Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan pot berisi tanaman kedelai berjejer di belakang kantor Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Kota Malang, Jawa Timur. Tiap pot memiliki nama: khibar, khilau, khipro. Sebutan yang aneh dan mirip julukan bagi jagoan dalam film anak-anak. Namun itu adalah akronim yang diberikan para peneliti untuk membedakan jenis kedelai.
Khibar artinya kedelai hitam berukuran biji besar. Lalu khipro kedelai hitam berprotein tinggi. Sedangkan khilau maksudnya kedelai hitam berkotiledon atau intinya berwarna hijau.
Setiap hari pertumbuhan tiga jenis kedelai ini dicatat dengan seksama. ”Pada April nanti akan ada sidang penetapan varietas baru,” ujar Moch Muchlish Adie, ketua tim peneliti di lembaga itu. Upacara peresmian oleh Departemen Pertanian memang perlu dilakukan. Maklum, tiga kedelai hitam tersebut sudah lolos uji di 18 daerah sentra penghasil kedelai di Tanah Air, antara lain Pasuruan, Probolinggo, Mojokerto, Banyuwangi, Malang (semuanya di Jawa Timur), Sleman (Yogyakarta), Majalengka (Jawa Barat), Lombok Barat (NTB), dan Jembrana (Bali).
Hasilnya ternyata membelalakkan mata peneliti yang terdiri dari Muchlish Adie, Gatut Wahyu, Suyatmo, dan Arifin. Si khibar, misalnya, mampu menghasilkan 3,45 ton per hektare dengan kadar protein 45,36 persen dari berat kering. ”Ini varietas kedelai hitam pertama yang berukuran biji besar dan mempunyai kandungan protein tinggi,” ujar Muchlish kepada Tempo.
Si khipro memiliki potensi hasil 2,96 ton per hektare dengan kandungan protein kedelai 45,58 persen berat kering. Galur ini rada bandel karena toleran terhadap kekeringan. Adapun si khilau mampu menghasilkan 3 ton per hektare dengan warna kotiledon hijau. Menjelang polong masak, daun galur ini akan luruh. ”Ini unik karena karakter daun luruh belum pernah ada di Indonesia,” kata Muchlish.
Temuan balai penelitian milik Departemen Pertanian ini melegakan. Maklum, harga kedelai impor dari Amerika Serikat meroket sejak tujuh bulan lalu. Pada Juni 2007, harga masih Rp 3.500 per kilogram, namun bulan lalu bertengger di angka Rp 7.500. Kondisi itu memaksa ribuan pembuat tempe dan tahu, yang bahan bakunya kedelai, berunjuk rasa di Istana Presiden beberapa waktu lalu.
Amerika, yang biasanya memasok 60 persen kebutuhan kedelai di Indonesia, memang merosot produksinya. Lahan pertanian kedelai negeri George Bush ini setiap tahun berkurang 15 persen. Tak ayal, harga kedelai di pasar internasional pun membubung.
Bagaimana dengan kedelai lokal? Ah, belum bisa diharapkan. Itu karena banyak petani patah arang. Sejak 1992, mereka malas menanam kedelai karena harga di pasaran anjlok. Pemerintah tidak mau memberikan subsidi sehingga harganya kalah dengan kedelai impor. Mereka ramai-ramai beralih menanam padi dan jagung. Alhasil, lahan pertanian kedelai susut menjadi 600 hektare dari 1,1 juta hektare pada 1992.
Setelah unjuk rasa besar-besaran itu, pemerintah mulai membuka mata. Para petani juga serius melirik komoditas ini. Menurut perhitungan Muchlish, dengan harga kedelai Rp 3.900 per kg saja, petani sebenarnya sudah untung karena biaya perawatan tiap hektare hanya sekitar Rp 3 juta. Artinya, dengan menanam benih unggul, yang bisa menghasilkan 3 ton per hektare, petani bisa menangguk hasil penjualan hampir Rp 12 juta. Penggalakan penanaman kedelai lokal itu juga jadi penting karena, konon, bahan baku tahu tempe dari Amerika itu merupakan produk transgenik, yang bisa menimbulkan kanker.
Meski kebutuhan kedelai sangat tinggi, penelitian terhadap tanaman ini masih minim. Lihat saja, sampai saat ini baru ada lima varietas atau galur kedelai hitam yang dilepas di Indonesia, sedangkan kedelai kuning agak lumayan, dengan 20 varietas. Empat dari lima varietas kedelai hitam itu pun sudah ketinggalan zaman. Jenis otau, misalnya, adalah produk tahun 1918, kemudian disusul varietas No 27 (1919) dan merapi pada 1938. Pada 1992 Balai Penelitian Malang melepas cikuray, yang mampu menghasilkan rata-rata 1,7 ton per hektare. Jenis mutakhir, yang dilepas pada 7 Februari 2007 oleh Universitas Gadjah Mada, adalah mallika, yang bisa menghasilkan 2,94 ton tiap hektare.
Mallika ini memang menjanjikan. Berat bijinya 10 gram tiap 100 butir dengan kandungan protein 37 persen dari berat kering, kalah sedikit dengan si khibar, yang beratnya 14,84 gram tiap 100 butir.
Menurut Muchlish, kelima varietas kedelai hitam yang ada berbiji kecil. ”Padahal petani menginginkan kedelai berbiji besar.” Selain itu, katanya, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Cina, Jepang, Korea, dan Taiwan dalam hal riset kedelai berkotiledon hijau. Kedelai varietas ini memberikan keuntungan terhadap hasil olahan seperti tahu, yang langsung berwarna hijau sehingga tidak perlu tambahan bahan kimia pewarna.
Selain balai penelitian di Malang itu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) juga mengembangkan benih kedelai. Sejak 1980-an lembaga ini meluncurkan lima varietas, antara lain muria, tengger, meratus, dan rajabasa. ”Kini kami masih menunggu sertifikasi dari Departemen Pertanian untuk melepas mitrani,” kata Zainal Abidin, Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotof dan Radiasi Batan, kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Mitrani merupakan akronim dari mutan inovasi teknologi nuklir. Uji coba mitrani berlangsung di 16 daerah, antara lain Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Menurut Zainal, rata-rata hasil panen varietas ini 2 ton per hektare. Bahkan potensinya di sejumlah daerah sampai 3,2 ton per hektare, dengan kandungan protein 40 persen.
Sementara Departemen Pertanian dan Batan mengembangkan varietas baru kedelai, lain lagi yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Padjadjaran. Sejak dua tahun lalu, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI mengembangkan ”kedelai plus”. ”Kami menggunakan teknologi untuk memasukkan mikroba ke benih kedelai,” kata Harmastini Sukiman, peneliti di lembaga ini.
Selama ini para petani menggunakan pupuk dari bahan kimia untuk menyuburkan tanah. Nah, mikroba yang dikembangkan LIPI mampu mengikat nitrogen dan menjadi pengganti pupuk tersebut. Mereka menjadikan hubungan mikroba dan kedelai saling menguntungkan. Mikroba menumpang hidup di benih tanaman dan pada akhirnya memberikan pupuk terhadap induk semangnya.
Dari hasil uji coba di Musi Rawas, kata Harmastini, terjadi peningkatan hasil panen kedelai sampai 3 ton dalam satu hektare. Menurut dia, setiap minggu belasan petani datang ke kantornya di Cibinong, Jawa Barat. Mereka membawa benih kedelai yang akan di-”plus”-kan. Prosesnya memakan waktu 15 menit dan, ”biayanya cuma Rp 5.000 per kg.”
Di Universitas Padjadjaran, Imas Siti Setiasih malah mengembangkan tahu dan tempe dari campuran kedelai dan bahan lainnya. Diakui, hampir semua jenis kacang-kacangan sebenarnya bisa digunakan asal tidak terlalu tinggi zat antinutrisinya. ”Karena ada jenis tertentu yang mengandung racun,” ujar guru besar Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Cara membuatnya juga sama dengan teknik yang digunakan para pembuat tahu dan tempe.
Imas dan mahasiswanya pernah membuat tahu dan tempe dengan campuran kacang hijau, kacang koro benguk, dan kacang tolo. Bahkan kacang panjang juga pernah digunakan sebagai substitusi kedelai. Kombinasi bahan pengganti tersebut maksimal sampai 40 persen. ”Aroma khasnya masih terasa,” katanya. Selain itu, bentuk fisiknya hampir sama dengan kedelai.
Dengan berbagai temuan itu, mestinya tidak akan ada lagi krisis tahu dan tempe. Selain bisa memberikan penghasilan yang layak pada petani, kedelai modern ini juga bisa menghemat banyak devisa. Maklum saja, setiap tahun kita harus mengimpor 1,2 juta ton kedelai senilai Rp 3 triliun.
Untung Widyanto, Bibin Bintariadi (Malang), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo