Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
URUSAN Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Raden Said Sukanto, Jakarta, Brigadir Jenderal Hariyanto, bertambah tiga bulan belakangan. Ia mesti meladeni sejumlah surat dari berbagai fakultas kedokteran dari penjuru Tanah Air. Isinya: permintaan menyuplai kadaver atau jenazah manusia yang diawetkan untuk keperluan pendidikan bedah mayat anatomis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Hariyanto, permintaan itu tak lazim. Selama ini rumah sakit di bawah Kepolisian RI itu belum pernah memberi kadaver kepada siapa pun. Untuk menindaklanjuti surat tersebut, ia bersama tim menggodok prosedur standar pemanfaatan kadaver untuk pendidikan sebelum akhirnya menyediakan kadaver untuk kampus. “Prosedur itu sedang kami sempurnakan,” katanya kepada Tempo, 20 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hariyanto tak berani sembarangan menyerahkan kadaver. Di sisi lain, pemerintah berambisi menambah jumlah dokter menjadi 270 ribu orang. Angka ini mengacu pada standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia. Saat ini tercatat ada sekitar 170 ribu dokter. Mahasiswa membutuhkan kadaver untuk mempelajari anatomi manusia. Makin banyak mahasiswa kedokteran, kadaver yang dibutuhkan makin banyak.
Sementara itu, tak mudah untuk mendapatkan kadaver. Saat ini angka permintaan kadaver sudah melampaui jumlah ketersediaan di rumah sakit. Selain dibenarkan Hariyanto, kondisi ini dikonfirmasi dokter anatomi yang juga Ketua Pembina Yayasan Yarsi, yang menaungi Rumah Sakit Yarsi, Jurnalis Uddin. “Memang ada gap antara supply dan demand,” ujarnya.
Jumlah jenazah tanpa identitas di Rumah Sakit Polri—sebutan Rumah Sakit Bhayangkara Raden Said Sukanto—Hariyanto menambahkan, makin sedikit. Penyebabnya adalah meningkatnya kemampuan dokter forensik untuk mengidentifikasi jenazah tanpa nama itu. Menurut aturan, jenazah yang bisa digunakan sebagai kadaver adalah mayat tanpa identitas atau mayat yang sudah mendapatkan izin dari keluarga atau orang yang bersangkutan semasa hidupnya.
Pintu ruangan penyimpanan kadaver di lantai 15 Universitas Prima Indonesia, Medan, Sumatera Utara, 20 Desember 2023/Tempo/Sahat Simatupang
Di tengah pengurusan kadaver itu, muncul insiden temuan mayat di kampus Universitas Prima Indonesia, Medan, Sumatera Utara, pada 12 Desember 2023. Polisi sempat menggeledah kampus tersebut. Mereka menemukan empat mayat pria dan satu mayat perempuan. Awalnya jenazah-jenazah itu dikira korban pembunuhan.
Rupanya, kelima mayat itu adalah kadaver milik fakultas kedokteran di kampus itu. “Kelima kadaver itu diterima dari Universitas Airlangga pada 2008,” kata Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Prima Kolonel (Purnawirawan) Susanto, 20 Desember 2023.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Budi Santoso, sudah mencari dokumen hibah kadaver ke Universitas Prima, tapi tak ditemukan. Ia menduga dokumen berusia 15 tahun itu terselip di tumpukan dokumen lain. Budi memastikan sumbangan kadaver dibolehkan. “Hanya boleh disumbangkan, tidak untuk dijual,” ucapnya.
Di tengah kejadian penemuan kadaver di Universitas Prima dan pengurusan pengadaan di rumah sakitnya, Brigadir Jenderal Hariyanto menyadari aturan untuk pengadaan kadaver ternyata hanya mengatur hal umum seperti apa jenazah yang bisa digunakan untuk kadaver dan siapa yang boleh menggunakannya. “Ternyata selama ini soal kadaver tidak diatur secara rinci,” ujarnya.
Sebelumnya regulasi kadaver diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009. Kedua aturan itu kemudian dicabut lewat PP Nomor 53 Tahun 2021 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Masalahnya, aturan baru justru menghilangkan aturan lama yang lebih detail. “Saya juga tidak mengerti proses pembuatan aturannya,” tutur Isabella Kurnia Liem, dokter anatomi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, yang rutin mengurusi kadaver di kampusnya.
Kolonel (Purnawirawan) Susanto, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Prima Indonesia, Medan, Sumatera Utara, 20 Desember 2023/Tempo/Sahat Simatupang
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pernah mengirim kadaver hingga Maluku dan Papua. Isabella menjelaskan, pemberian kadaver dari satu kampus ke kampus lain sudah jamak terjadi. Universitas Indonesia juga pernah mengirim kadaver untuk sebuah kampus yang baru saja membuka studi kedokteran di Papua. “Saat ini kadaver memang sulit didapat,” ucap pengurus Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia (PAAI) itu.
Mereka tak berani menerima kadaver dari luar negeri. India merupakan salah satu negara yang membolehkan ekspor kadaver. Tapi birokrasi untuk mengimpor kadaver dari luar negeri sangat kompleks. Apalagi belum ada regulasi yang mengatur impor mayat di Indonesia. Jual-beli mayat juga dilarang.
Itu sebabnya berbagai rumah sakit kebanjiran permintaan kadaver. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2022 tentang Pelayanan Kedokteran untuk Kepentingan Umum mengatur jenazah yang bisa digunakan sebagai kadaver adalah mayat tanpa identitas yang tak diklaim keluarga selama satu bulan. Namun Brigadir Jenderal Hariyanto berencana membuat standar tiga bulan agar usaha mencari keluarga jenazah lebih maksimal. Skema yang dibuat juga peminjaman, bukan pemberian, agar Rumah Sakit Polri bisa meminta kembali jenazah bila ada klaim dari keluarga.
Baca Juga:
Ada pula kadaver yang berasal dari sumbangan seseorang semasa hidup. Salah satunya ahli pemasaran Hermawan Kertajaya yang kini berusia 76 tahun. Pada 18 November 2022, ia menandatangani wasiat agar jenazahnya disumbangkan untuk Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. “Ini untuk kemanusiaan,” kata Hermawan selepas menandatangani wasiat itu.
Namun inisiatif yang dilakukan Hermawan masih langka. Itu sebabnya hampir semua kadaver berasal dari jenazah tanpa identitas yang telah disimpan lama di rumah sakit. Masalahnya, tidak ada aturan yang memerintahkan rumah sakit untuk menawarkan kadaver ke kampus-kampus. “Jadi kampus yang biasanya aktif mencari ke rumah sakit,” kata dokter spesialis forensik medis Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta Timur, Putri Dianita Ika Meilia.
Beberapa kampus sudah mengikat perjanjian dengan rumah sakit untuk menjamin ketersediaan kadaver. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menggandeng Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta. “Kami cukup bersurat ke dekan untuk kebutuhannya,” ucap Ketua Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sasanthy Kusumaningtyas.
Setelah menerima kadaver, kampus wajib merawatnya agar bisa bertahan lama untuk setiap angkatan mahasiswa. Persoalan lain lagi muncul karena belum ada standar baku secara nasional yang mengatur tata kelola perawatan kadaver ini. Masalah tersebut sudah ditangkap para dokter anatomi di PAAI.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, Isabella Kurnia Liem ikut memotori pembuatan naskah akademik yang mengatur standar teknis pengadaan kadaver. Apa yang mereka rangkum di dalam naskah adalah hasil mereka belajar di berbagai kampus di Asia dan Eropa. Contohnya pengaturan suhu ruangan penyimpan kadaver. Suhu yang tidak tepat akan membuat kadaver cepat membusuk. “Naskah ini akan segera kami usulkan,” ujarnya.
Direktur Tata Kelola Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Sunarto mengaku sudah menangkap keresahan para dokter ihwal aturan kadaver yang belum rinci. Saat ini Sunarto menyebutkan aturan turunan Undang-Undang Kesehatan yang baru juga sedang digodok. “Ini sedang dibahas,” ucapnya.
Semua dokter anatomi yang ditemui Tempo sepakat kadaver memang tidak akan tergantikan sampai beberapa tahun ke depan, sekalipun teknologi terus berkembang. Di mata seorang dokter, kadaver layaknya guru. “Mortui vivos docent, yang mati mengajari yang hidup,” tutur Ketua Umum PAAI Nur Arfian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Sahat Simatupang dari Medan dan Hanaa Septiana dari Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Belajar Hidup dari Mayat"