BALI maju selangkah memelihara arsitektur tradisionalnya. Dengan
bantuan pemda, pulau pariwisata tu membuka Sekolah Tinggi
Arsitektur Bali Tradisional. Kuliahnya baru saja dimulai. Buat
sementara ia mendompleng pada Sekolah Dwijendra, Denpasar, tapi
Pemda Bali sudah menyediakan tanah 1,5 ha di daerah Kesiman
untuk calon kampus.
Sekolah ini disponsori Yayasan Dwijendra. Universitas Udayana,
meski punya Jurusan Arsitektur, tak merasa disaingi. Bahkan Unud
mengizinkan dosennya mengajar di sekolah baru itu, dengan
harapan supaya "kita bisa mengembangkan arsitektur Bali lebih
luas," ujar Ir. 1. Nengah Celebet, Ketua Jurusan Arsitektur FT
Unud.
Pengaruh modern semakin mendesak keaslian arsitektur Bali
tradisional, yang pengertiannya cukup luas. Mulai dari tata
ruang, bentuk sampai ukuran menuntut perhitungan tepat. Semua
unsur punya makna yang mendalam, mencerminkan falsafah hidup
orang Bali. "Tapi sekarang kita di Bali sering mengabaikan itu,"
ujar Cok Raka Dherana SI. Ketua Lembaga Adat dan dosen Unud itu
mengakui ini bukan karena sengaja, melainkan sebagai akibat
ketidaktahuan.
Walaupun belum pernah dilakukan penelitian, diduga tinggal 10%
saja bangunan bercorak asli Bali, ujar Ir. Celebet. "Ini pun
diterapkan pada bangunan tempat ibadat saja. Membangun tempat
tinggal, mereka seperti seenaknya saja." Celebet menganggap
inisebagai akibat semakin berkurang pengetahuan tentang makna
unsur dan ukuran pasti bangunan asli. Agaknya Sekolah Tinggi itu
diharapkan bisa merumuskan makna yang disebut arsitektur Bali
dan bagaimana pengembangannya di tengah kemajuan teknologi
sekarang.
Ketika gempa bumi melanda Bali, lebih banyak bangunan modern
yang rubuh berantakan, sedang bangunan asli lebih utuh. Bila
tembok hancur, "atap (bangunan asli) tetap tegak," ujar Robi
Sularto dari BIC (Building Information Centre) di Sanur. "Ini
sudah diperhitungkan dengan tiang penyanggah bangunan itu, tapi
hal itu kini dilupakan, terdesak pengaruh modern."
Untuk mengembangkan rumah tahan gempa di Bali, BIC sangat aktif
menggali nilai arsitektur tradisional. "Robi Suharto banyak
meneliti dan mempelajari rontal-rontal lama, mengungkapkan
kaidah arsitektur tradisional Bali," kata Ir. Hendro Tjahjono,
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia. Dan Sularto konon sangat
berperan dalam membuka sekolah baru itu.
Jumlah dosennya (40 orang) masih melebihi jumlah mahasiswanya.
Tapi itu bukan sebab uang kuliah (Rp 100 ribu setahun).
Mahasiswa yang diterima memang terbatas --dari jurusan Paspal.
Kuliahnya berlangsung selama sembilan semester, dibanding dengan
FT Unud delapan semester. Juga mata kuliahnya lebih banyak,
meski pada dasarnya tidak berbeda dengan yang diberikan di
FT-Unud. Ada 160 SKS (Sistem Kredit Semester), 109 di antaranya
kuliah pokok dan 51 berupa tambahan. Yang terakhir inilah yang
menyajikan soal arsitektur tradisional Bali. "Mahasiswa akan
lebih banyak terjun ke lapangan," ujar Dherana SH menjelaskan.
"Mereka belajar sambil memberikan petunjuk pada Sangging atau
Undagi, yang biasanya lebih banyak ditemukan dipedesaan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini