Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MICHAEL Stanley Whittingham, profesor kimia di Binghamton University, State University of New York, Amerika Serikat, berharap teknologi baterai litium-ion bertumbuh. Pria 77 tahun itu menjadi salah satu peraih Hadiah Nobel Kimia 2019. Bersama John B. Goodenough dari University of Texas di Austin, Amerika Serikat, dan Akira Yoshino, yang bekerja di Asahi Kasei Corporation, Tokyo, serta Meijo University, Nagoya, Jepang, ia mendapat sepertiga hadiah. “Tapi kami tidak pernah membayangkan baterai litium-ion tumbuh sejauh ini. Kami tak pernah berimajinasi bahwa ia ada di mana-mana,” kata Whittingham seperti dikutip The New York Times, Rabu, 9 Oktober lalu.
Whittingham-lah yang memulai pengembangan baterai litium-ion ini dari baterai litium pada 1970-an. Setelah lulus dari Stanford University, Whittingham bekerja di perusahaan minyak Exxon pada 1972. Di situ ia menyelidiki bahan-bahan superkonduktor, termasuk tantalum disulfida. Tapi tantalum unsur yang berat sehingga ia menggantinya dengan titanium, yang lebih ringan, untuk katoda baterai. Dalam baterai, elektron-elektron akan mengalir dari anoda (elektroda negatif) ke katoda (elektroda positif). Dari semua unsur di tabel berkala, litium yang paling gampang melepas elektron sehingga dipilih untuk anoda. Walhasil, Whittingham sukses membuat baterai litium pertama yang dapat dicas.
Sayangnya, ada kelemahan dari baterai litium Whittingham yang menggunakan anoda logam litium murni itu. Pengecasan baterai yang berulang akan menumbuhkan rambut-rambut pada elektroda litium. Bila rambut itu terus tumbuh hingga menyentuh katoda, akan terjadi hubungan arus pendek yang memicu ledakan.
Namun Whittingham menemukan solusi agar baterainya lebih aman dengan menambahkan aluminium pada elektroda litium. Ia juga mengganti elektrolit di antara kedua elektroda. Temuan itu diumumkannya pada 1976, yang dilanjutkan dengan produksi skala kecil baterai tersebut untuk produsen arloji Swiss.
Baterai Paling Tangguh Sedunia/Tempo
Target pengembangan selanjutnya adalah memperbesar kapasitas baterai sehingga dapat menenagai sebuah mobil. Namun harga minyak mentah yang jatuh drastis pada 1980-an membuat Exxon menghentikan riset tersebut. Teknologi baterai Whittingham lalu diberikan kepada tiga perusahaan di tiga bagian dunia. Tapi pengembangan baterai litium tak berhenti. Ketika Exxon menyerah, John B. Goodenough mengambil alih.
Goodenough bertahun-tahun bekerja di Lincoln Laboratory di Massachusetts Institute of Technology. Di situ, ia berkontribusi dalam pengembangan random access memory (RAM), komponen paling fundamental dalam komputer hingga saat ini. Karena Lincoln Laboratory tak banyak melakukan riset energi, Goodenough pindah ke -Oxford University, Inggris, sebagai profesor kimia. Goodenough, 97 tahun, mengetahui baterai litium Whittingham yang revolusioner itu. Menurut peraih Hadiah Nobel tertua tersebut, katodanya dapat memiliki tenaga yang lebih tinggi bila dibangun dari oksida logam ketimbang sulfida logam.
Pada 1980, Goodenough lalu mengganti katoda baterai Whittingham yang memakai titanium sulfida dengan kobalt oksida yang memiliki kemiripan struktur. Sementara baterai litium Whittingham dapat menghasilkan 2 volt, baterai Goodenough bisa menghasilkan dua kali lipatnya. Artinya, baterai Goodenough memiliki bobot yang lebih ringan tapi berkapasitas lebih besar. Ini langkah ke depan yang menentukan dalam revolusi nirkabel.
Kondisi di dunia Barat berubah seiring dengan kian murahnya harga bahan bakar fosil, ketertarikan orang berinvestasi di teknologi energi alternatif, dan memudarnya pengembangan mobil listrik. Sebaliknya, di Jepang, perusahaan-perusahaan elektronik sangat mendambakan sebuah baterai yang ringan dan dapat diisi ulang untuk menenagai inovasi elektronik seperti kamera video, telepon seluler, dan komputer. Akira Yoshino, yang bekerja di Asahi Kasei Corporation, salah satu yang mengetahui kebutuhan besar tersebut. “Saya hanya mencium arah gerak tren itu. Anda boleh mengatakan bahwa saya memiliki indra penciuman yang bagus,” tutur Yoshino, 71 tahun.
Yoshino mempelajari baterai litium Good-enough, yang menggunakan anoda logam litium dan katoda kobalt oksida. Ia mencoba menggunakan berbagai bahan berbasis karbon sebagai anoda alternatif pengganti logam litium murni. Akhirnya, ia menemukan bahwa kokas (petroleum coke)—produk sampingan dari industri minyak—bila diberi muatan elektron akan mendatangkan ion-ion litium ke bahan tersebut. Ia lalu menyalakan baterai itu dan mendapati elektron serta ion-ion litium mengalir ke arah katoda kobalt oksida dengan tenaga lebih besar.
Baterai yang dikembangkan Yoshino pada 1985 itu lebih stabil dan ringan serta memiliki kapasitas tinggi dan menghasilkan tegangan 4 volt. Keuntungan terbesar dari baterai litium-ion Yoshino adalah terjadinya interkalasi atau penyisipan ion-ion di dalam elektroda-elektrodanya. Kebanyakan baterai berbasis pada reaksi kimia yang elektroda-elektrodanya termuati secara perlahan tapi pasti. Ketika sebuah baterai litium-ion dicas atau digunakan, ion-ion akan mengalir di antara kedua elektroda tanpa bereaksi dengan sekelilingnya. Hal inilah yang membuat baterai memiliki umur pakai panjang dan dapat dicas ratusan kali sebelum kinerjanya menurun.
Keuntungan besar lain adalah baterai -litium-ion ini tidak mengandung logam -litium murni. Pada 1986, Yoshino memeriksa keamanan baterainya dengan hati-hati menggunakan fasilitas yang dirancang khusus untuk menguji ledakan perangkat elektronik. Ia menjatuhkan sekeping besar besi pada baterai itu. Ternyata tidak terjadi apa-apa. Berbeda ketika ia melakukan hal yang sama pada baterai litium, yang menimbulkan ledakan hebat. Melewati tes keamanan itu menjadi hal yang mendasar bagi masa depan baterai litium-ion. “Itulah momen kelahiran baterai litium-ion,” ujar Yoshino.
Pada 1991, Sony Corporation, raksasa elektronik Jepang lain, mulai menjual baterai litium-ion pertama yang menandai revolusi dalam peralatan elektronik. Sejak itu, ukuran ponsel kian ciut, komputer pribadi bisa dibawa-bawa, serta pemutar MP3 dan komputer tablet mulai dikembangkan. Kini, baterai litium-ion digunakan di mana-mana, bahkan Stasiun Antariksa Internasional (ISS) sangat bergantung padanya.
Selanjutnya, para peneliti di seluruh dunia mencari baterai yang lebih baik melalui tabel berkala unsur-unsur. Namun belum ada yang sukses menemukan baterai yang dapat mengalahkan kapasitas tinggi dan tegangan baterai litium. Baterai litium-ion pun berubah dan berkembang. Good-enough mengganti katoda kobalt oksida dengan besi fosfat yang membuat baterai litium-ion lebih ramah lingkungan.
Baterai Paling Tangguh Sedunia/Tempo
Kehadiran baterai litium-ion ini memungkinkan pengembangan teknologi energi bersih, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan kendaraan listrik. Itu artinya ada sumbangsih pada penurunan emisi gas rumah kaca dan partikel halus. Melalui penelitian, Whittingham, Good-enough, dan Yoshino telah menciptakan kondisi yang baik bagi komunitas nirkabel dan anti-bahan bakar fosil, juga membawa keuntungan besar bagi kemanusiaan.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga memakai baterai litium-ion di stasiun pengisian listrik (fast charging station) berkapasitas 50 kilowatt miliknya yang berada di kantornya, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. “Kami sedang menyiapkan fast charging station dan sekaligus industri komponennya,” ucap Eniya Listiani Dewi, Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT.
Selain berada di kantor pusat BPPT, -stasiun pengisian listrik terdapat di Balai -Besar Teknologi Konversi Energi di kawa-san Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang -Selatan, Banten.- Stasiun itu berkapasitas 20 -kilowatt dengan sumber energi dari panel surya (fotovoltaik).
DODY HIDAYAT (NOBELPRIZE.ORG, BPPT.GO.ID, THE NEW YORK TIMES, SCIENTIFIC AMERICAN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo