Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khoirudin mengambil beberapa kardus susu formula dari rak di salah satu hypermarket di Jakarta. Baru sekitar lima langkah dia berjalan, laki-laki 30 tahun itu mengembalikan tiga kemasan ke tempat semula. ”Satu dulu saja, ya, tunggu pengumuman, merek apa yang bercampur bakteri. Kalau sudah jelas, bisa beli lagi,” ujar Khoirudin kepada istrinya yang ikut berbelanja bersama dua orang anak mereka, salah satunya masih bayi dalam gendongan.
Setelah gajian, Khoirudin memang biasa membeli minimal lima kardus susu formula. Kali ini, ketika dia dan keluarga belanja sambil cuci mata, Kamis pekan lalu, warga Kebon Kacang, Jakarta Pusat, ini hanya beli satu kardus untuk si buah hati. Khoirudin dan istrinya waswas karena peneliti Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengumumkan hasil penelitian mereka tentang adanya Enterobacter sakazakii dalam susu formula dan makanan bayi, awal pekan lalu. Namun, bak melempar bola panas, hingga kini mereka tak memberi keterangan susu merek apa saja yang mengandung bakteri jahat itu.
Kecemasan tentu saja bukan milik Khoirudin sekeluarga saja. Entah berapa banyak orang tua yang memiliki anak bayi, terutama yang di bawah satu tahun, yang tergantung pada susu formula, mengidap rasa khawatir. Apalagi disebutkan bahwa sakazakii bisa berakibat fatal bagi kesehatan bayi. Bukan mencret-mencret yang diderita, tapi bisa terjadi enteritis (diare berdarah), sepsis (infeksi peredaran darah), dan meningitis (radang selaput otak). Ancaman kematiannya pun tinggi.
Belum lagi ada kejelasan, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari malah menambah kerumitan. Dia mempertanyakan validitas temuan tim IPB itu. ”Untuk apa tiba-tiba ada penelitian seperti itu? Yang meneliti dokter hewan pula,” katanya kepada pers sebelum berangkat ke Beijing, Cina, pekan lalu. Siti menduga ada kepentingan asing di balik penelitian tersebut. Dia pun mempertanyakan siapa yang membiayai penelitian.
Masalah makhluk yang nyaris tak kasatmata ini pun berkembang makin ramai. Tim IPB yang semula hanya sibuk di laboratorium dan kampus terpaksa menjadi ”selebritas”. Selain dihujani pertanyaan dari media massa, mereka juga harus berurusan dengan berbagai lembaga. Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Senin pekan ini, memanggil tim peneliti FKH IPB ke Senayan untuk menjelaskan temuan mereka. Sehari setelah itu, tim pimpinan Dr. Sri Estuningsih bertemu dengan berbagai instansi seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk memperjelas duduk persoalannya.
Nah, hulu dari hiruk-pikuk susu formula terjangkit Enterobacter sakazakii ini sebenarnya adalah penelitian Sri dan tim selama 2003–2006. Menurut Sri, pada awalnya mereka berniat mencari jenis bakteri yang sering ada di susu formula, yaitu Salmonella, E coli, dan Shigella. Bakteri inilah yang sering menyebabkan mencret pada bayi.
Setelah diteliti, bakteri yang dicari malah tidak ada. Legakah mereka? Tidak, karena yang muncul justru Enterobacter sakazakii. Jejak bakteri ini juga kembali ditemukan pada penelitian tahun berikutnya. Dari 46 sampel susu dan makanan bayi, ada dua merek yang terkontaminasi.
Pada penelitian terakhir, Sri dan tim melakukannya dalam dua tahap. Pertama, mengisolasi dan mengidentifikasi sakazakii dalam 22 sampel susu formula dan 15 sampel makanan bayi. Tahap kedua, peneliti menguji 12 isolat atau hasil biakan Enterobacter sakazakii. Mereka juga menguji kemampuan bakteri tersebut dalam menghasilkan enteroksin (racun) melalui uji sitolisis (penghancuran sel). ”Dari 12 isolat yang diujikan, enam di antaranya menghasilkan enteroksin,” tutur Sri. Bahkan lima di antaranya masih memiliki kemampuan menghancurkan sel walaupun telah melewati proses pemanasan. Padahal, biasanya, bakteri semacam sakazakii tak tahan terhadap panas lebih dari 60 derajat Celsius.
Tak hanya berhenti di situ, tim selanjutnya mencari tahu efek dari serangan bakteri sakazakii. Sebagai bahan percobaan digunakan bayi mencit (tikus putih kecil) normal dan sehat berusia enam hari. Bayi mencit dicekoki bakteri dengan menggunakan selang hingga ke lambung. Tiga hari kemudian, sampel organ mencit diambil. Hasilnya, satu dari anak-anak mencit itu menderita radang saluran pencernaan dan otak. Berdasarkan penelitian, Enterobacter sakazaki memang bisa menyebabkan enteritis (diare berdarah), sepsis (infeksi peredaran darah), dan meningitis (radang selaput otak).
Walau begitu, jangan keburu panik. Meskipun sakazakii ini bisa ada di mana saja dan menyerang segala usia, serangannya sangat jarang berhasil. Sakazakii hanya ampuh pada bayi di bawah satu tahun yang lahir prematur dengan berat di bawah 2,5 kilogram atau pada yang daya tahan tubuhnya lemah (lihat Sakazakii yang Menghebohkan).
Lagi pula, temuan Enterobacter sakazakii pada susu formula dan makanan bayi di Indonesia bukan cermin bahwa produk untuk bayi di negara ini pasti buruk, karena sakazakii juga bercokol di susu formula yang diproduksi negara-negara maju. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada 2002 melaporkan 20 dari 141 sampel produk susu formula dari berbagai negara bagian di sana tercemar bakteri tersebut.
Justru berdasarkan laporan dari banyak negara maju, Badan Kesehatan Dunia (WHO) bertindak dengan mengadakan serangkaian pertemuan internasional. Tujuannya adalah merevisi petunjuk pelaksanaan standardisasi kesehatan makanan yang semula belum memasukkan cara menangkal Enterobacter sakazakii (lihat Usaha Menaklukkan Sakazakii).
Artinya, bakteri ini memang menjadi perhatian dunia. Jadi, tidak mengherankan bila ada lembaga-lembaga internasional yang ikut membiayai penelitian seperti yang dilakukan IPB. Seperti diakui Sri, penelitiannya didanai Bank Dunia dan bekerja sama dengan sebuah universitas di Jerman. ”Tak ada yang ditutup-tutupi dengan pendanaan. Saya bisa pertanggungjawabkan dan bisa dicek kalau memang diinginkan,” ujarnya santai.
Kalau begitu, Ibu Menteri tampaknya tidak perlu khawatir soal ”udang di balik penelitian itu”. Yang perlu lebih mendapat perhatian Menteri Kesehatan adalah tingkat standardisasi kesehatan dan kebersihan makanan dan minuman di Indonesia, seperti yang dikhawatirkan WHO. Sangat jarangnya laporan tentang kontaminasi Enterobacter sakazakii dalam susu formula di negara-negara berkembang dan terbelakang membuat kasus ini sulit dideteksi dan ditangani.
Baik Sri maupun pihak Badan POM setuju bahwa yang perlu dibenahi adalah soal penanganan bakteri sakazakii itu. Sri sendiri memang sering menjadi narasumber BPOM dalam menyusun materi cara menanggulangi codex Enterobacter sakazakii. Setiap tahun BPOM pasti ikut serta pertemuan WHO untuk penyusunan codex tersebut.
Menurut Direktur Standardisasi Produk Pangan BPOM, Sri Irawati Susalit, badan ini sekarang tengah menyusun standar keamanan untuk susu formula bayi. ”Termasuk labelisasi dan kelengkapannya, antara lain cara penyiapan susu bayi yang benar,” kata Sri Irawati.
Badan POM boleh punya penjelasan, tapi heboh Enterobacter sakazakii dalam susu formula dan makanan bayi sebenarnya menunjukkan bahwa standar kesehatan produk makanan dan minuman di sini masih dipertanyakan. Masyarakat cepat bereaksi karena memang di masa lalu terjadi kasus-kasus makanan dan minuman yang mengandung zat berbahaya. Adanya formalin dalam berbagai makanan, misalnya. Tak mengherankan jika kehadiran makhluk bernama Enterobacter sakazakii juga meresahkan.
Ahmad Taufik, Nunuy Nurhayati, Rika Panda dan Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo