BENDA hitam sebesar bungkus rokok kretek itu mendadak
mengeluarkan bunyi: "Tit . . . tit . . . tit." Sesaat kemudian
terdengar suara seorang wanita memanggil: "Dokter supaya segera
menghubungi rumah sakit. Ada pasien gawat yang perlu cepat
ditolong." lokter Soehartono D.S., ahli kandungan, segera
memijat tombol off pada benda kecil yang tergeletak di mejanya
itu.
Dengan bergegas Soehartono bertolak dari tempat prakteknya
menuju Rumah Sakit Umum Pusat Soetomo, Surabaya. Lewat benda
kecil mungil (berukuran 86 x 55 x 22 mm) yang populer disebut
radio pager', pesan-pesan darurat semacam itu kini bisa cepat
diterima. Karenanya, Soehartono menilai kehadiran perlengkapan
tersebut "penting buat dokter". Dibanding dengan telepon,
kecuali telepon yang berada di mobil, radio pager bisa dianggap
efisien, dan cukup efektif. "Sebab bisa dibawa ke mana-mana
(dalam kantung maupun diikatkan ke ikat pingang)," ujarnya.
Kendati praktis, radio pager memiliki keterbatasan. Pesawat yang
memperoleh energi dari baterai 1,5 volt itu hanya berfungsi
sebagai penerima pesan (receiver) dari suatu pemancar. Di
Surabaya, pesan itu ditembakkan dari pemancar (radio
transmitter) di Hotel Mirama, sedang di Jakarta dari puncak
Wisma Nusantara. Pesan yang ditembakkan biasanya bisa tertangkap
hingga radius 70 km dari stasiun pemancar. Baru di kedua kota
besar itulah -- dan sebentar lagi Medan --sistem komunikasi
radio pager dipakai.
Di Surabaya dan Jakarta pemakaian jasa radio pager (pada
frekuensi 148. 700, dan 150.175 MHz) diselenggarakan, serta
merupakan monopoli PT Motorollain Corporation. Hanya pada
perusahaan inilah, tentu saja, calon pelanggan bisa memperoleh
rad io pager--merk NEC seberat sekitar 145 gram--seharga Rp 275
ribu sebuah, dengan uang langganan Rp 17.500 (Jakarta), dan Rp
15 ribu (Surabaya) sebulan. Melalui stasiun radio perusahaan itu
pula, segala macam pesan yang hendak disampaikan ke pemegang
radio pager--dengan menyebut nomornya -- dikirimkan lebih dulu
lewat telepon. Tak lama kemudian, pesan yang sudah dicatat
operator, ditembakkan lewat pemancar.
Dengan demikian, menurut Syarifuddin, Kepala Direktorat
Pengendalian Frekuensi, Ditjen Pos dan Telekomunikasi, radio
pager bukan merupakan Saingan telepon. Bahkan kehadiran alat itu
dianggapnya mendatangkan "keuntungan ganda" buat Perumtel.
Pertama, Perumtel memperoleh pembayaran pemakaian frekuensi
(sebesar 10% dari jumlah seluruh uang langganan selama sebulan).
Kedua, Perumtel memperoleh biaya pemakaian pulsa telepon yang
digunakan untuk menyampaikan pesan kepada pemegang radio pager.
Sekalipun kehadirannya menguntungkan, Perumtel melarang
pengelola jasa radio pager menyertakan repeater yang
memungkinkan pesan yang ditembakkan dari stasiun pemancar
menjangkau sasaran (wilayah) lebih jauh lagi. Kenapa? Sebab
dengan cara itu, pesan dari Jakarta bisa diterima pemegang radio
pager yang berada di Bandung. Dan hal itu tentu akan berakibat
mengurangi pemakaian pulsa hubungan telepon jarak jauh.
Banyakkah peminat perlengkapan itu? Di Surabaya, sejak
diperkenalkan dua tahun lalu, sudah 700 radio pager terjual.
Sementara di Jakarta, yang mengenalnyalebih awal, terjual 1.300
buah. Selain dokter, perlengkapan itu juga dipakai oleh sejumlah
pejabat, pengusaha,petugas lapangan, dan sebagian kecil
wartawan. Lewat alat bantu inilah pirnpinan koran mingguan
memorandum, Surabaya, misalnya, sering memberikan penugasan
kepada wartawannya untuk meliput peristiwa di suatu tempat
dengan cepat.
Walaupun bermanfaat, radio pager sering juga mengganggu
pemiliknya. Nuke Mayasaphira dari majalah Aktuil, Jakarta,
misalnya, dinihari pernah terbangun oleh nada panggil dari
pesawat itu. Seseorang memberitahukan kepadanya bahwa Nasir,
temannya, sedang coma di RSAL, Jakarta, dan memerlukan
pertolongan segera. Merasa tidak punya kenalan bernama Nasir,
Nuke tidak memenuhi permintaan tadi. Tapi radio pager-nya tetap
mengeluarkan nada panggil sampai tiga kali paa dini hari itu.
"Mungkin pengirim pesan salah nomor," kata Nuke. "Namun
akibatnya, saya semalaman jadi susah tidur."
Kendati demikian, permintaan akan benda kecil mungil itu
cenderung meningkat. Ketika diperkenalkan (1976) di Jakarta,
radio pager semula hanya mengeluarkan nada (tone) panggil: "Tit
. . . tit, . . . tit." Sesudah mendengar nada panggil seperti
itu, si pemakai biasanya berusaha menghubungi kantornya lewat
telepon. Tapi panggilan semacam itu, dianggap kurang efektif,
dan membingungkan -- sebab penerima tidak mengetahui pesannya.
Karenanya, selama tiga tahun sesudah diperkenalkan, PT
Motorollain hanya berhasil menjual 300 buah.
Namun sesudah Perumtel mengizinkan pemakaian radio pager yang
menggunakan nada panggil, dan suara (tone and voice),
penjualannya meningkat tajam. "Panggilan dengan nada dan suara
lebih efisien," kata Ny. M.L. Hidayat, manajer umum PT
Motorollain. "Karena dengan cara itu penerima bisa mengetahui
persoalan dengan cepat."
Toh dengan segala kelebihannya itu, radio pager juga memiliki
sejumlah kelemahan. Jika pemiliknya berada dalam suatu bangunan
beton kukuh berlapis-lapis, pesan yang dirambatkan lewat
gelombang VHF (Very High Frequency) itu tidak akan mampu
mencapai pesawat penerima. Sementara itu, pihak lain -- pemilik
radio transceiver (pemancar dan penerima) yang mempunyai
frekuensi i40 - 150 MHz/2 M band misalnya--bisa juga turut
mendengar pesan yang dipancarkan. Karena itulah, pihak pengelola
tidak memperkenankan pemakai radio pager menyampaikan pesan
dengan kata-kata kotor, dan kata-kata sandi. Maklum aparat
keamanan pun juga turut mengawasi lalu lintas percakapan di
udara tersebut.
*) Baca: pe-jer, dari kata to page, memanggil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini