PENDUDUK Kampung Pluit Dalam di Kelurahan Penjaringan, Jakarta
Utara, diberi kesibukan baru. Setidaknya pamongnya mempelajari
seberkas rangkaian gambar dengan teks sederhana yang mirip buku
komik. Berkas itu menyajikan saran para arsitek tentang cara
membuat kakus umum, menampung air hujan bagi pembilasannya dan
mengatasi soal sampah.
Kampung itu, meski bertetangga dengan suatu lingkungan perumahan
mewah di Pluit dan sudah disolek kwat proyek MHT, masih belum
punya kakus umum, maupun kakus di rumah masingmasing. Bangunan
di sana saling menghimpit, hingga tak bersisa tempat untuk
kakus. Bila hendak buang hajat besar, mereka pergi ke tepi rawa,
suatu perjalanan cukup jauh dalam keadaan mendesak. "Bahkan
sebagian penduduk sengaja mengubah menu makanan, hendak
mengurangi hajat itu," ujar Ir. Suwondo B. Soetedjo.
Mirip Komik
Ir. Suwondo mengetuai kelompok arsitek yang mengunjungi kampung
itu -- sebagian kegiatan Lokakarya Kelompok Kerja Masalah
Pemukiman dari IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), awal September
ini di Jakarta. "Lokakarya ini mencoba melanjutkan garis yang
disimpulkan dalam Seminar Habitat, " kata Suwondo. Seminar dua
tahun lalu di Jakarta itu antara lain menyimpulkan bahwa program
perbaikan kampung hendaknya dilihat sebagai usaha pengelolaan
sumber daya, tidak sebagai sejumlah proyek yang disiapkan beres.
Ada gagasan mengikutsertakan mereka dalam setiap program.
Tapi untuk itu diperlukan suatu teknik komunikasi. Salah satu
metode pernah disajikan Yona Friedman, arsitek bangsa Prancis,
dalam seminar 1979 itu. Friedman, konsultan berbagai badan PBB,
terutama Unesco, mengembangkan metode rangkaian gambar mirip
komik itu. Berkas gambar itu, katanya, masih berupa suatu
gagasan, yang dimatangkan lagi kemudian oleh penduduk sendiri.
"Metode komunikasi tentu bukan itu saja," ujar Ir. Hindro
Tjahjono, Ketua IAI pekan lalu kepada TEMPO. "Kebetulan metode
Friedman sudah tersedia apa salahnya kita coba."
John Turner, arsitek bangsa Inggris yang juga dari Unesco,
mempromosikan penggunaan maket. Tapi metodenya ditolak oleh
Lokakarya IAI karena agak mahal, meski hanya menggunakan
potongan kartun dan kertas sisa. Penerapannya dianggap lebih
cocok bagi kelompok masyarakat yang lebih berada.
Berkas gambar Friedman lebih murah -- sekitar ongkos fotokopi.
Jasa orang asing yang membuatnya ditanggung Unesco., Friedman
cukup terkesan oleh sambutan penduduk Kampung Dalam atas buku
komiknya. "Mereka segera menyukainya," ujarnya.
Kelompok IAI itu berdialog dengan penduduk kampung itu. Saran
para arsitek diungkapkan dalam rangkaian gambar metode
Friedman, lengkap dengan teks berbahasa sederhana. Kemudian
penduduk kampung itu membahas sesamanya. Setiap warga diharapkan
menambah, mengubah atau memperbaiki gagasan dalam gambar maupun
teks berkas itu.
"Saya punya atasan," ujar M. Daikan, Ketua RW 008 yang meliputi
Karnpung Dalam itu. Ia merasa persoalannya harus dibahas dulu
bersama Lurah Penjaringan, sementara berkas itu disimpan seorang
guru, warga Kampung Dalam. "Yang penting tidak memberatkan
warga," sambung Wakil Lurah Penjaringan, Rahim. "Jika berhasil
di RW 008, mungkin gagasan itu bisa diterapkan di seluruh
lingkungan kelurahan."
Mengapa para arsitek menyibukkan diri dengan daerah pemukiman
orang miskin seperti ini? "Masyarakat miskin, yang hidup di
kampung kota, dibutuhkan masyarakat lainnya juga," ujar Hindro
Tjahjono. Contohnya Kota Chandigarh di India. Dibangun sama
sekali baru 15 tahun lalu, kota itu kini menumbuhkan pemukiman
penduduk miskin. "Mereka menjadi pelayan, tukang kebun, sopir
atau pedagang kecil," demikian Nn. Madusarin, staf Tatakota
Chandigarh yang juga hadir dalam lokakarya. Ketika Kota
Chandigarh dirancang oleh Le Corbusier, arsitek Swiss tersohor,
kemungkinan itu sama sekali terlupakan.
Menurut Ketua IAI, program perbaikan kampung selama ini "masih
perbaikan fisik saja." Kalau jalan sudah bisa dimasuki mobil,
tanah mulai dibeli orang luar, sedang penduduknya pindah ke
tempat lain, dan membikin kampung baru.
Program perbaikan kampung yang sudah berjalan dianggap bisa
disempurnakan lagi, antara lain melalui proses gambar itu.
Pemerintah, sebelum menerapkan program perbaikan, dianjurkan
mengetahui terlebih dulu apa yang sebetulnya diinginkan penduduk
kampung itu. Itu berarti arsitek terpaksa merangkul berbagai
ilmu lainnya. "Siapa saja, yang bekerja dalam kenyataan sosial
masa kini, harus menjadi orang beraneka disiplin," ujar Friedman
lagi.
Ada pula kelompok arsitek yang pergi ke sebuah kampung di
Kelurahan Kalibaru. Mereka mencoba mengidentifikasikan potensi
ekonomis dan pola sosial dalam kampung itu. Mungkin potensi itu
bisa dikembangkan.
Kampung ketiga yang menjadi sasaran penelitian lokakarya itu
terletak di Kelurahan Sunter. Ini dikunjungi subkelompok
"Melatih Tenaga Perbaikan Kampung". Program ini ingin menggali
keikutsertaan tenaga kerja penduduk kampung itu sendiri,
sekaligus melibatkan tenaga arsitek muda'dan mahasiswa tingkat
akhir.
Belajar menerapkan berbagai teknik sederhana saat ini merupakan
kecenderungan dalam arsitektur. Ini dikenal dengan istilah
vernacular architecture, arsitektur yang memanfaatkan potensi
yang ada dalam masyarakat sendiri--seperti tenaga, kemampuan dan
bahan. "Selama ini arsitek terutama berorientasi pada 2096
masyarakat yang mampu," ujar Ir. Suwondo.
Setelah menggebu-gebu membangun selama dua dasawarsa sekarang
timbul kesadaran baru di kalangan arsitek. "Apa yang kita
lakukan selama ini tidak berakar pada masyarakat kita," kata
Hindro Tjahjono lagi. "Kok lingkungan Jalan Thamrin jadi begini,
Pondok Indah jadi begini, Jakarta jadi begini? Terus terang,
kami malu!"
Dalam hal ini ia salut pada rekan arsitek di Bali yang
memelopori pendirian sekolah tinggi arsitektur tradisional di
Bali. (lihat box). IAI sendiri merencanakan menyelenggarakan
(Desember) suatu Seminar Arsitektur Tradisional scbagai
persiapan menjelang Kongres IAI dengan tema Arsitektur
Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini