Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Penerimaan Pajak dari Miliarder Belum Optimal

Pendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun bisa dikenai pajak 40-45 persen.

20 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Pemerintah masih bisa menggenjot penerimaan pajak dengan menaikkan rasio pajak (tax ratio) dari 13-15 persen menjadi 19-24 persen dari produk domestik bruto (PDB) dalam kurun lima tahun. Potensi pajak tersebut bisa digali dari wajib pajak berpendapatan Rp 5-20 miliar per tahun.

Menurut pengamat pajak dari Perkumpulan Prakarsa, Yustinus Prastowo, penerimaan pajak dari orang kaya bisa dimaksimalkan dengan mengubah tarif pajak. "Caranya dengan menetapkan besaran pajak untuk golongan kaya dan super-kaya," ujar dia, ketika memaparkan hasil kajian International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) tentang potensi pajak, kemarin.

Prastowo mengatakan pemasukan pajak dari orang kaya bisa digenjot dengan membedakan antara penghasilan Rp 1 miliar, Rp 3 miliar, dan Rp 5 miliar per tahun. "Atau antara pendapatan Rp 1 miliar dan di atas Rp 10 miliar setahun."

Menurut Prastowo, pemerintah masih bisa memberlakukan tarif pajak 30 persen untuk wajib pajak berpendapatan maksimum Rp 1 miliar per tahun. Sedangkan wajib pajak berpenghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun bisa dikenai tarif pajak 40-45 persen. "Sasarannya adalah penduduk super-kaya Indonesia, termasuk pemilik dan pemegang saham perusahaan di bidang pertambangan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan, dan lainnya," tutur dia.

Prastowo menuturkan, penerapan kebijakan tersebut seharusnya diikuti pembatasan pembayaran pajak penghasilan yang ditanggung perusahaan. "Pajak yang dibayarkan perusahaan dibatasi tidak boleh lebih dari 5 persen dari pendapatan kotor perusahaan," ujarnya.

Langkah itu diperlukan seiring dengan maraknya upaya pengalihan pendapatan perorangan sebagai bagian dari biaya-biaya perusahaan. "Praktek-praktek ini dilakukan baik secara legal (tax avoidance) maupun ilegal (tax evasion) guna meminimalkan nilai pajak yang semestinya dibayar."

Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesia Development Sugeng Bahagijo menyatakan banyak potensi pajak yang dilupakan publik dan elite politik. "Kebijakan pajak layak dipertimbangkan untuk diperdebatkan dan menjadi agenda calon legislator dan calon presiden pada Pemilu 2014," kata dia.

Adapun Direktur Indonesia Institute for Economic Development and Finance Enny Sri Hartati mengatakan potensi penerimaan pajak perseorangan dari miliarder Indonesia yang berpenghasilan Rp 5-20 miliar rupiah per tahun belum optimal. Selain kinerja pungutan pajak terhitung rendah, potensi pajak tersebut tak bisa digarap karena banyak pengusaha yang menghidari pajak. "Pengusaha Indonesia mudah sekali menghindari pajak karena 1 persen orang terkaya di Indonesia merupakan pengusaha dan kebanyakan bekerja di sektor informal," kata Enny, kepada Tempo, kemarin.

Enny menambahkan, menurut indeks GINI Indonesia 2013, yang berada di angka 0,41 persen, 1 persen penduduk menguasai sekitar 58,9 persen produk domestik bruto. Hal ini, menurut Enny, merupakan potensi pajak yang sangat besar. Sebab, ditinjau dari segi aset, mereka mempunyai harta dengan nilai sekitar Rp 4.000 triliun rupiah. GALVAN YUDISTIRA


Target Pilihan Kebijakan Perpajakan

Target perolehan pajak 5 tahun ke depan (tax ratio)Naik dari 13-15 persen PDB menjadi 18-20 persen PDB. Target total APBN: naik dari 18-19 persen menjadi 23-25 persen PDB per tahun
Target nominal perolehan PajakRp 200-400 triliun per tahun

Langkah Kebijakan

Kebijakan Pajak
=> Perubahan tarif dari 30 persen menjadi 45 persen bagi pendapatan tertinggi (superkaya); pendapatan di atas 10 miliar per tahun.
=> Perubahan Tarif 30 persen menjadi 37,5 persen bagi pendapatan kedua tertinggi (kaya): pendapatan 1- 10 miliar per tahun.
=> Pembatasan maksimum pembayaran pajak oleh perusahaan tidak boleh lebih dari 5 persen pendapatan kotor perusahaan.
=> Menyelamatkan (recover) 100 triliun akibat pelarian pajak ke LN (illicits flows).
=> Integrasi Data Nasional yang berpusat di Ditjen Pajak sebagai pelaksanaan Pasal 35A UU KUP yang mengikat seluruh institusi pemerintah dan asosiasi terkait.

Kelembagaan DJP
=> DJP dipisahkan dari Kemenkeu; langsung bertanggung jawab kepada Presiden, tapi secara fungsional berkoordinasi dengan Kemenkeu.
=> Pembentukan unit/ kantor baru khusus untuk perusahaan MNC dan superkaya (pelayanan dan gugus tugas illicit flows yang disupervisi KPK.
=> Memastikan semuaperusahaan pertambangan membayar pajak.
=> Memastikan semua perusahaan sawit dan otomotif membayar pajak.
=> Percepatan pembentukan sistem administrasi terpadu yang menyatukan semua koridor/portal kementerian/ lembaga negara dan pelembagaan gugus tugas khusus KPK. BI, OJK. PPATK, Polri dan Kejaksaan Agung untuk menangkal pengelakan pajak.

Akuntabilitas DJP
=> Optimalisasi peran Komisi Perpajakan dengan perluasan kewenangan.
=> Penataan Metode Seleksi tenaga DJP mengadopsi metode seleksi KPK untuk mencari calon staf DJP berintegritas tinggi.
=> Keterbukaan DJP, termasuk membuka laporan tahunan kinerja DJP berbasis penerimaan sektoral dan regional.
=> Keterbukaan DJP, membuka kekayaan setingkat direktur dan pejabat DJP.SUMBER: INFID

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus