Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pesan Darurat Dari Puncak Wisma...

Radio pager, salah satu media untuk berkomunikasi. Bisa dibawa kemana-mana dan cepat menyampaikan pesan-pesan dan baru ada di Surabaya dan Jakarta.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENDA hitam sebesar bungkus rokok kretek itu mendadak mengeluarkan bunyi: "Tit . . . tit . . . tit." Sesaat kemudian terdengar suara seorang wanita memanggil: "Dokter supaya segera menghubungi rumah sakit. Ada pasien gawat yang perlu cepat ditolong." lokter Soehartono D.S., ahli kandungan, segera memijat tombol off pada benda kecil yang tergeletak di mejanya itu. Dengan bergegas Soehartono bertolak dari tempat prakteknya menuju Rumah Sakit Umum Pusat Soetomo, Surabaya. Lewat benda kecil mungil (berukuran 86 x 55 x 22 mm) yang populer disebut radio pager', pesan-pesan darurat semacam itu kini bisa cepat diterima. Karenanya, Soehartono menilai kehadiran perlengkapan tersebut "penting buat dokter". Dibanding dengan telepon, kecuali telepon yang berada di mobil, radio pager bisa dianggap efisien, dan cukup efektif. "Sebab bisa dibawa ke mana-mana (dalam kantung maupun diikatkan ke ikat pingang)," ujarnya. Kendati praktis, radio pager memiliki keterbatasan. Pesawat yang memperoleh energi dari baterai 1,5 volt itu hanya berfungsi sebagai penerima pesan (receiver) dari suatu pemancar. Di Surabaya, pesan itu ditembakkan dari pemancar (radio transmitter) di Hotel Mirama, sedang di Jakarta dari puncak Wisma Nusantara. Pesan yang ditembakkan biasanya bisa tertangkap hingga radius 70 km dari stasiun pemancar. Baru di kedua kota besar itulah -- dan sebentar lagi Medan --sistem komunikasi radio pager dipakai. Di Surabaya dan Jakarta pemakaian jasa radio pager (pada frekuensi 148. 700, dan 150.175 MHz) diselenggarakan, serta merupakan monopoli PT Motorollain Corporation. Hanya pada perusahaan inilah, tentu saja, calon pelanggan bisa memperoleh rad io pager--merk NEC seberat sekitar 145 gram--seharga Rp 275 ribu sebuah, dengan uang langganan Rp 17.500 (Jakarta), dan Rp 15 ribu (Surabaya) sebulan. Melalui stasiun radio perusahaan itu pula, segala macam pesan yang hendak disampaikan ke pemegang radio pager--dengan menyebut nomornya -- dikirimkan lebih dulu lewat telepon. Tak lama kemudian, pesan yang sudah dicatat operator, ditembakkan lewat pemancar. Dengan demikian, menurut Syarifuddin, Kepala Direktorat Pengendalian Frekuensi, Ditjen Pos dan Telekomunikasi, radio pager bukan merupakan Saingan telepon. Bahkan kehadiran alat itu dianggapnya mendatangkan "keuntungan ganda" buat Perumtel. Pertama, Perumtel memperoleh pembayaran pemakaian frekuensi (sebesar 10% dari jumlah seluruh uang langganan selama sebulan). Kedua, Perumtel memperoleh biaya pemakaian pulsa telepon yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada pemegang radio pager. Sekalipun kehadirannya menguntungkan, Perumtel melarang pengelola jasa radio pager menyertakan repeater yang memungkinkan pesan yang ditembakkan dari stasiun pemancar menjangkau sasaran (wilayah) lebih jauh lagi. Kenapa? Sebab dengan cara itu, pesan dari Jakarta bisa diterima pemegang radio pager yang berada di Bandung. Dan hal itu tentu akan berakibat mengurangi pemakaian pulsa hubungan telepon jarak jauh. Banyakkah peminat perlengkapan itu? Di Surabaya, sejak diperkenalkan dua tahun lalu, sudah 700 radio pager terjual. Sementara di Jakarta, yang mengenalnyalebih awal, terjual 1.300 buah. Selain dokter, perlengkapan itu juga dipakai oleh sejumlah pejabat, pengusaha,petugas lapangan, dan sebagian kecil wartawan. Lewat alat bantu inilah pirnpinan koran mingguan memorandum, Surabaya, misalnya, sering memberikan penugasan kepada wartawannya untuk meliput peristiwa di suatu tempat dengan cepat. Walaupun bermanfaat, radio pager sering juga mengganggu pemiliknya. Nuke Mayasaphira dari majalah Aktuil, Jakarta, misalnya, dinihari pernah terbangun oleh nada panggil dari pesawat itu. Seseorang memberitahukan kepadanya bahwa Nasir, temannya, sedang coma di RSAL, Jakarta, dan memerlukan pertolongan segera. Merasa tidak punya kenalan bernama Nasir, Nuke tidak memenuhi permintaan tadi. Tapi radio pager-nya tetap mengeluarkan nada panggil sampai tiga kali paa dini hari itu. "Mungkin pengirim pesan salah nomor," kata Nuke. "Namun akibatnya, saya semalaman jadi susah tidur." Kendati demikian, permintaan akan benda kecil mungil itu cenderung meningkat. Ketika diperkenalkan (1976) di Jakarta, radio pager semula hanya mengeluarkan nada (tone) panggil: "Tit . . . tit, . . . tit." Sesudah mendengar nada panggil seperti itu, si pemakai biasanya berusaha menghubungi kantornya lewat telepon. Tapi panggilan semacam itu, dianggap kurang efektif, dan membingungkan -- sebab penerima tidak mengetahui pesannya. Karenanya, selama tiga tahun sesudah diperkenalkan, PT Motorollain hanya berhasil menjual 300 buah. Namun sesudah Perumtel mengizinkan pemakaian radio pager yang menggunakan nada panggil, dan suara (tone and voice), penjualannya meningkat tajam. "Panggilan dengan nada dan suara lebih efisien," kata Ny. M.L. Hidayat, manajer umum PT Motorollain. "Karena dengan cara itu penerima bisa mengetahui persoalan dengan cepat." Toh dengan segala kelebihannya itu, radio pager juga memiliki sejumlah kelemahan. Jika pemiliknya berada dalam suatu bangunan beton kukuh berlapis-lapis, pesan yang dirambatkan lewat gelombang VHF (Very High Frequency) itu tidak akan mampu mencapai pesawat penerima. Sementara itu, pihak lain -- pemilik radio transceiver (pemancar dan penerima) yang mempunyai frekuensi i40 - 150 MHz/2 M band misalnya--bisa juga turut mendengar pesan yang dipancarkan. Karena itulah, pihak pengelola tidak memperkenankan pemakai radio pager menyampaikan pesan dengan kata-kata kotor, dan kata-kata sandi. Maklum aparat keamanan pun juga turut mengawasi lalu lintas percakapan di udara tersebut. *) Baca: pe-jer, dari kata to page, memanggil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus