SIMEULUE di serang muntah-berak. Bagi pulau terpencil di
Samudera Indonesia, jauh dari pantai barat Aceh itu, serangan
penyakit ini betul-betul jadi bencana. Perhubungan yang sulit
membuat bala bantuan datang terlambat. Hingga penyakit yang
dalam beberapa hari saja bisa membunuh itu, mendapat keleluasaan
menjangkit ke seluruh pulau.
Muntah-muntah dan berak-berak itu mulai menyerang minggu pcrtama
Pebruari 1978. Agaknya kali inilah penduduk pulau itu berkenalan
untuk pertama kali dengan penyakit tersebut, sedang sebelumnya
dia hanya mengenal malaria.
Tiga minggu setelah serbuan kuman muntah-berak itu barulah
datang hantuan dari Meulaboh, ibukota kabupaten Aceh Barat. Ke
Banda Aceh kabar berita mengenai kejadian itu baru sampai
tanggal 2 Maret. Kepala Kantor Perwakilan Pemberantasan dan
Pencegahan Penyakit Menular Propinsi Aceh, dr Burhanuddin Yusuf,
yang menerima kabar terlambat, menyebutkan korban yang meninggal
80 orang.
Daerah yang dijangkiti penyakit nampaknya cukup luas. Sedang
obat-obatan yang dikirimkan dari Meulaboh dalam 3 hari saja
sudah habis. Untuk memperoleh bantuan yang lebih besar, Kassah,
Kepala Perwakilan Kabupaten Aceh Barat di Simeulue, sengaja
datang ke Banda Aceh. Sementara. Korban bertambah banyak yang
jatuh. "Kalau begini korban bisa mencapai dua ratus orang
nanti," katanya tak sabar menunggu bantuan dari propinsi.
Heli
Kepada Pembantu TEMPO di Banda Aceh, Darmansyah, pejabat daerah
dari pulau terpencil itu menguraikan pula tentang penyebaran
penyakit yang sudah menjalar ke seluruh penjuru pulau Simeulue.
Bagian timur paling parah, sekitar 70 orang meninggal. Para
penderita yang masih bisa ditolong diboyong ke rumahsakit tua di
kota Sinabang, kota terbesar di pulau itu.
Bantuan obat-obatan dan tenaga ke. sehatan dari propinsi memang
akan diberangkatkan untuk membantu dr Muhamad Nasution yang
memimpin penanggulangan penyakit di sana, tapi ombak laut
menghalangi perjalanan. "Saya sudah meminta pihak Hankam untuk
memberikan bantuan heli untuk menyeberangkan obat dan tenaga
medis ke pulau itu," kata dr Bahrawi Wongsokusumo, Dirjen P3M,
di Jakarta. Untuk membantu para petugas di sana dia juga
mengutus dr Brotowasisto, ahli pencegahan dan penanggulangan
penyakit saluran makanan yang baru saja pulang dari pendidikan
di New Orleans, Amerika Serikat.
Helikopter itu memang sudah siap, tapi keberangkatannya masih
saja tertunda karena kesulitan bahan bakar. Sebelum bantuan yang
cukup sampai ke Simeulue, satu-satunya pekerjaan yang bisa
dilaksanakan ialah memblokir pulau penghasil cengkeh itu dari
dunia luar. Pendatang dilarang masuk, penduduk setempat dilarang
pergi. Malangnya, kebijaksanaan ini tak urung membuat hara
kebutuhan pokok di situ yang datang dari Tapaktuan dan Sibolga,
jadi membubung.
Akan halnya sumber penyakit muntah-berak itu, Kassah,
menyebutkan dua tempat. Sibolga dan Padang. Melihat hubungan
perdagangan dan lalulintas manusia, dugaannya itu bisa benar.
Sebab bulan Januari yang lalu, Nias, pulau yang banyak
hubungan dengan kedua kota itu, memang sudah terserang wabah
muntah-berak (TEMPO, 4 Pebruari 1978).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini