Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Arsitek Masuk Kampung

IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) mengadakan program perbaikan kampung di Pluit dalam Jakarta Utara. Kegiatan ini berkaitan dengan lokakarya kelompok kerja masalah pemukiman.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK Kampung Pluit Dalam di Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, diberi kesibukan baru. Setidaknya pamongnya mempelajari seberkas rangkaian gambar dengan teks sederhana yang mirip buku komik. Berkas itu menyajikan saran para arsitek tentang cara membuat kakus umum, menampung air hujan bagi pembilasannya dan mengatasi soal sampah. Kampung itu, meski bertetangga dengan suatu lingkungan perumahan mewah di Pluit dan sudah disolek kwat proyek MHT, masih belum punya kakus umum, maupun kakus di rumah masingmasing. Bangunan di sana saling menghimpit, hingga tak bersisa tempat untuk kakus. Bila hendak buang hajat besar, mereka pergi ke tepi rawa, suatu perjalanan cukup jauh dalam keadaan mendesak. "Bahkan sebagian penduduk sengaja mengubah menu makanan, hendak mengurangi hajat itu," ujar Ir. Suwondo B. Soetedjo. Mirip Komik Ir. Suwondo mengetuai kelompok arsitek yang mengunjungi kampung itu -- sebagian kegiatan Lokakarya Kelompok Kerja Masalah Pemukiman dari IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), awal September ini di Jakarta. "Lokakarya ini mencoba melanjutkan garis yang disimpulkan dalam Seminar Habitat, " kata Suwondo. Seminar dua tahun lalu di Jakarta itu antara lain menyimpulkan bahwa program perbaikan kampung hendaknya dilihat sebagai usaha pengelolaan sumber daya, tidak sebagai sejumlah proyek yang disiapkan beres. Ada gagasan mengikutsertakan mereka dalam setiap program. Tapi untuk itu diperlukan suatu teknik komunikasi. Salah satu metode pernah disajikan Yona Friedman, arsitek bangsa Prancis, dalam seminar 1979 itu. Friedman, konsultan berbagai badan PBB, terutama Unesco, mengembangkan metode rangkaian gambar mirip komik itu. Berkas gambar itu, katanya, masih berupa suatu gagasan, yang dimatangkan lagi kemudian oleh penduduk sendiri. "Metode komunikasi tentu bukan itu saja," ujar Ir. Hindro Tjahjono, Ketua IAI pekan lalu kepada TEMPO. "Kebetulan metode Friedman sudah tersedia apa salahnya kita coba." John Turner, arsitek bangsa Inggris yang juga dari Unesco, mempromosikan penggunaan maket. Tapi metodenya ditolak oleh Lokakarya IAI karena agak mahal, meski hanya menggunakan potongan kartun dan kertas sisa. Penerapannya dianggap lebih cocok bagi kelompok masyarakat yang lebih berada. Berkas gambar Friedman lebih murah -- sekitar ongkos fotokopi. Jasa orang asing yang membuatnya ditanggung Unesco., Friedman cukup terkesan oleh sambutan penduduk Kampung Dalam atas buku komiknya. "Mereka segera menyukainya," ujarnya. Kelompok IAI itu berdialog dengan penduduk kampung itu. Saran para arsitek diungkapkan dalam rangkaian gambar metode Friedman, lengkap dengan teks berbahasa sederhana. Kemudian penduduk kampung itu membahas sesamanya. Setiap warga diharapkan menambah, mengubah atau memperbaiki gagasan dalam gambar maupun teks berkas itu. "Saya punya atasan," ujar M. Daikan, Ketua RW 008 yang meliputi Karnpung Dalam itu. Ia merasa persoalannya harus dibahas dulu bersama Lurah Penjaringan, sementara berkas itu disimpan seorang guru, warga Kampung Dalam. "Yang penting tidak memberatkan warga," sambung Wakil Lurah Penjaringan, Rahim. "Jika berhasil di RW 008, mungkin gagasan itu bisa diterapkan di seluruh lingkungan kelurahan." Mengapa para arsitek menyibukkan diri dengan daerah pemukiman orang miskin seperti ini? "Masyarakat miskin, yang hidup di kampung kota, dibutuhkan masyarakat lainnya juga," ujar Hindro Tjahjono. Contohnya Kota Chandigarh di India. Dibangun sama sekali baru 15 tahun lalu, kota itu kini menumbuhkan pemukiman penduduk miskin. "Mereka menjadi pelayan, tukang kebun, sopir atau pedagang kecil," demikian Nn. Madusarin, staf Tatakota Chandigarh yang juga hadir dalam lokakarya. Ketika Kota Chandigarh dirancang oleh Le Corbusier, arsitek Swiss tersohor, kemungkinan itu sama sekali terlupakan. Menurut Ketua IAI, program perbaikan kampung selama ini "masih perbaikan fisik saja." Kalau jalan sudah bisa dimasuki mobil, tanah mulai dibeli orang luar, sedang penduduknya pindah ke tempat lain, dan membikin kampung baru. Program perbaikan kampung yang sudah berjalan dianggap bisa disempurnakan lagi, antara lain melalui proses gambar itu. Pemerintah, sebelum menerapkan program perbaikan, dianjurkan mengetahui terlebih dulu apa yang sebetulnya diinginkan penduduk kampung itu. Itu berarti arsitek terpaksa merangkul berbagai ilmu lainnya. "Siapa saja, yang bekerja dalam kenyataan sosial masa kini, harus menjadi orang beraneka disiplin," ujar Friedman lagi. Ada pula kelompok arsitek yang pergi ke sebuah kampung di Kelurahan Kalibaru. Mereka mencoba mengidentifikasikan potensi ekonomis dan pola sosial dalam kampung itu. Mungkin potensi itu bisa dikembangkan. Kampung ketiga yang menjadi sasaran penelitian lokakarya itu terletak di Kelurahan Sunter. Ini dikunjungi subkelompok "Melatih Tenaga Perbaikan Kampung". Program ini ingin menggali keikutsertaan tenaga kerja penduduk kampung itu sendiri, sekaligus melibatkan tenaga arsitek muda'dan mahasiswa tingkat akhir. Belajar menerapkan berbagai teknik sederhana saat ini merupakan kecenderungan dalam arsitektur. Ini dikenal dengan istilah vernacular architecture, arsitektur yang memanfaatkan potensi yang ada dalam masyarakat sendiri--seperti tenaga, kemampuan dan bahan. "Selama ini arsitek terutama berorientasi pada 2096 masyarakat yang mampu," ujar Ir. Suwondo. Setelah menggebu-gebu membangun selama dua dasawarsa sekarang timbul kesadaran baru di kalangan arsitek. "Apa yang kita lakukan selama ini tidak berakar pada masyarakat kita," kata Hindro Tjahjono lagi. "Kok lingkungan Jalan Thamrin jadi begini, Pondok Indah jadi begini, Jakarta jadi begini? Terus terang, kami malu!" Dalam hal ini ia salut pada rekan arsitek di Bali yang memelopori pendirian sekolah tinggi arsitektur tradisional di Bali. (lihat box). IAI sendiri merencanakan menyelenggarakan (Desember) suatu Seminar Arsitektur Tradisional scbagai persiapan menjelang Kongres IAI dengan tema Arsitektur Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus