Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Belum Kapok Gempa ?

Jawa tengah dan jawa barat diserang gempa. penelitian lembaga penyelidikan masalah bangunan di bandung menyatakan bahwa rumah kayu atau bambu lebih aman dan cocok untuk daerah gempa.(ilt)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM hari, sebelum peringatan Serangan Umum di Yogya, 1 Maret, dua gelombang gerakan 'bawah tanah' menyerang Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Gempa. Pukul 22.45, dan jam 2 tengah malam. Dua kecamatan jadi korban. Hampir semua bangunan yang vital artinya di kecamatan Rebon dan Bawang rusak atau retak-retak. Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, gempa bumi juga terjadi pada hari Rabu 1 Maret itu jua, 10 rmnit sebelum matahari terbenam. Seismograf di stasiun pencatat empa di Lembang mencatatnya sebaai getaran gempa bumi tektonis, dengan amplitudo 11 mm dan periode getaran « sekon. Sumber gempanya terletak 111 km sebelah barat daya Lembang. Mesjid Timur Tengah Berbeda dengan gempa di Jawa Tengah, gempa yang menghantam tiga kecamatan di Kabupaten Kuningan itu lebih banyak merusak rumah penduduk sendiri. Tercatat 166 rumah yang kena dan retak-retak, di samping dua mesjid dan tiga bangunan sekolah dasar. Di Kabupaten Batan, seperti kata bupatinya, drs Soeyitno, "umumnya yang rusak adalah bangunan berdinding batu." Rakyat di kecamatan-hecamatan itu sendiri, mungkin tak mampu membangun rumah tembok. Sehingga hanya 8 rumah rakyat yang diberitakan rusak. Tapi kantor pemerintah, sekolah dan puskesmas yang dibangun dengan uang negara, nyatanya banyak yang retak-retak. Juga mesjid, yang biasanya harus memikul kubah yang besar di atas bahunya, mengikuti contoh arsitektur Timur Tengah. Adapun di Kabupaten Kuningan, diberitakan 188 rumah penduduk yang tak, mungkin itu lantaran penduduknya lebih makmur dari di Batang. Atau mungkin juga karena orang di sana lebih suka rumah tembok. Padahal, justru soal rumah tembok itulah yang sudah lama menjadi kerikil bagi DPU di Jawa Barat, mengingat daerah ini lebih sering diserang gempa tektonis ketimbang Jawa Tengah dan Timur. Misalnya kabupaten Sukabumi, yang baru tiga tahun lalu diobrak-abrik gempa bumi, Menurut catatan Pusat Meteorologi dan Geofisika (PMG), sebelumnya daerah itu pun sudah kejangkitan gempa tektonis, tahun 1900 dan 1923. Yang paling hebat adalah gempa di awal abad ke-20 ini, ketika hampir seluruh tembok rumah di kabupaten itu runtuh dibuatnya. Makanya bersamaan dengan lahirnya Kotamada Sukabumi, 8 Juli 1924, keluarlah larangan DPU setempat untuk membangun bangunan permanen dari tembok. LPMB Larangan itu memang ada nalarnya. Terbukti bangunan pendopo kabupaten dan Sekolah Polisi yang terbikin dari bangunan setengah tembok dengan gedek berlapis semen dan kapur, tetap tegak di tengah gempa. Hikmah larangan Belanda itu juga dikuatkan oleh penelitian Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB) di Bandung yang menyatakan bahwa rumah kayu atau bambu lebih aman dan cocok untuk daerah gempa. LPMB kemudian mengeluarkan petunjuk bagaimana menyesuaikan konstruksi rumah tembok yang tahan gempa. Misalnya, rumah jangan terlalu tinggi ke atas, jendela tak boleh terlalu besar. Bidang tembok jangan terlalu lebar. Pintu jangan ditempatkan terlalu dekat ke sudut bangunan. Pondasi harus mampu menjamin pergeseran pergeseran yang merata, Perbandingan semen dan pasir dalam adonan tembok sebaiknya 1:3 Begitu pula perbandingan semen dan pasir dalam pembuatan batako (bata semen) yang memang populer di Jawa Barat. Building Information Centre (BIC)/ PUTL di Bali juga mengeluarkan petunjuk serupa, dan disesuaikan dengan arsitektur tradisionil Bali. Aplikasinya dalam rekonstruksi rumah-rumah rakyat yang hancur dalam gempa bumi di Seririt, Bali. Repotnya, petunjuk-petunjuk yang bagus itu ternyata belum merembes. Berbagai gedung pemerintah seperti SD dan Puskesmas Inpres yang dibangun di pedalaman Jawa dan Sumitrera yang rawan gempa nyatanya tak mengindahkan petunjuk LPMB atau BIC/PUTL itu. Rakyat sendiri banyak yang sudah mninggalkan pola rumah panggung yang asli Melayu dan lebih tahan gempa ketimbang rumah modern yang langsung menempel di atas tanah. Buktinya, sebuah mmah adat dengan panggung setinggi 4 meter hanya ikut bergetar saja ketika gempa letusan Krakatau menghantam kota Palembang. Tidak roboh atau retak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus