah ini dikendalikan langsung oleh pemerintah pusat, karena orang Pathan yang bermukim di situ terkenal tak ingin diatur oleh suku bangsa lain. Sebagian besar pengungsi yang pindah dari Afghanistan berasal dari suku Pathan juga, sehingga ketika perang Afghanistan berkecamuk, lebih dari 2,3 juta orang menyeberang ke Pakistan. Seperti halnya orang Sindh di Pakistan selatan, banyak tokoh Pathan hidup dari penyelundupan obat bius dan jual-beli senjata konvensional modern. Jaringan perdagangan gelap itu meluas hingga ke Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang. Kenyataan-kenyataan demografis, geopolitik, dan kebudayaan inilah yang perlu diingat manakala kita baca tentang kemungkinan "era demokrasi" di Pakistan. Pada dasarnya, seperti halnya di India, Sri Lanka, dan Bangladesh, kondisi-kondisi minimal untuk memberi arti terhadap konsep demokrasi belumlah ada. Seperti juga di India, Sri Lanka, dan Bangladesh, yang berkuasa adalah tuan-tuan tanah dan keluarga-keluarga berpengaruh. "Demokrasi" yang bakal ada setelah pemilu 16 November adalah demokrasi bagi mereka yang cukup makan, punya simpanan emas, dan pandai mengutip ungkapan-ungkapan Churchill. Tetapi buat sebagian besar rakyat Pakistan, "demokrasi" adalah kekacauan, kebingungan, dan maut yang mengancam setiap saat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini