Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Beton Rumah dari Popok Bekas 

Alumnus Institut Teknologi Bandung mengembangkan rumah bermaterial limbah popok sekali pakai. Mengurangi 20-40 persen pasir.

24 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Alumnus Institut Teknologi Bandung mengembangkan beton untuk bahan bangunan yang mengandung limbah popok sekali pakai.

  • Serat popok sekali pakai itu dapat menggantikan pemakaian pasir sebesar 20-40 persen.

  • Penggunaan beton yang mengandung popok sekali pakai bertujuan mengurangi biaya bahan bangunan dan sampah popok sekali pakai.

RUMAH di ujung Gang Abah Buce, Kelurahan Padasuka, Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu tampak unik dibanding hunian di sekitarnya. Sekujur dinding luarnya berupa panel-panel dari beton ringan berwarna abu-abu berukuran 60 x 60 sentimeter dan tebal 1 sentimeter. Setiap panel dipasang dengan cara mengencangkan baut di keempat sudutnya. “Itu serat popok sekali pakai,” kata Muhammad Arief Irfan pada 19 Desember 2023 sembari menunjuk serabut putih yang menyembul di bagian atas panel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ya, rumah panel beton inovasi Irfan dan tim Titano.corp atau PT Tekno Intermedia Kreativindo itu memang terbuat dari campuran semen, air, pasir, dan popok bayi sekali pakai atau diaper. Titano adalah perusahaan rintisan alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) dan pengajar universitas swasta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yakni Irfan sebagai Komisaris, Anjar Primasetra selaku Direktur Utama, dan Siswanti Zuraida sebagai Direktur. Bergabung pula Firman Fadhly A.R., Andrie Harmaji, dan Ilham. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ide pembuatan bahan bangunan yang ramah lingkungan itu berawal dari Siswanti Zuraida alias Sisda. Sarjana Pendidikan Teknik Bangunan Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah yang melanjutkan ke Program Pascasarjana Arsitektur di ITB, Bandung, dan Program Doktor Teknik Lingkungan The University of Kitakyushu, Jepang, itu membuat penelitian disertasi bersama rekan sekampusnya, Romi Bramantyo Margono dan Bart Dewancker, dari Jurusan Arsitektur. Hasil riset itu dipublikasikan di Scientific Reports pada 18 Mei 2023 dengan judul “Application of non-degradable waste as building material for low-cost housing”. 

Menurut Sisda, popok sebagai limbah yang tak dapat terurai secara alami itu bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara swadaya untuk bahan bangunan rumah murah menggunakan teknologi sederhana. “Saat ini lebih cocok diaplikasikan untuk rumah sederhana,” ujar Sisda melalui jawaban tertulis, 19 Desember 2023. Sisda masih tinggal di Jepang untuk menemani suaminya yang juga sedang menempuh studi di sana.

Awalnya riset Sisda adalah pembuatan panel beton dari limbah plastik. Pembuatannya melibatkan masyarakat agar bisa mengolah sampah. Anjar kemudian membuat desain rumah dari panel beton limbah plastik itu dan dipajang di akun media sosialnya. Sebuah perusahaan Jepang tertarik pada karya tersebut. Perusahaan itu lalu menantang tim untuk mengolah popok tak layak jual dari sebuah pabrik. “Popok yang reject itu bisa sampai 5 persen,” tutur Irfan. 

Mereka memulai riset pada Februari 2020. Sebulan kemudian, ketika pandemi Covid-19 masuk Indonesia, rencana tim ikut terkena dampak. Perusahaan batal memberikan pendanaan penuh, melainkan hanya separuhnya untuk biaya pengujian di laboratorium. Sisanya mereka peroleh dari program Kerja Sama Dunia Usaha dan Kreasi Reka dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dana riset tahun 2021 itu mereka gunakan untuk pengujian lanjutan dan pembangunan rumah purwarupa.

Di masa pandemi, mereka mengalami kesulitan melakukan pengujian. Tim sempat mendapat akses yang terbatas ke laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum di Bandung. Mereka juga membuat laboratorium mini di tempat kos Andrie. Saat itu tim mengolah popok bekas pemakaian anak Sisda dengan peralatan sederhana. Popok bekas dicuci, dikeringkan, lalu dipotong-potong dan diberi bahan kimia agar tidak berbau tinja. 

Sisda mengaku memakai gunting untuk mencacah limbah popok karena belum punya alat khusus. Walhasil, mereka sulit mendapatkan ukuran yang pasti dari hasil pengguntingan. Sementara itu, dari kajian literatur yang mereka baca, ukuran cacahan yang kecil makin mudah tercampur dan berpengaruh pada kekuatan beton. “Pada praktiknya digunting sekecil mungkin, sekitar 1 sentimeter,” ujarnya. 

Popok, menurut Sisda, punya komponen polimer penyerap super (SAP) yang berfungsi menyerap cairan. Akibatnya, campuran beton dengan popok menyerap lebih banyak air daripada campuran beton biasa. Untuk mengatasi masalah itu, tim mencari bahan aditif untuk mencegah penyerapan air yang berlebihan. “Tim kami juga membuat bahan aditif untuk dicampur pada beton berbahan popok,” tuturnya.

Dari hasil pengujian terhadap beton berbahan popok ini diketahui, makin banyak campuran limbah popok, kekuatan material akan menurun. Karena itu, menurut Sisda, perlu dihitung jumlah optimal limbah popok agar sesuai dengan standar material bangunan yang berlaku di Indonesia. Setelah formula diperoleh, panel beton dibuat lalu diuji di laboratorium ITB. 

Hasilnya, dari segi kekuatan dan kelenturan, menurut Irfan, panel beton berbahan popok itu setara dengan batu bata kelas satu. Sebagai perbandingan, mereka juga membuat panel dari adukan beton konvensional, yaitu semen, pasir, dan air, dengan ukuran yang sama. “Hasilnya mudah pecah ketika dipasang di rumah contoh ini,” ujar Irfan, yang berlatar pendidikan arsitektur ITB.

Dari kalkulasi Sisda, total limbah popok sekali pakai yang dapat dimanfaatkan untuk rumah satu lantai tipe 36 atau ukuran 36 meter persegi adalah 1,73 meter kubik dari total volume material komposit sebesar 22,79 meter kubik. Volume itu setara dengan 300 lembar popok. Pada rumah purwarupa, kata Sisda, yang digunakan hanya setengah dari hitungan ideal itu. Firman menambahkan, satu panel beton rata-rata memakai dua popok bekas. 

Tim menggunakan popok limbah bekas pakai dan produk yang ditolak pabrik. Menurut Sisda, komponen yang dimanfaatkan hanya popok, tidak termasuk plastik pembungkus atau kemasan. Saat ini tim mempunyai delapan cetakan panel dari bahan besi. Tim menggunakan bahan aditif untuk mempercepat pengeringan panel sehingga tak membutuhkan panas matahari. Panel bisa dilepas dari cetakannya setelah satu hari. Bila tidak memakai bahan aditif itu, lama pengeringan bisa sampai tiga hari.

Pekerja membawa panel dinding berbahan limbah popok bayi sekali pakai di Padasuka, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 19 Desember 2023/Tempo/Prima Mulia

Tujuan utama gagasan tim adalah membuat rumah dengan harga murah sekaligus mengurangi limbah popok sekali pakai. Sejauh ini mereka baru menghasilkan panel beton dinding sebagai elemen non-struktural dan lantai untuk elemen struktural. Sementara itu, tiang atau kolom rumah purwarupa masih menggunakan besi. “Untuk menjadi bahan kolom atau struktur, baru tahap riset dan belum sampai pengujian,” kata Anjar.

Setelah fase pertama ini, tahap selanjutnya adalah pengembangan dan komersialisasi, lalu manufaktur. Di tahap pengembangan, misalnya, tim mencari interlock yang lebih mudah sebagai pengganti mur dan baut pada panel. Kini, meskipun bahan pasir bisa dikurangi, secara umum target biaya rendah belum tercapai. “Karena biaya pemilahan sampah di sini masih tinggi, kendala utamanya itu,” ucap Irfan.

Saat ini mereka masih menunggu persetujuan permohonan hak paten yang telah diajukan, antara lain untuk panel, metode pembuatan, dan plasticizer agar panel tidak gampang pecah. Fungsi lain bahan pelentur itu, menurut Irfan, adalah mengurangi jumlah air ketika serat popok dicampur dengan semen dan pasir. Hasil optimal elemen pasir pada adukan beton untuk panel dinding bisa berkurang sampai 40 persen, sementara pada panel lantai 20 persen.

Sebelumnya, pada 2017, dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Pandji Prawisudha, dan tim pernah menjajal limbah popok sekali pakai untuk bahan baku batako. Kekuatan batako yang dinamakan Pokbrick itu diuji antara lain dengan cara dijatuhkan dari ketinggian 2 meter. Hasilnya, kekuatan batako alternatif itu seperti batu bata. Hanya bagian ujungnya yang pecah. Sedangkan batako biasa hancur atau terbelah menjadi empat bagian.

Menurut Pandji, latar belakang riset itu adalah mencoba penggunaan limbah biomassa yang berserat untuk dicampur dengan bahan bangunan. Alasannya, serat dari popok ketika dicampur ke adukan bisa mengikat semen, air, dan pasir sekaligus menguatkan. “Kita bisa meningkatkan kekuatan batako sekaligus mengurangi bobotnya karena lebih ringan daripada batako biasa,” ujarnya pada 19 Desember 2023.

Menurut riset Pandji, popok bayi sekali pakai terdiri atas 50 persen plastik untuk pembungkus luar dan dalam, sisanya serat buat menyerap air. Selain itu, dalam jumlah sedikit, ada bahan SAP yang akan menggembung kalau terisi air. Namun riset Pandji tidak sampai meneliti lebih jauh komposisi bahan seratnya, termasuk apakah dari bahan alami atau buatan. 

Hanya bagian serat pada popok yang diolah. Pandji mengkhususkan popok bekas pakai anak karena jumlahnya lebih banyak dibanding popok untuk dewasa. Adapun limbah popok bekas pakai itu berasal dari puluhan tetangga yang sukarela menyetor setiap hari ke bengkelnya yang berlokasi di sebuah perumahan di Kabupaten Bandung Barat. Setelah terkumpul, popok yang terkena kencing dan tinja itu dibersihkan. “Orang tua itu suka enggak membersihkan popoknya sebelum dibuang,” tutur Pandji.

Dosen dari Kelompok Keahlian Ilmu dan Rekayasa Termal itu menyiapkan reaktor termal yang multifungsi untuk mengolah aneka limbah. Limbah popok langsung dimasukkan ke reaktor. Sekali masuk bisa 50-60 kilogram popok. Setelah itu reaktor mencucinya hanya dengan air tanpa bahan kimia atau tambahan lain. Setelah plastiknya terpisah, air cucian dibuang, lalu seratnya yang dalam kondisi basah langsung dipanaskan di reaktor yang sama.

Dari hasil uji coba, pemanasan yang terlalu lama akan merusak serat dengan warna kecokelatan. Akibatnya, kemampuan serat untuk mengikat bahan lain akan menurun. Sedangkan jika suhu pemanasan disetel terlalu rendah, seratnya tidak sedap dilihat dan masih berbau feses. Kondisi optimal pemanasan, kata Pandji, bersuhu 180-190 derajat Celsius selama 30 menit. Dengan cara itu, serat sekaligus disterilkan. 

Serat kemudian diaduk dengan semen, air, dan pasir, untuk dicetak menjadi batako. Ukuran Pokbrick seperti batako biasa, per unitnya mengandung serat dari tujuh popok. Adapun pengurangan pasir dengan pemakaian popok sebesar 20-30 persen. “Isolasi panasnya lebih baik dari batako biasa, jadi lebih tahan panas. Cuma, ia tidak tahan air,” ujarnya. Karena itu, Pandji menilai batakonya tidak cocok untuk material luar bangunan. 

Solusinya, tim melapisi Pokbrick dengan bahan pelapis anti-air. Ditambah biaya pengolahan limbah Rp 2.000 per popok, muncul masalah baru soal harga jual batako. “Total harganya naik dua kali lipat dari batako biasa, itu kelemahan utamanya,” ucap Pandji, yang mengaku risetnya kini mengarah ke limbah pembalut wanita.

Tim Brigade Evakuasi Popok dari Ecological Observation and Wetland Conservation atau Ecoton memproyeksikan 90 persen dari populasi bayi atau anak-anak menggunakan popok sekali pakai. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah anak usia dini di Jawa sekitar 30 juta jiwa. “Jika pemakaian dalam sehari yang rata-rata tiga-empat kali ganti, ketemu angka 90-100 juta popok sekali pakai dalam sehari,” kata anggota tim, Tonis Afrianto, pada 21 Desember 2023.

Menurut Tonis, polluter pays principle harus dijalankan. Produsen yang menjadi sumber penghasil sampah popok sekali pakai wajib bertanggung jawab dalam pengumpulan dan pengolahan limbah itu di masyarakat. “Serta perlu mendesain ulang popok sekali pakai agar dapat dipakai lagi atau mudah didaur ulang,” ujarnya. Ecoton belum mengetahui jumlah popok yang tidak layak di pabrik. Mereka pernah mendapat laporan jumlahnya mencapai satu gudang. 

Hingga saat ini Ecoton masih belum meyakini cara pengelolaan sampah popok sekali pakai yang aman. Alasannya, di dalam limbah itu terdapat kotoran manusia yang mungkin mengandung bakteri atau virus yang berbahaya jika dikelola dengan cara-cara yang tidak memenuhi standar. “Sehingga kami selalu menyebut bahwa popok bekas pakai merupakan kategori limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun),” ucap Tonis. Solusi yang paling cocok, menurut Tonis, adalah mengganti popok sekali pakai dengan popok kain yang bisa dipakai ulang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Beton Rumah dari Popok Bekas"

Artikel ini telah diperbarui pada Senin, 29 Januari 2024 pukul 19.51 karena terdapat kesalahan dalam penulisan riwayat pendidikan Siswanti Zuraida. Mohon maaf atas kekeliruan tersebut.

Anwar Siswadi

Anwar Siswadi

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus