ADALAH Sigmund Freud yang mulamula menjelaskan bahwa jiwa manusia bukanlah sesuatu yang selalu koheren dan bahwa manusia tidaklah sepenuhnya mengenal dirinya sendiri. Dalam jiwa kita terdapat sisisisi gelap yang tak selalu dapat kita terangkan. Singkatnya, manusia adalah suatu multiplisitas, yang tak sepi dari impulsimpuls yang kontradiktoris. Tesis psikoanalisa ini berlaku juga di bidang kebudayaan. Kebudayaan pun tak bisa dipandang sebagai selamanya koheren. Tak jarang nilainilai yang diklaim atau dikandungnya bertentangan satu sama lain. Revolusi di bidang komunikasi dan transportasi yang sesungguhnya telah lama dimulai tiada hentinya mengocok nilai-nilai secara global. Maka semakin kecillah kemungkinan bagi adanya koherensi budaya itu. Pada bangsa kita, tiadanya koherensi budaya lebih terasa lagi akibat distorsi-distorsi penjajahan. Itu tercermin dalam sekian perbedaan -- bahkan pertandingan -- mengenai preferensi atas perangkat-perangkat nilai tertentu. Itu juga tercermin dalam kerancuan nilai-nilai yang berlaku baik pada diri individu maupun pada diri kolektif kita. Tanpa menangkap adanya inkoherensi atau pertandingan sistem nilai pada bangsa kita, kita takkan pernah memahami dan mengakui perlunya tokoh-tokoh yang tegar memilih seperti "Onze Tjip", Soetan Sjahrir, S. Takdir Alisjahbana, Soedjatmoko, Romo Mangun, dan Abdurrahman Wahid. Juga tanpa itu, kita takkan pernah memahami mengapa seorang priayi modern, seperti digambarkan dengan baik oleh Umar Kayam, tetap saja melakukan korupsi demi prinsip mikul duwur mendem jero. Atau mengapa priayi dalam salah satu novel Yudhistira Ardi Noegraha "selalu bicara tentang kejayaan Mataram, sambil memimpikan Amsterdam". Atau mengapa Kartini tetap mencintai gamelan, namun kecut dengan jawaban mbakyunya, "Silakan, saya orang Jawa," ketika Ni menyampaikan pikiran-pikiran emansipasionisnya. Rangkaian inkoherensi budaya kita setidak-tidaknya bisa dimasukkan ke dalam dua pola dasar. Pertama, inkoherensi berlaku pada pola di mana sisi budaya kita yang menekankan keterbukaan berbenturan dengan sisi yang cenderung tertutup. Secara genealogis, kedua sisi budaya ini berasal dari dua zaman yang berbeda, yakni dari zaman prakoloni dan zaman koloni. Namun, tanpa disadari betul keduanya lalu bertumpang tindih dalam jiwa bangsa kita. Bangsa kita telah lama memiliki ungkapan seperti "melanglang buana" atau "dunia tidak selebar daun kelor" atau "melintasi lima benua dan mengarungi tujuh samudra". Masyarakat Nusantara prakoloni memang sudah terbiasa merujuk jauh dan memandang ke luar. Penerimaan gelar "sultan" pada Sultan Agung, misalnya, dirintis dengan utusan diplomatik ke dan dari Tanah Suci (Vlekke, 1943). Penolakan bersejarah Sultan Hasanuddin untuk tunduk pada pemaksaan perdagangan hanya dengan Kompeni juga bertolak dari prinsip bahwa samudra lepas adalah milik semua bangsa. Tapi, di lain pihak, bangsa kita juga tersungkup pada tradisi budaya yang menengok pertamatama dan terutama ke dalam dirinya sendiri. Ini berlaku, katakanlah sejak abad ke-18, ketika studistudi etnografis oleh Belanda, yang juga "menengok ke dalam", mulai menjamur. Tradisi tapa, tradisi sufi, dan tradisi kebatinan dalam berbagai bentuknya hingga kini masih kuat pengaruhnya pada bangsa kita. Prinsip dasarnya ialah bahwa ketenangan dan kebahagiaan berada di dalam diri kita sendiri. Bagaimanapun kacaunya dunia di luar, batin yang tenteram takkan terpengaruh. Kekuatan tidak diperoleh dari luar, melainkan dari dalam. Sisi budaya ini menafikan adanya kodeterminasi atas kebahagiaan manusia dari luar diri. Berbaurlah di dalamnya pandangan bahwa dunia hanya alam maya, kehidupan sementara, bayang-bayang. Seluruh kejadian dan temuan penting pada dan oleh umat manusia kehilangan arti, sebab proses, rincian, dan kompleksitas kehidupan yang berlangsung dalam sejarah memang telah direduksi sebagai hanya nisbi. Bersamanya, orang pun banyak kehilangan gairah untuk turut mempengaruhi jalannya sejarah melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, inkoherensi berlaku pada pola di mana mayoritas bangsa kita masih hidup dalam batas-batas moralitas keluarga atau suku, sedangkan secara formal kita telah mengaku dan berikrar untuk hidup dalam unit nasional dan internasional. Implikasi langsung dari terbatasnya cakrawala budaya ialah terbatasnya solidaritas. Solidaritas terpusat pada lingkup keluarga, lalu pada lingkup suku. Sedikit sekali solidaritas yang merangkum hingga lingkup nasional dan internasional. Prinsip mikul duwur mendem jero, seperti diilustrasikan oleh Umar Kayam, sesungguhnya sangat luhur pada lingkup keluarga atau kelompok kecil. Tapi ia bisa sangat merugikan bagi kolektivitas yang lebih luas. Prinsip siri' yang sangat menekankan kehormatan pada suku Bugis-Makassar umumnya juga terjebak dalam kesempitan cakrawala. Pepatah Melayu "menepuk air di dulang, terpercik ke muka sendiri" menekankan ajaran yang sama. Rendahnya solidaritas sosial kita secara tak disengaja juga tergambar dalam ungkapan-ungkapan seperti "tergantung manusianya" atau "tergantung orangnya". Dari sini bertumpuk-tumpuk kesalahan, korupsi, penyelewengan bisa langsung dinetralisir sebagai "hanya ulah oknum". Pada semua ungkapan dan eskapisme itu dinafikanlah masyarakat dan diingkarilah perjanjian. Yang ada hanya oknum-oknum lepas. Perjanjian masyarakat (social contract) belum menjadi bagian dari kesadaran mayoritas bangsa kita. Sementara itu, Pancasila tetaplah perjanjian masyarakat kita, yang encoded, yang tiada hentinya kita muliakan. Apakah yang harus kita lakukan untuk sejauh mungkin mengurangi keterpecahan budaya agar kita dapat menghasilkan produk-produk akal budi yang lebih progresif? Salah satunya ialah dengan tetap melakukan refleksi budaya tanpa terperangkap dalam perspektif yang budayasentris. Ini berarti bahwa di samping kita perlu mengatasi konstelasi regresif dalam sistem nilai kita, kita pun perlu menyediakan syarat-syarat materiil bagi sebanyak mungkin warga negara untuk dapat mengolah dan memancarkan sinar daya budinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini