JUTAAN orang di seluruh tanah air pekan ini asyik mengikuti
kegiatan para atlet di gelanggang SEA Games, Manila, melalui
layar televisi. Tapi mungkin tak banyak antara pirsawan itu
sadar, keasyikan itu hanya mungkin karena hadirnya satelit
Palapa yang bergantung" puluhan ribu kilometer di atas Samudera
Indonesia. Ada juga orang yang pernah mendengar tentang satelit
Landsat atau bahkan Meteosat. Tapi berapa betul menyadari
kehadiran satelit yang--seperti diungkapkan Dr. Adigun A.
Abiodun -- "dalam jumlah ribuan", besar kecil. melesat di atas
kepala mereka ?
Dr. Abiodun dari Afrika, memimpin Seksi Aplikasi Antariksa dari
PBB dan bulan lalu di Jakarta mengikuti suatu seminar PBB
tentang urusan satelit itu. Seminar itu, yang membahas berbagai
masalah aplikasi penginderaan jauh (remote sensing) dan satelit
komunikasi untuk pendidikan dan pengembangan, 18 November lalu
dibuka Menteri Negara Ristek, Dr. B.J. Habibie.
Pertemuan itu diselenggarakan Lapan (Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional) bekerjasama dengan PBB dan berbagai instansi
pemerintah. "Topik vang bakal dibahas, disambut penuh gairah
oleh Masyarakat Antariksa Indonesia," ujar Marsda (Purn.) dr. R.
Sunaryo, Ketua Lapan dan Ketua Panitia Pelaksana seminar itu.
Terbukti hadir lebih 100 peserta dan pengamat dari pihak
Indonesia yang ingin membandingkan pengalaman, meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan dengan 37 ahli antariksa negara
lain. Antara lain 23 peserta dari 11 negara di wilayah
Asia-Pasifik, termasuk RRC dan Jepang, dan 14 peserta dari
negara industri maju, PBB dan Badan Internasional Keantariksaan.
Usang
Seminar regional PBB ini lanjutan serangkaian seminar regional,
yang sejak awal tahun ini diadakan di Addis Ababa, Ethiopia,
Buenos Aires, Argentina, Toulouse, Prancis dan Sofia, Bulgaria.
Kegiatan itu hendak menjamin kesertaan yang seluas mungkin dalam
Konperensi PBB ke-2 tentang Eksplorasi dan Pemanfaatan Secara
Damai Antariksa (Unispace II) di Wina, Austria, Agustus
mendatang. Juga diharapkan terungkap bahan dan rekomendasi yang
mantap berbagai konperensi itu, agar terwujud suatu tata tertib
dalam pemanfaatan sumber dayaalam antariksa itu.
Ini agaknya dianggap mendesak, agar sebagian besar negara di
dunia tidak kehabisan kesempatan, "termakan" oleh sejumlah kecil
negara industri maju yang dengan teknologi mereka mampu
menguasai antariksa itu. Dalam aplikasi teknologi satelit buatan
itu terutama dua aspek yang menonjol penginderaan Jauh dan
komunikasi.
Penginderaan jauh bukanlah suatu konsep baru. Sejak manusia
percama kali memanjat pohon untuk bisa mengamati medan
sekitarnya lebih jelas, konsep itu sudah diterapkan. Tapi
pemanfaatannya secara ilmiah baru muncul dengan perkembangan
teknik fotografi dari pesawat terbang. Sejak itu pemotretan
udara memberi manfaat luar biasa dalam berbagai bidang seperti
pemetaan, geologi, geodesi, penataan lahan pertanian, eksplorasi
dan inventarisasi sumber mineral serta sumber daya alam lainnya.
Tapi ketinggian "landasan penginderaan" itu terbatas hingga
jangkauan luas wilayah juga terbatas. Baru satelit buatan,
karena tempatnya pada ketinggian luar biasa, merupakan landasan
penginderaan yang ideal. "Landasan di antariksa menyediakan
kemungkinan unik untuk mengamati dan berinteraksi sekaligus
dengan bagian luas dari bumi," ujar Dr. Abiodun dalam kata
sambutannya.
Setiap jenis bahan di permukaan bumi, seperti tanah, air, batuan
atau tumbuhan, menyerap dan memantulkan energi matahari dengan
caranya tersendiri, tergantung struktur atom dan molekul bahan
itu. Energi yang terserap, terpantulkan dan terpancarkan itu
dapat diindera dan direkam dengan berbagai peralatan, hingga
bisa memberi informasi tentang distribusi, perubahan, pengaruh
atau perkembangan bahan itu.
Antara berbagai peralatan itu yang paling terkenal tentunya
fotografi, hitam-putih maupun warna. Tapi juga dipergunakan
peralatan seperti radar, pengindera gelombang merah-infra atau
pengindera beberapa panjang gelombang energi sekaligus, yang
nantinya bisa dipisahkan, sesuai kebutuhan. Akibat ini semua
informasi yang bisa diperoleh menjadi berlipat ganda, banyaknya
maupun kecermatannya.
Tentunya ini juga tergantung dari kemampuan menganalisa dan
menginterpretasi berbagai data itu. Selain ini membutuhkan
peralatan khusus lagi, juga diperlukan ketrampilan yang tinggi.
Ini pun berdasarkan pengetahuan pencocokan gejala yang diindera
itu dengan kenyataan di bumi.
Perkembangan yang amat pesat di berbagai bidang teknologi itu
justru menimbulkan problematik, setidaknya bagi negara
berkembang. "Jangan sampai per?latan yang baru saja dibeli,
besok sudah usang," ujar dr. Sunaryo seusai penutupan seminar
PBB itu, 25 November lalu. Kekhawatiran ini menjadi salah satu
pokok pembahasan dalam seminar itu. Ini menghasilkan suatu
rekomendasi agar terjamin kecocokan dan kelestarian teknologi
antariksa itu selama suatu jangka waktu yang wajar.
Problematik itu lebih lagi terasa dalam teknologi yang
berhubungan dengan satelir telekomunikasi -- aplikasi yang
paling menonjol bagi satelit buatan. Sejak semula orang sudah
melihat manfaat besar dari suatu landasan di antariksa untuk
memantulkan gelombang mikro dan televisi. Kedua jenis gelombang
itu, meski unggul sebagai pembawa isyarat, tidak seperti
gelombang radio, terpantulkan oleh ionosfera hingga bisa
keliling bumi. Gelombang mikro dan televisi memerlukan suatu
jaringan stasion relay pada lokasi tinggi, untuk bisa menjangkau
jarak yang berarti. Tapi satelit meniadakan kebutuhan akan
jaringan yang mahal itu. Cukup gelombang itu dipantulkan dari
permukaan satelit dan seketika terjangkau hampir separuh
permukaan bumi.
Itu disebut satelit pasif. Kini terbanyak dipergunakan satelit
aktif, yang memperkuat gelombang itu sebelum dipancarkan kembali
ke bumi. Satelit Palapa termasuk golongan ini. Investasi dalam
suatu sistem komunikasi semacam ini tetap tidak murah. Kalau
sekedar karena perkembangan teknologi, seketika investasi itu
menjadi usang, memang bisa berabe.
Di Atas Khatulistiwa
Problem lain dari satelit buatan, terutama yang bertugas
mengindera permukaan bumi, juga ada. Banyak negara dengan cemas
menyaksikan negara maju tertentu dengan enaknya memperoleh
segala macam informasi tentang wilayah mereka yang dilintasi
berbagai satelit itu. Ini sendiri sudah mencemaskan, apalagi
belum tentu seluruh informasi itu bisa diperoleh oleh negara
yang "tersadap" itu.
Seperti dikemukakan Dr. Abiodun, "tergantung itikad pemilik
informasi itu bagaimana memanfaatkannya. " Maksudnya, citra
suatu wilayah, dengan berbagai teknik analisa bisa mengungkapkan
informasi bagi pemetaani meteorologi, oseanologi, geologi,
penauan lahan, eksplorasi mineral, tpi juga misalnya untuk
keperluan intelijens. Justru teknologi dan ketrampilan untuk
menganalisa itu masih merupakan kornoditi yang langka dan mahal.
Persoalan lain adalah jaminan akan lokasi di antariksa. Teoretis
setiap tempat di antariksa bisa dimanfaatkan, tapi bagi
komunikasi terdapat suatu orbit yang paling ideal yang dikenal
sebagai Geostationair Orit. GSO itu terdapat pada ketinggian
35.800 kilometer tepat di atas khatulistiwa. Di orbit ini
kecepatan satelit sama dengan perputaran bumi. Akibatnya satelit
itu tetap berada di atas suatu lokasi tertentu di bumi. Ini
membawa keuntungan teknis dan finansial yang amat berarti,
hingga orbit itu menjadi rebutan -- yang empuk bagi negara yang
mampu meluncurkan satelit tentunya.
Yang dikhawatirkan "kapling" yang baik sudah habis terisi, bila
kelak berbagai negara berkembang juga punya ke mampuan itu. Juga
di sini diperlukan penataan, suatu hal yang juga sangat di
dukung Indonesia meski dua satelit Palapa sudah melayang di
orbit ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini