SEKELOMPOK anak sekolah menengah di New York, akhir tahun lalu, mengampanyekan kondom di jalan ramai untuk pencegahan penularan AIDS. Tidak jelas betul pesan kampanye itu, apakah maksudnya: pakailah kondom kapan saja, di mana saja atau pakailah kondom di rumah walaupun istri memakai spiral atau pil antihamil. Apakah anak-anak ini beranggapan bahwa tiap laki-laki yang ditemuinya sudah siap berangkat ke rumah bordil? Astagfirullah, anak-anak ingusan sudah berani mengajari orang dewasa dalam hal teknis berhubungan kelamin. Kebo nusu gudel, kata orang Jawa. Ini gara-gara kita dikejar hantu yang namanya AIDS. Lalu kita siap melakukan apa saja untuk menghindari hantu itu. Kita tidak menuduh anak-anak itu cabul, kurang ajar, kurang kerja. Segi moralnya sudah jungkir balik. Malah mereka dianggap berjasa dalam menyongsong Hari AIDS Sedunia. Saya lalu teringat Anthony Comstock, seorang tokoh terkenal dan menakutkan di Amerika Serikat abad lalu. Kalau sekiranya dia bangkit dari kubur lalu melihat ini semua, tentu dia serta-merta jatuh pingsan, meninggal, dan dikubur ulang. Dunia sudah terlalu cabul untuk dia. Soalnya, dia benci pada apa saja yang berbau keluarga berencana dan siap mengganyang siapa saja yang memberi informasi tentang pencegahan kehamilan. Kalau si pengirim informasi mengirimnya lewat pos, dia akan terkena Comstock Law. Apalagi kalau berani mengirim alatnya. Comstock tidak percaya bahwa terdapat masalah sosial dan medis lantaran jumlah anak yang banyak. Informasi dan alat-alat keluarga berencana, menurut dia, adalah barang-barang cabul perusak moral. Dan kalangan kedokteran pada umumnya memberikan dukungan, waktu itu. Dari tahun 1873 sampai 1882, berkat kegiatan Comstock's New York Society for the Suppression of Vice, 700 orang ditangkap. Sebanyak 333 orang dihukum penjara, disita 27.856 pon buku yang dituduh cabul. Malah ada yang ditangkap karena mengirimkan lewat pos karangan Trall berjudul Sexual Physiology. Namun, kalau kepada Comstock yang bangkit dari kubur dijelaskan perihal penyakit AIDS yang tidak ada obatnya, mungkin ia berubah pikiran tentang perlunya kondomisasi. Apalagi kalau dia tahu bahwa pada "periode jendela", yakni tiga sampai enam bulan pertama setelah positif kena virus HIV, virusnya belum dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah. Kemudian, setelah hasil tes darah positif, dia tetap merasa sehat selama lima sampai sepuluh tahun, dan terus dapat menjangkiti orang lain. Lalu di Afrika sudah lebih dari lima juta orang terkena virus HIV, di Amerika Utara dan Amerika Latin lebih dari dua juta, di Eropa dan Asia satu juta lebih. Diperkirakan, lebih dari 500.000 orang Zimbabwe terkena virus HIV, jadi lima persen lebih dari penduduknya yang berjumlah 9,12 juta. Bayangkan konsekuensinya terhadap kesehatan dan ekonomi rumah tangga dan negara. Bayangkan situasinya setengah abad lagi kalau trend ini berjalan terus. Mungkin Comstock akan manggut-manggut mendengarnya, terharu, dan berubah pikiran. Kesadaran baru terhadap urgensi ada kalanya mengubah moralitas. Gang Dolly -- tempat pelacuran terkenal di Surabaya -- mendadak sontak menjadi buah bibir di manamana ketika seorang pelacur penghuninya diketahui mengidap HIV. Mereka pun menjadi buruan, demi urgensi. Pelacur itu diamankan, dipertemukan dengan keluarganya, dan ibunya menangis. Dia pasrah, diamankan di kota dan berharap pulang ke desa, bertani, sebelum dijemput maut. Kondisi fisiknya masih dirasakan normal. Tempat-tempat pelacuran mendapat sorotan. Penerangan mengenai AIDS digalakkan, pemeriksaan darah dilakukan, dan pemakaian kondom disarankan. Maka, bermunculanlah kabar bahwa banyak laki-laki tidak suka memakai kondom dan pelacur merasa perlu tunduk kepada keinginan laki-laki tersebut. Apa boleh buat. Departemen Kehakiman juga repot. Soalnya, seorang narapidana asal Prancis, yang terlibat dalam penyelundupan dan pengedaran narkotik, positif mengidap virus HIV. Mau diapakan? Lalu, seorang warga Swiss perlu pula dideportasi karena diduga mengidap AIDS. Soalnya, Mustar Adjid, kawan kencannya, sudah mati karena AIDS. Dan orang asing ini tidak mau darahnya diperiksa di Indonesia. Mati tidak berarti persoalan selesai. Timbul pula persoalan baru. Apakah jenazah penderita AIDS wajib dimandikan? Kalau wajib, apakah tidak mungkin ketularan pula orang yang memandikan? Wallahualam. Seorang dosen di Surabaya, Dr. Dede Oetomo, memaparkan riwayat hidupnya di media. Secara kesatria dia mengaku gay, aktivitas seksualnya bermula di Amerika Serikat, sewaktu ia studi di sana. Kini dia hidup berpasangan bersama Rudi -- punya rasa cemburu segala seperti layaknya suami-istri -- dan tidak terkena virus HIV. Melalui organisasi kalangan gay dia aktif dalam upaya pencegahan AIDS. Menarik bahwa muncul tokoh yang berani dan realistis seperti Dr. Dede dan dia jelas sudah mengantisipasi bahwa akan mendapat kritik, cemooh, dan petuah-petuah dari pembaca. Yang tidak kalah beraninya adalah anak-anak dari para pelacur di Bombay. Mereka berpawai sambil membawa poster yang antara lain berbunyi: Use condoms, protect our mothers. Pakailah kondom, lindungilah ibu-ibu kami. Urgensi mengalahkan moralitas. Quo vadis dominee. Ke mana kita dari sini? Beranikah kita dengan konsekuen memberantas pelacuran, yang merupakan sumber penting dari penularan AIDS? Tampaknya tidak. Hanya masyarakat bersahaja atau primitif, seperti suku Sakai, Baduy, dan lain-lain, yang berani tanpa pelacuran. Kita sudah telanjur maju, dan demi keperluan rekreasi, peningkatan turisme, dan sebagainya, masyarakat kita tidak dapat berpisah dari pelacuran. Hidup dengan nyerempet-nyerempet bahaya alias vivere pericoloso. Dari waktu ke waktu kita akan dikejutkan oleh berita duka tentang korban HIV dan AIDS. Sebuah kabar baru adalah seorang turis pria Australia, setelah memeriksakan dirinya di Australia, terbukti mengidap AIDS. Celakanya, dia telah berhubungan seks dengan empat pelacur di Bali. Juga seorang pelacur bekas penghuni lokalisasi Ria Bagau, Banjarmasin, positif kena AIDS,. Kondomisasi semakin mendesak. Perlu sekali diingat pesan bocah-bocah Bombay: "Pakailah kondom, lindungilah ibu-ibu kami."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini