J'AMY Owens adalah seorang perancang interior kondang di Seattle, Amerika Serikat. Spesialisasinya adalah menggarap interior pasar swalayan dan toko-toko besar. Belakangan, dia merasa bosan dengan gaya rancangannya yang ituitu saja: bermainmain dengan cahaya lampu, cat warnawarni, alunan musik, dan semprotan parfum pengharum ruangan. "Saya ingin memasukkan unsur aroma yang khas pada setiap barang dagangan," katanya. Owens pun mencobanya pada botol-botol minuman yang mahal. Di antara botol-botol itu dia menebarkan pelet-pelet pengharum yang dipesannya dari pabrik pewangi sintetis terbesar di dunia, International Flavors and Fragrances (IFF), yang bermarkas di Amerika. Butiran-butiran itu segera mengembuskan aroma segar yang khas apabila tertimpa cahaya lampu neon. Kendati belum teruji keampuhannya, jurus Owens telah menarik minat banyak produsen. Kini dia menangani pelbagai merek ikat pinggang, tas, sepatu, sampai dasi. Rupanya para produsen itu yakin betul bahwa baubauan yang khas dan segar bisa membantu melariskan barang-barangnya. Maka, tak heran bila pabrik-pabrik pewangi sintetis AS mau mengeluarkan dana US$ 4 milyar (Rp 8 trilyun) setahun untuk riset soal pengaruh bau terhadap perilaku konsumen. Aroma memang telah diketahui punya pengaruh kuat terhadap perilaku manusia. Bau peppermint di ruang kelas, misalnya, terbukti membuat para siswa lebih siap mengikuti pelajaran. Lantas, banyak rumah sakit di AS mensyaratkan pasiennya menghirup bau vanili agar lebih rileks sebelum didiagnosa dengan alat canggih magnetic resonance imaging. Namun, penelitian faali yang mendasar mengenai hubungan aroma dan indera penciuman sendiri masih kedodoran. Lembaga yang kesohor di AS semacam National Institute of Health (NIH), yang dianggap berkompeten dalam soal ini, seperti enggan menyentuhnya. "NIH memang tak peduli, sebab tidak ada orang mati karena bau-bauan," kata seorang ahli saraf dari Universitas John Hopkins, AS, Solomon Snyder. Maka, kata Snyder, sampai 1983 Amerika tidak punya metode yang standar untuk mengukur daya penciuman seseorang. Terobosan-terobosan penting dalam soal ilmu bau-membau, seperti ditulis Business Week bulan lalu, barulah terjadi pada 1991 kemarin. Yang pertama, dua peneliti di Hughes Medical Institute, satu lembaga ilmiah di Universitas Columbia, April lalu mengumumkan penemuannya tentang proses pembauan pada manusia. Linda Buck dan Richard Axel, peneliti yang dimaksud, menemukan adanya dua lapisan lendir di rongga hidung bagian atas yang menentukan perjalanan bau ke otak. Pada lapisan lendir itu, kata Buck dan Axel, terdapat ribuan serabut saraf yang berperan sebagai penangkap aroma molekul-molekul gas yang terisap ke hidung. Saraf di hidung tadi berhubungan dengan bagian otak yang mengatur perasaan dan memori. Karena itu, secara tak langsung Buck dan Axel mendukung ungkapan banyak orang bahwa bau seseorang bisa mengguratkan kenangan mendalam bagi orang lain. Bahkan seseorang, misalnya tunanetra, mampu mengenali orang lain lewat bau itu. Terobosan lain dalam soal bau-membau itu terjadi pula di laboratorium "bau dan rasa" yang ada di Universitas Pennsylvania. Dr. Richard L. Doty, pimpinan laboratorium itu, menemukan bukti adanya hubungan antara daya penciuman seseorang dan penyakit pusat saraf seperti parkinson dan alzheimer. Penderita penyakit misterius itu, menurut Doty, kehilangan sebagian daya penciumannya. Doty pun menunjuk kelumpuhan saraf di kalangan penderita parkinson dan alzheimer itu terjadi pada bagian otak yang mengatur soal memori, perasaan, dan penciuman. Atas dasar anggapan itu, ahli saraf kondang itu menduga salah satu penyebab datangnya penyakit itu ialah gangguan pada hidung. Kesimpulan Doty itu tak sejalan dengan anggapan umum yang ada selama ini, bahwa gangguan otak itu terjadi sejak lahir. Namun, kejutan yang paling mencengangkan terdengar akhir tahun lalu. Para ahli saraf dari Universitas Meksiko dan Universitas Utah memastikan bahwa ada bau-bauan asli dari tubuh manusia yang bisa merangsang nafsu syahwat lawan jenisnya. Baubauan ini mirip dengan feromon, gas bau yang dihasilkan binatang, terutama mamalia dan serangga, untuk memikat lawan jenisnya. Feromon dari anjing betina, menurut para ahli, membuat anjing jantan melolong-lolong di malam hari. Mereka sanggup membaui feromon betina itu bahkan dari jarak 1-2 km. Lolongan yang meliuk panjang itu adalah isyarat agar si betina mendekat. Betina anjing mengeluarkan feromon itu hanya pada saat mengalami masa birahi (ovulasi). Pada jangkrik, feromon dimiliki sebagian pejantan. Mereka menyemburkan feromonnya dari liang persembunyian di malam hari. Para betina dewasa akan merasa terpanggil dan mendatanginya. Pejantan yang tak dikaruniai feromon merayu betina dengan erikannya yang nyaring. Dari penelitian sebelumnya para ahli mengetahui bahwa bau feromon itu ditangkap anjing jantang lewat serabut saraf yang ada di rongga hidung bagian belakang. Organ ini biasa disebut sebagai vemoronasal organ (VNO). Para ahli saraf tak pernah menduga VNO ternyata ada pula di rongga hidung manusia. Tapi, riset di Universitas Meksiko membuktikan tak semua orang punya VNO itu. Dari 1.000 orang sukarelawan yang diteliti, pria dan wanita, ternyata 900 di antaranya punya VNO. Dengan VNO itu, sukarelawan-sukarelawati mengaku merasa menerima rangsangan seks ketika membaui "feromon" buatan pabrik yang berupa bahan kimia yang strukturnya mirip asam pada keringat. Sayang, sejauh ini feromon yang asli belum bisa diperas dari tubuh manusia untuk diperjualbelikan sebagai obat perangsang seks. Putut Trihusodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini