MALAM hari, sebelum peringatan Serangan Umum di Yogya, 1 Maret,
dua gelombang gerakan 'bawah tanah' menyerang Kabupaten Batang,
Jawa Tengah. Gempa. Pukul 22.45, dan jam 2 tengah malam. Dua
kecamatan jadi korban. Hampir semua bangunan yang vital artinya
di kecamatan Rebon dan Bawang rusak atau retak-retak.
Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, gempa bumi juga terjadi pada
hari Rabu 1 Maret itu jua, 10 rmnit sebelum matahari
terbenam. Seismograf di stasiun pencatat empa di Lembang
mencatatnya sebaai getaran gempa bumi tektonis, dengan
amplitudo 11 mm dan periode getaran « sekon. Sumber gempanya
terletak 111 km sebelah barat daya Lembang.
Mesjid Timur Tengah
Berbeda dengan gempa di Jawa Tengah, gempa yang menghantam tiga
kecamatan di Kabupaten Kuningan itu lebih banyak merusak rumah
penduduk sendiri. Tercatat 166 rumah yang kena dan retak-retak,
di samping dua mesjid dan tiga bangunan sekolah dasar.
Di Kabupaten Batan, seperti kata bupatinya, drs Soeyitno,
"umumnya yang rusak adalah bangunan berdinding batu." Rakyat di
kecamatan-hecamatan itu sendiri, mungkin tak mampu membangun
rumah tembok. Sehingga hanya 8 rumah rakyat yang diberitakan
rusak. Tapi kantor pemerintah, sekolah dan puskesmas yang
dibangun dengan uang negara, nyatanya banyak yang retak-retak.
Juga mesjid, yang biasanya harus memikul kubah yang besar di
atas bahunya, mengikuti contoh arsitektur Timur Tengah.
Adapun di Kabupaten Kuningan, diberitakan 188 rumah penduduk
yang tak, mungkin itu lantaran penduduknya lebih makmur dari
di Batang. Atau mungkin juga karena orang di sana lebih suka
rumah tembok.
Padahal, justru soal rumah tembok itulah yang sudah lama
menjadi kerikil bagi DPU di Jawa Barat, mengingat daerah ini
lebih sering diserang gempa tektonis ketimbang Jawa Tengah dan
Timur.
Misalnya kabupaten Sukabumi, yang baru tiga tahun lalu
diobrak-abrik gempa bumi, Menurut catatan Pusat Meteorologi
dan Geofisika (PMG), sebelumnya daerah itu pun sudah
kejangkitan gempa tektonis, tahun 1900 dan 1923. Yang paling
hebat adalah gempa di awal abad ke-20 ini, ketika hampir seluruh
tembok rumah di kabupaten itu runtuh dibuatnya. Makanya
bersamaan dengan lahirnya Kotamada Sukabumi, 8 Juli 1924,
keluarlah larangan DPU setempat untuk membangun bangunan
permanen dari tembok.
LPMB
Larangan itu memang ada nalarnya. Terbukti bangunan pendopo
kabupaten dan Sekolah Polisi yang terbikin dari bangunan
setengah tembok dengan gedek berlapis semen dan kapur, tetap
tegak di tengah gempa. Hikmah larangan Belanda itu juga
dikuatkan oleh penelitian Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan
(LPMB) di Bandung yang menyatakan bahwa rumah kayu atau bambu
lebih aman dan cocok untuk daerah gempa.
LPMB kemudian mengeluarkan petunjuk bagaimana menyesuaikan
konstruksi rumah tembok yang tahan gempa. Misalnya, rumah jangan
terlalu tinggi ke atas, jendela tak boleh terlalu besar.
Bidang tembok jangan terlalu lebar. Pintu jangan ditempatkan
terlalu dekat ke sudut bangunan. Pondasi harus mampu menjamin
pergeseran pergeseran yang merata, Perbandingan semen dan pasir
dalam adonan tembok sebaiknya 1:3 Begitu pula perbandingan
semen dan pasir dalam pembuatan batako (bata semen) yang memang
populer di Jawa Barat.
Building Information Centre (BIC)/ PUTL di Bali juga
mengeluarkan petunjuk serupa, dan disesuaikan dengan arsitektur
tradisionil Bali. Aplikasinya dalam rekonstruksi rumah-rumah
rakyat yang hancur dalam gempa bumi di Seririt, Bali.
Repotnya, petunjuk-petunjuk yang bagus itu ternyata belum
merembes. Berbagai gedung pemerintah seperti SD dan Puskesmas
Inpres yang dibangun di pedalaman Jawa dan Sumitrera yang rawan
gempa nyatanya tak mengindahkan petunjuk LPMB atau BIC/PUTL itu.
Rakyat sendiri banyak yang sudah mninggalkan pola rumah
panggung yang asli Melayu dan lebih tahan gempa ketimbang rumah
modern yang langsung menempel di atas tanah. Buktinya, sebuah
mmah adat dengan panggung setinggi 4 meter hanya ikut bergetar
saja ketika gempa letusan Krakatau menghantam kota Palembang.
Tidak roboh atau retak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini