Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bencana Ekologi Makin Mengancam

Tahun 2013, bencana ekologi naik 293 persen dari tahun sebelumnya. Walhi menyoroti perusakan lingkungan oleh korporasi besar.

20 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ribuan warga korban banjir dan tanah longsor di Manado masih tinggal di pengungsian. Air bah yang terjadi Rabu pekan lalu menewaskan 18 orang dan dua warga lagi masih hilang. Di ibu kota Sulawesi Utara ini, ada 101 rumah hanyut dan 1.000 rumah lainnya rusak berat dan ringan.

Adapun banjir di sejumlah wilayah di Jakarta sepekan ini menyebabkan lima orang tewas. "Korban tenggelam dan tersetrum listrik di lokasi genangan," ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Ma'arif kepada pers, Sabtu pekan lalu.

Di Indramayu, Jawa Barat, sekitar 8.000 rumah terendam air setinggi 30-50 sentimeter. Hujan yang turun sejak Jumat hingga Sabtu membuat Kota Semarang dan Kota Pekalongan terendam banjir. Di Semarang Utara, bencana ini semakin parah akibat datangnya rob atau limpasan air laut.

Luapan air bah juga terjadi di sejumlah daerah di Sumatera, Kalimantan, dan wilayah lainnya. Ancaman banjir dan tanah longsor tampaknya belum akan berhenti. Di Jakarta, misalnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi hujan akan terus mengguyur Ibu Kota dalam dua bulan ke depan. "Awal Maret 2014, musim hujan diprediksi akan berakhir," kata Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, Mulyono Rahardi Prabowo, kepada pers, dua hari lalu.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) khawatir bencana ekologis ini terus meningkat di masa depan. Salah satu lembaga swadaya masyarakat terkemuka ini merujuk pada data-data tahun sebelumnya, yang diolah dari berbagai sumber. "Bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam," kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan, kemarin.

Pada 2012, banjir dan tanah longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang. Setahun berikutnya, secara kumulatif menjadi 1.392 kali atau kenaikan setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6.727 desa/kelurahan yang tersebar di 2.787 kecamatan, 419 kabupaten/kota, dan 34 provinsi. Jumlah korban jiwa mencapai 565 orang.

Berdasarkan jenis bencana pada 2013, banjir masih mendominasi, yaitu sebanyak 992 kali, lalu banjir rob 70 kali dan tanah longsor 330 kali kejadian. Sejumlah daerah yang menjadi langganan banjir antara lain Kabupaten Bandung, Jakarta Timur, Medan, dan Samarinda. Sedangkan daerah utama tanah longsor adalah Cianjur, Sirimau, dan Ambon.

Kekhawatiran Walhi merujuk pada eksploitasi lahan yang tidak terkendali di tiga sektor, yaitu perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan izin hutan tanaman industri (HTI). Menurut Abetnego, daerah-daerah yang masif melakukan eksploitasi hutan untuk tambang dan perkebunan berskala besar terbukti paling banyak dilanda bencana ekologis.

Di Sumatera contohnya, Aceh merupakan provinsi tertinggi yang mengalami bencana. Dari 23 kabupaten/kota, tak satu pun yang luput dari bencana, dan bencana terbesar hadir di wilayah yang mengalami deforestasi, seperti di Aceh Barat, dan Aceh Timur. Demikian pula yang terjadi di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.

Sejumlah aktor menjadi biang keladi kerusakan lingkungan. "Sebanyak 82,5 persen pelaku perusakan lingkungan hidup adalah korporasi, disusul oleh pemerintah dan aparat keamanan," kata Manajer Desk Bencana Walhi Eksekutif Nasional Mukri Friatna, yang menjelaskan sepanjang tahun lalu ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik lingkungan, sumber daya alam, dan agraria.

"Angka-angka ini menunjukkan bahwa industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan sawit berskala besar merupakan predator puncak ekologis," kata Mukri ketika mengutip Tinjauan Lingkungan Hidup Walhi 2014. Menurut Abetnego, salah satu problem pokok dari persoalan lingkungan hidup yang juga belum secara sistematis disentuh adalah soal ketimpangan penguasaan sumber daya alam.

Sinar Mas dan Wilmar, ujar Abetnego, merupakan dua raksasa grup perkebunan kelapa sawit di Indonesia, termasuk di Kalimantan Tengah. Wilmar memiliki 17 anak perusahaan seluas 288 ribu hektare, khusus di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Perusahaan ini juga memiliki pencadangan lahan seluas 74.611,62 hektare, sementara 47.213,04 hektare sudah ditanami. Sedangkan Sinar Mas dengan luas 25.111 hektare yang tertanam dan memiliki pencadangan 48.226,23 hektare lahan.

Walhi menyoroti bahwa model pembangunan saat ini serupa dengan paradigma pembangunan ala Orde Baru yang mendasarkan pada prinsip trickling-down effect. Tumpuan pertumbuhan ekonomi, kata Abetnego, diletakkan pada industri ekstraktif berskala besar berbasis konsesi lahan yang diberikan kepada korporasi-korporasi. "Ini terbukti menciptakan ketimpangan penguasaan lahan, deplesi kekayaan alam dan kehancuran lingkungan." UNTUNG WIDYANTO


Bencana Ekologis 2013

Daerah tertinggi dilanda bencana ekologi di lima region:

  • Jawa Barat: 177
  • Aceh: 79
  • Nusa Tenggara Timur: 56
  • Sulawesi Selatan: 56
  • Kalimantan Barat: 27

    Daerah dengan tingkat korban jiwa tertinggi:

  • Jawa Barat: 89
  • Papua: 41
  • Jawa Timur: 40
  • Sumatera Utara: 27
  • Sumatera Barat: 23

    Aktor Penguasaan Ruang dan Sumber Daya Alam di Indonesia

    Tahun 1980-2001:

  • Logging : 72 juta ha
  • Perkebunan : 2,1 juta ha
  • Perkebunan Sawit : 4,1 juta ha (sawit, kakao, tebu, dan kopi)
  • Pertambangan : 352.953 ha
  • Jumlah: 78,2 juta ha

    Tahun 2004-2011-2014:

  • Logging : 25 juta ha
  • Perkebunan : 9,8 juta ha
  • Perkebunan Sawit : 6,2 juta ha12,35 juta ha (konversi hutan)
  • Pertambangan : 3,2 juta ha
  • Jumlah : 38 juta ha
  • Jumlah : 56,55 juta ha

    Tahun 2014-2025:

  • Logging : 26,2 juta ha
  • Perkebunan : 12,5 juta ha
  • Perkebunan Sawit : 26,3 juta ha
  • Pertambangan : 3,2 juta ha
  • Jumlah: 80,5 juta haSumber: Walhi (dari berbagai sumber)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus