Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Setelah K-Pop, Gelombang Sastra Korea Melanda Indonesia

Setelah K-pop dan drama Korea, kini sastra Korea menyerbu Indonesia. Dari buku sastra populer hingga karya klasik.

24 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELASAN perempuan meriung membicarakan empat buku sastra Korea di Maraca Books & Coffee di kawasan Bogor, Jawa Barat, 8 Oktober 2022. Saat itu setiap peserta bergantian membawakan presentasi atas buku yang ditentukan komunitas Buibu Baca Buku Book Club dan Literature Translation Institute of Korea tersebut. Empat buku itu adalah Vegetarian karya Han Kang, Please Look After Mom karya Shin Kyung-sook, I'll Go to You When the Weather is Nice karya Lee Do-woo, dan My Brilliant Life karya Kim Ran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anisya Marliyani Yulinar, salah satu peserta acara bertajuk “2022 Korean Literature Review Contest” itu, begitu antusias membicarakan novel Vegetarian. Menurut dia, muatan cerita tentang seorang perempuan yang menjadi vegetarian lewat potongan mimpi itu benar-benar kuat. “Dalam acara itu, saya dapat banyak sudut pandang tentang novel Vegetarian,” kata Anisya, 30 tahun, ketika berbincang dengan Tempo, 20 Desember 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Novel Vegetarian menjadi pintu masuk bagi Anisya untuk membaca karya-karya sastra dari Korea. Ketertarikannya terhadap buku sastra Korea kemudian berlanjut ke karya lain Han Kang. Salah satunya novel berjudul Mata Malam. Anisya juga cukup rajin mengulas buku sastra Korea yang telah ia baca. Belum lama ini, dia baru selesai melahap buku berjudul The Hole karya Pyun Hye-young. Dia meresensi novel yang diterbitkan penerbit Baca itu di akun media sosialnya. 

Anisya mengaku tertarik pada kebudayaan populer Korea. Mula-mula Anisya mengenal budaya populer Korea melalui musik pop Korea atau K-pop dan drama Korea. Kini dia kian menggandrungi budaya populer Korea setelah berjumpa dengan buku-buku sastra Korea yang mulai banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. "Justru sekarang saya lebih banyak kenal Korea populer lewat karya sastranya," ujar ibu satu anak yang berdomisili di Tangerang Selatan, Banten, itu.

Gelombang budaya populer Korea kini tidak hanya masuk melalui musik pop dan drama. Penyebaran budaya populer Korea juga berlangsung lewat karya-karya sastra yang banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Bukti menjamurnya novel ataupun cerita pendek para penulis berkebangsaan Korea bisa dijumpai di toko-toko buku dan di lokapasar. 

Seperti pantauan Tempo di toko buku Gramedia di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, 19 Desember 2023. Sore itu, novel populer Korea yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia tampak memenuhi rak toko buku tersebut. Sebagian buku masih menghuni rak yang diberi tanda best seller atau terlaris. Beberapa anak muda juga terlihat memilih judul yang tersedia di sana. Misalnya novel School Nurse Ahn Eunyoung karya Chung Serang, kumpulan puisi Pesan Sang Menteri (Kong Kwang-kyu), Vegetarian (Han Kang), hingga Please Look After Mom (Shin Kyung-sook). 

Buku-buku keluaran penerbit seperti Gramedia Pustaka Utama, Haru, dan Baca menjadi pilihan para pengunjung. Sesekali beberapa anak muda perempuan tampak membolak-balik halaman buku yang kemasannya telah terbuka dan dijadikan sampel untuk dibaca di tempat. Misalnya buku sastra populer Korea berjudul Cursed Bunny karya Bora Chung, Saha Mansion (Cho Nam-joo), Violets (Shin Kyung-sook), dan 28 (Jeong You-jeong).

Drama Korea juga memainkan peran penting dalam penyebaran karya-karya sastra yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Banyak novel populer Korea yang diangkat ke layar lebar. Irma Susanti Irsyadi misalnya. Perempuan asal Bandung itu tertarik menyelami buku-buku fiksi ataupun nonfiksi Negeri Ginseng setelah menonton drama Korea. "Awalnya saya penasaran karena beberapa drama Korea yang bagus itu ternyata dari novel," kata Irma.

Acara “2022 Korean Literature Review Contest” yang diadakan oleh Komunitas Buibu Baca Buku Book Club di Bogor, Oktober 2022/YouTube Buibu Baca Buku Book Club

Salah satu novel yang diangkat ke ranah drama Korea adalah Pachinko karangan Min Jin Lee. Irma mengaku sempat menonton drama tersebut, hanya tidak sampai selesai. Pasalnya, dia lebih tertarik membaca Pachinko dalam bentuk novel. Ketertarikan Irma pada novel populer Korea berlanjut ketika dia membantu temannya mengerjakan penelitian. Kebetulan yang menjadi obyek penelitian rekannya adalah novel berjudul If I Had Your Face karya Frances Cha, penulis Korea yang besar di Amerika Serikat.

Ada satu novel Korea yang meninggalkan kesan tersendiri bagi Irma. Buku itu berjudul Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 karya Cho Nam-joo. Buku yang diterjemahkan oleh Lingliana Tan itu, tutur Irma, secara deskripsi begitu kuat. Novel itu bercerita tentang tokoh perempuan bernama Kim Ji-yeong. Dia terlahir dalam keluarga yang mengharapkan seorang anak laki-laki. Bahkan sang tokoh menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolahnya. Lewat novel itu, Irma bisa memotret beratnya menjadi seorang perempuan di Korea. "Saya jadi mengetahui soal kebudayaan masyarakat Korea. Kayaknya sedih banget ya jadi perempuan di sana," ujar pegiat komunitas Nulis Aja Dulu itu.

Stebby Julionatan punya cerita lain ihwal ketertarikan pada buku-buku sastra Korea. Penulis novel Rumah Ilalang dan Sekong! itu mulai mengenal buku sastra karangan penulis Korea di masa pandemi Covid-19. Di tengah pembatasan sosial pada masa itu, Stebby banyak mengisi harinya dengan menonton drama Korea. Setelah itu, dia tahu bahwa banyak cerita drama Korea yang berangkat dari karya sastra. Stebby kemudian menelusuri lebih banyak buku sastra Korea dan jatuh hati pada novel Vegetarian karya Han Kang. "Itu jadi titik untuk saya tertarik lebih jauh pada karya sastra Korea," tutur Stebby.

Lulusan S-2 Kajian Gender Universitas Indonesia itu makin tertarik ketika mendapati muatan karya sastra Korea yang banyak mengangkat isu perempuan hingga budaya patriarki. Karya sastra Korea yang banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia turut membantu Stebby dalam penelusuran lebih rinci terhadap wacana tersebut. “Karya sastra kan lebih reflektif, ya, teks-teks itulah yang membantu saya melakukan penelusuran,” kata penulis yang lahir di Ponorogo, Jawa Timur, tersebut.

•••

DISTRIBUSI karya sastra Korea di Indonesia tidak lepas dari peran beberapa penerbit Indonesia yang banyak menerbitkan buku karangan penulis asal Negeri Ginseng. Penerbit Baca, Tangerang Selatan, Banten, mengambil celah ketika novel Vegetarian karya Han Kang menyabet Man Booker International Prize pada 2016. Saat itu salah satu pendiri Baca, Anton Kurnia, bertemu dengan agen literasi yang menangani Han Kang yang menawarkan naskah tersebut diterbitkan di Indonesia.  

Baca, yang saat itu hadir sebagai penerbit baru, langsung menyambut baik tawaran tersebut. Novel yang diterbitkan pada 2017 itu mendapat sambutan hangat di Indonesia. Melalui novel Vegetarian, nama Baca sebagai penerbit mulai dikenal di Indonesia. Bahkan novel itu sudah dicetak ulang berulang kali. "Bisa dibilang novel ini menjadi pintu gerbang maraknya karya Korea masuk ke Indonesia," kata Aniesah Hasan Syihab, salah satu pendiri Baca, kepada Tempo, 22 Desember 2023.

Sejauh ini Baca telah menerjemahkan dan menerbitkan 10 judul karya fiksi Korea. Setelah sukses menerbitkan Vegetarian, Baca merilis karya lain Han Kang yang berjudul Mata Malam. Respons yang diterima sama: Mata Malam disambut baik masyarakat pembaca Indonesia dan telah dicetak ulang berulang kali. 

Baca juga menerbitkan novel berjudul The Hole karya Pyun Hye-young dan kumpulan cerita pendek berjudul Potongan Tubuh. Meski sambutan pembaca tidak sehangat terhadap karya-karya Han Kang, dua judul itu membuat Baca dikenal sebagai penerbit yang khas dengan sastra Korea. "Untuk 2024 kami sudah menyiapkan setidaknya lima naskah Korea dari genre fiksi dan nonfiksi," ujar Aniesah.

Secara berkala, Baca rutin mengecek buku-buku fiksi Korea yang sedang menjadi tren ataupun yang dirasa relevan dengan pembaca di Indonesia. Informasi mengenai hal itu didapatkan Baca dengan berbagai macam cara. Misalnya Baca rutin bertanya kepada para pemBACA—sebutan untuk pengikut mereka di media sosial—tentang buku apa yang harus diterbitkan. Baca juga biasa meminta referensi dari agen literasi di Korea. "Setelah menemukan buku yang potensial, kami meminta reading copy melalui agen literasi," ucap Aniesah.

Reading copy itu akan dibaca dan dievaluasi oleh tim editor. Dengan begitu, tim redaksi Baca bisa mendiskusikan kelayakan terbit naskah tersebut. Setelah naskah diputuskan layak terbit, Baca mengajukan penawaran untuk membeli hak atau rights-nya. Jika penawaran diterima, Baca bisa langsung memulai penerbitan.  

"Dari penerjemahan, penyuntingan, layout naskah, penentuan desain sampul, proofreading, hingga akhirnya naskah siap cetak," ujar Aniesah. "Prosesnya memang panjang dan melibatkan banyak pihak."

Dwita Rizki Nientyas, penerjemah buku Korea, di Korean Cultural Center Indonesia, Jakarta, 21 Desember 2023/Tempo/Ecka Pramita

Sebagai penerbit, Baca juga menemukan tantangan dalam kerja-kerja penerbitan karya sastra Korea. Salah satunya makin mahalnya harga hak buku-buku Korea karena kepopulerannya dalam beberapa tahun ini. Saat ini makin banyak penerbit yang meminati buku Korea. Karena itu, perebutan hak makin sengit dan tak jarang sampai terjadi tawar-menawar alias bidding.

"Beberapa naskah juga tidak mudah ditelusuri siapa proprietor-nya sehingga proses akuisisi sangat lambat," kata Aniesah. Tantangan lain adalah jumlah penerjemah bahasa Korea yang terbatas di Indonesia. 

Penerbit lain yang turut menggairahkan distribusi karya sastra Korea di Indonesia adalah Haru, Ponorogo, Jawa Timur. I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki karya Baek Se-hee menjadi salah satu terbitan Haru yang mendapat respons baik di Tanah Air. Buku tersebut telah dicetak ulang lebih dari 20 kali. "Buku ini populer karena pernah dibaca salah satu member BTS. Jadi para ARMY penasaran dengan buku itu dan membaca buku yang dibaca member BTS," ucap salah satu editor Haru, Andry Setiawan, kepada Tempo, 20 Desember 2023.

Penerbit Haru didirikan atas kecintaan terhadap kebudayaan Korea. Pada rentang waktu 2010-2011, gelombang drama Korea menjalar di Indonesia. Salah satu pendiri Haru, Lia Indra Andriana, lantas mencari naskah karya sastra populer Korea yang saat itu belum banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. "Kami memulainya dari fiksi populer," tutur Andry.

Melalui penerbitan fiksi Korea populer, Haru menemukan pasar pembaca di Indonesia. Sebab, banyak karya fiksi populer yang diangkat ke layar drama Korea. Itu sebabnya banyak pencinta drama Korea yang mencari buku terbitan Haru. Buku-buku fiksi populer Korea yang diterbitkan Haru juga memperluas jangkauan terhadap pembaca, dari usia remaja hingga dewasa. 

Lain lagi cerita Dwita Rizki Nientyas, penerjemah buku. Ia langsung menyambut tawaran menerjemahkan novel Vegetarian dari penerbit Baca. Bagi Kiki—sapaan Dwita Rizki—kerja penerjemahan adalah soal kemampuan menginterpretasi dan memberikan konteks terhadap bahasa yang akan diterjemahkan. Boleh dibilang itu menjadi tantangan yang harus dihadapi penerjemah.

“Novel Vegetarian ini seperti mengandalkan interpretasi pembacanya. Saya banyak berpikir atau agak mengawang bagian ini maksudnya apa lalu yang itu maksudnya apa. Terasa absurd. Sampai akhirnya saya menemukan alur yang mengalir,” ucap Kiki kepada Tempo, 21 Desember 2023. 

Kiki turut menerjemahkan karya lain Han Kang berjudul Mata Malam. Dia juga menerjemahkan novel Hwang Sun-mi berjudul The Dog Who Dared to Dream, lalu karya Pyun Hye-young bertajuk The Hole dan kumpulan cerita pendek Potongan Tubuh yang ditulis Pyun bersama Park Min-gyu dan kawan-kawan.

•••

SERBUAN buku sastra Korea di Indonesia tak hanya berkutat di seputar karya populer. Sejak 2014, Korean Cultural Center Indonesia (KCCI) mengerjakan program penerjemahan dan penerbitan Seri Sastra Korea Abad Ke-20. Program ini diadakan KCCI sebagai upaya menginformasikan sejarah dan akar Hallyu atau gelombang budaya Korea di bidang sastra bagi masyarakat Indonesia. Kini penerjemahan dan penerbitan buku sastra Korea abad ke-20 itu sudah memasuki jilid ke-10.

Buku yang diterjemahkan KCCI dalam program tersebut antara lain Para Petani karya Cho Myung-hee, Kata-Kata Sekarat (Yi Sang), Gasil (Yi Kwang-su), dan Lashing (Kim Dong-in). Ada pula Sengat Matahari karya Kim Yu-jeong, Anak Udik dan Sayap (Yi Sang), serta Istri Pria Miskin dan Kampung Halaman (Hyung Jin-geon).

Jauh sebelum program itu digarap KCCI, penerjemahan karya sastra Korea dilakukan pada 1996. Pegiatnya adalah kritikus sekaligus akademikus sastra, Maman S. Mahayana, melalui buku berjudul Pertemuan: Kumpulan Cerita Pendek Korea Selepas Perang. Bersama Teguh Imam Subarkah, Maman menerjemahkan 14 cerita pendek para penulis Korea yang mengungkapkan berbagai trauma dan kegetiran hidup akibat perang. 

“Salah satu judul yang menarik adalah Si Bongkok dari Seoul karya Kwon Taeung,” kata Maman saat berbincang dengan Tempo, 21 Desember 2023.

Pengunjung saat membaca buku sastra dan literatur Korea di perpustakaan Korean Cultural Center Indonesia, Jakarta, 20 Desember 2023/Tempo/Hilman Fathurrahman W

Kumpulan cerita pendek Korea Selepas Perang ini diterjemahkan dari buku berjudul Postwar Korean Short Stories yang digarap Kim Chong-un dan diterbitkan Seoul National University Press. 

Penerjemahan dan penerbitan 14 cerita pendek itu lahir atas inisiatif pemerintah Korea melalui Kedutaan Besar Republik Korea untuk Indonesia. Selain itu, karya sastra Korea didistribusikan melalui majalah Koreana yang mulai terbit pada 2012. Majalah itu turut menerbitkan cerita pendek Korea yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Salah satu orang yang memainkan peran penting di balik distribusi majalah Koreana di Indonesia adalah Koh Young Hun—Indonesianis sekaligus penulis buku Pramoedya Menggugat

Maman, yang juga terlibat dalam program penerjemahan Seri Sastra Korea Abad Ke-20, turut menyambut baik usaha ini. Menurut dia, pemerintah Korea begitu serius mempromosikan kebudayaan mereka, antara lain melalui karya sastra. Karya-karya sastra kanon Korea ini turut didistribusikan di tengah gelombang budaya populer Korea yang menjalar secara masif di berbagai belahan dunia. 

"Karena ini (sastra klasik) bisa disebut dengan kebudayaan tinggi, yang adiluhung, secara bersamaan diperkenalkan melalui atau menempel pada pengenalan budaya populer,” ujar Maman.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ecka Pramita berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Serbuan Gelombang Sastra Korea"

Yosea Arga Pramudita

Yosea Arga Pramudita

Meminati isu-isu urban dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus