Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bila BBM Kian Langka

Ada isyarat harga bahan bakar minyak akan naik. sejak 1981 penggunaan BBM ada kecenderungan turun, hal tersebut mungkin disebabkan karena adanya kampanye hemat energi atau harga BBM yang naik. (ilt)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HATI-HATI! Harga bensin serta solar tarif listrik dan entah, apa lagi, akan naik tajam. Cepat atau lambat. Seberapa tajam, dan seberapa cepat. belum bisa dipastikan. Tapi peringatan kearah itu sudah pagi-pagi bisa didengar. Mula-mula dari Menteri Perdagangan ad tnterm, Bustanil Arifin. Sebagaimana disiark harian Suara Karya dari Bandung Jumat pekan lalu, Bustanil mengakui pemerintah sudah "kewalahan" memberi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dengan kata lain, pemerintah bakal tak bisa terus seperti selama ini: menyediakan dana besar untuk menjaga agar harga BBM tetap terjangkau oleh orang banyak. Bustanil memang membantah berita bahwa harga BBM akan naik. Berita itu pekan lalu mengakibatkan pemilik robil dan sepeda motor berdatangan antre ke pompa bensin di berbagai tempat. Kenaikan harga itu memang tak akan terjadi di akhir tahun ini, Insya Allah. Tapi coba kita dengar apa kata Menteri Keuangan Ali Wardhana di DPR. Jumat pekan lalu, di hadapan sejumlah wakil rakyat dalam Komisi Anggaran Belanja Negara (APBN), Ali Wardhana berkata: "Saya kira sudah wajar, bila yang memiliki kendaraan, menikmati listrik dan lainnya, diharuskan memberi sumbangan lebih besar untuk bensin atau solar dan jenis bahan bakar lainnya." Menteri Keuangan juga mengisyaratkan akan berkurangnya subsidi pemerintah buat harga BBM. Di tahun 1966 kata Menteri membandingkan, ekonomi Indonesia masih sulit, toh harga BBM tak disubsidi. Kini, setelah keadaan ekonomi membaik, dan banyak orang bisa beli mobil, motor dan kompor, justru harga BBM ditekan rendah, katanya lagi. Akibatnya pemerintah mengurangi penghasilan--bahkan sebagian dananya -- agar bisa menutup ongkos produksi BBM itu. Lama-lama "kewalahan". Maka, menjelang 1983 -- dengan anggaran baru yang defisit dan sulit-khalayak ramai sudah mulai diberi aba-aba. Maksudnya, supaya jangan kaget nanti. Yang kaget memang salah. Bukan cuma pekan lalu sebenarnya soal subsidi BBM ini diulang-ulang para pejabat ekonomi pemerintah, dengan nada cemas. Bahkan hampir 10 uhun yang silam meningkatnya penggunaan BBM sudah terasa mendesak, hingga--bersama terjadinya krisis energi -- gagasan hemat energi sudah mulai dilonurkan di kalangan pemerintah sendiri. Tentu saja puncaknya di tahun 1979. September, di Jakarta ada lokakarya konservasi energi. Lokakarya itu bertujuan mencatat berbagai masalah penghematan. Sebagai salah satu hasilnya, Desember tahu itu Menteri Pertambangan dan Energi, Subroto, meresmikan Kampanye Hemat Energi. Jalan kampanye nampaknya pelan, dan tak nampak. Tapi kemudian, April, keluar Instruksi Presiden No. 9 tahun 1982. Isinya, secara ringkas: karena masalah hemat energi merupakan satu soal nasional dan pemerintah sudah terikat melakukan penghematan, pelbagai langkah kongkrit di jawatan resmi harus dilakukan. Hasilnya? Rupanya ada juga hasilnya. Awal November lalu, dengan gembira Menteri Subroto mengungkapkan: terjadi penghematan pengeluaran hampir 332 milyar rupiah. Tahun ini, kata Menteri, konsumsi BBM dalam negeri ternyau kurang dari yang diperkirakan semula. Pernyataan itu disertai dengan angka. Ada kecenderungan konsumsi BBM menurun ujam sejak 1981. Dalam periode 1981-1982 angka konsumsi itu kurang dari angka yang diproyeksikan, yaitu 159,8 juta barrel (lihat grafik). Namun yang jadi soal ialah apakah sebenarnya konsumsi itu turun.Benarkah karena hasil Kampanye Hemat Energi? Atau karena harga BBM yang naik mengakibatkan orang jadi lebih tak boros? Auu karena perekonomian yang lesu akibat resesi, hingga pabrik-pabrik mengurangi kegiatannya-- dan bensin atau solar atau listrik yang dipakainya untuk produksi berkurang? Jawaban pertanyaan tadi tentu penting, buat jadi pertimbangan langkah nanti. Suatu penghematan yang teradi hanya gara-gara kelesuan ekonomi bisa berarti suatu penghematan semu. Setelah ekonomi berdegup lagi, "penghematan" itu akan ditinggalkan. Suatu penghematan akibat kenaikan ' harga BBM, sebaliknya, akan lebih langgeng. Dan yang pasti akan mendorong pemerintah untuk kian berani mengurangi subsidi BBM. Di daerah Cengkareng, Jakarta, ada sebuah contoh. Pabrik milik PT Sahabat Utama Embroidery Textile Industries biasanya menghasilkan 6.000 yard tekstil sehari. Sebagian besar produksi itu buat pasaran lokal. Cuma 20% buat ekspor. Kini kelesuan ekonomi mampir juga ke sana. Sejak November tahun lalu, produksinya cuma 3.000 yard sehari--turun 50%. Dengan sendirinya, pabrik yang menggunakan 17 mesin pemintal itu pun tak banyak lagi menggunakan listrik. Tapi ternyata bukan cuma kelesuan ekonomi yang menyebabkan rekening listriknya turun. Menurut Haji R. Soewandhi, asisten direktur bidang umum pabrik itu, setelah tarif listrik naik Januari lalu, "rekening listrik kami melorot jadi Rp 800 ribu sebulan." Sebelumnya: satu juta rupiah. Kenapa? Dengan naiknya tarif listrik, Sahabat Utama lebih berhati-hati dengan pemakaian tenaga yang disewa dari PLN itu. PLN, atau Perusahaan Listrik Negara, memang penyedia listrik yang utama bagi Sahabat Uuma. Buat lebih hemat lagi, sulit, karena tak ada pilihan lain yang lebih murah. Soewandhi mengatakan pabrik tempat ia bekerja memang menggunakan dua mesin pembangkit dengan kekuatan 2 KVA yang, menurut dia, lebih irit ketimbang listrik PLN. Tapi pemakaian generator dengan solar yang 6.000 liter tiap bulan itu pada dasarnya ditujukan buat mengatasi masalah servis PLN yang termasyhur: sering mati. Ada lagi contoh di Bandung. Di pabrik tekstil PT Yuntex, alasan berkurangnya penggunaan BBM bukan karena listrik mahal. "Tapi untuk mengurangi produksi," ujar O. Tanujaya, direktur produksinya. Ini terpaksa dilakukan, menurut Tanujaya pula, karena lesunya perdagangan tekstil. Enam mesin diesel yang menggerakkan peralatan tenun di pabrik itu (dan untuk penerangan), biasanya melahap 40 ribu liter minyak solar tiap bulan. Kini, menurut Tanu, pemakaian bahan bakar turun 30%. Sebab: kegiatan produksi menurun sampai 30%. Pengaruh kelesuan ekonomi juga dirasakan perusahaan angkutan Kramatjati di Bandung. Waktu operasional bis dikurangi," ujar Herman, dari bagian operasi perusahaan itu. Biasnya Kramatjati, yang punya 80 buah bis, mengoperasikan 40 sampai 50 bis tiap hari pada trayek Bandung-Jakarta-Merak. Sejak tiga bulan yang lalu hanya sekitar 30 bis yang dioperasikan. Dan tentu saja itu nampak sebagai penghematan. Jika untuk Jakarta-Bandung pulang-pergi sebuah bis menghabiskan 300 liter solar, berkurangnya 10 bis yang dipergunakan akan berarti "penghematan" 3.000 liter sehari. Dalam banyak hal, ternyau semangat hemat energi tidak lahir dari dorongan kampanye pemerintah. Menteri Subroto sendiri mengakui, berkurangnya konsumsi itu adalah akibat gabungan dua faktor. Yang pertama ialah kenaikan harga BBM sejak awal tahun dan kelesuan aktivitas ekonomi tahun ini. Kampanye nampaknya hanya menjangkau kantor-kantor resmi. Itu pun dengan efek yang benar-benar minimal. Gedung BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan, Teknologi), kantornya Menteri Riset dan Teknologi, yang berupa gedung bertingkat di Jalan Husni Thamrin, Jakarta, bahkan belum disentuh oleh kampanye itu sedikit pun. Baik bagian perlengkapan umum maupun bagian hubungan masyarakat menyatakan tak tahu menahu tentang program kampanye hemat energi itu. "Yang pernah dikampanyekan di sini ialah penghematan pemakaian telepon," kata seorang petugas hubungan masyarakatnya. Di Departemen Pekerjaan Umum usaha sudah dimulai. Jatah bensin dan solar dikurangi sekitar 20 sampai 30% untuk kendaraan dinas. Di tiap ruangan dipasang meter untuk mencatat penggunaan listrik. Alat AC dimatikan bila tak dipakai, juga lampu. Tapi, seperti diakui dengan jujur oleh Joko Sularto dari Inspektorat Jenderal Departemen PU, belum tampak ada perubahan. Direktur Tata Bangunan Dit-Jen Cipta Karya, Haryo Sabrang, juga mengakui itu. "Kami masih dalam tahap mengintroduksikan," katanya. Yang menarik ialah hasil gerakan hemat energi yang dimulai di Departemen PU sejak Agustus yang lalu justru berakibat terbalik: penggunaan energi naik jadi 4%. Sebabnya? "Rupanya masih banyak yang lupa mematikan lampu wakN siang hari," ujar Joko Sularto setengah berkelakar. Bagi kantor-kantor pemerintah--dengan disiplin yang ternyata belum baik benar -- hemat energi memang bukan soal pilihan antara bangkit dan pailit. Kabar yang agak unik cuma dari Yogya. Bahkan jauh sebelum kampanye hemat-hematan, di kantor pemerintah Daerah Istimewa itu cuma disediakan dua ruang yang ber-AC, yakni kantor Paku Alam VIII, orang pertama setelah Sri Sultan Elamengkubuwono dan kantor Sek-Wil-Da. Siang hari semua penerangan harus mati. Kendaraan dinas untuk kepala bagian ke bawah dihimpun di Dinas Lalu Lint?s Angkutan Jalan Raya (DLLJR). Alasannya? "Provinsi kami miskin," kata Sudomo Sunaryo, Kepala Biro Humas dan Protokol dari Pemda Yogya. "Kami terpaksa berhemat." Tak semua kalangan bisa menyatakan diri miskin. Tak semua bisa menekan penggunaan BBM sekecil-kecilnya. Yang jelas sukar melakukannya adalah hoteIhotel mewah. Di hotel-hotel jenis ini, pemakaian listrik bukan main. Dan bila diingat bahwa 5% listrik di Indonesia masih dibangkitkan dengan bahan bakar minyak, dapat dibayangkan betapa banyaknya peran hotel-hotel ini -- sebagai bagian dari industri pariwisata yang diharapkan menanjak -- mengkonsumsikan BBM dengan wajahnya yang berkilau-kilau. Untuk menunjang kenyamanan Hotel Borobudur, Jakarta, diperlukan tiap bulan sekitar 1.500 ribu kwh. Lebih 50% dari kekuatan itu dipakai menjalankan S6 unit AC sentral dan ratusan AC di kamar masing-masing yang berjumlah 66 buah. Di Hotel Indonesia, keadaan hampir serupa. Tiap bulan hotel internasional tertua di Indonesia ini menggunakan 1.300 ribu kwh listrik. Sekitar 80% dari jumlah itu berasal dari PLN, sisanya dibangkitkan sendiri dengan generator diesel. Bagaimana menghemat? Di hotel-hotel di Singapura, ada alat khusus, yang menyebabkan lampu kamar seluruhnya mati bila dikunci dari luar. Di Indonesia ini nampaknya belum dilakukan. Toh keharusan menghemat kian terasa menekan. Hotel Sari Pacific yang megah di Jalan Thamrin, Jakarta, misalnya enam tahun yang lalu hanya membayar kepada PLN Rp 16 juta sebulan. "Kini sering lebih dari Rp 30 juta," kata Jack Titaley, Asisten Kepala Engineer ing hotel itu. Untuk menjaga angka itu tak lebih melonjak, hotel tadi tak menganjurkan agar para tam berhemat energi -- meskipun tiap bilik dari hotel yang pun 500 kamar itu makan listrik 600 watt. Yang dilakukan ialah mengatur secara otomatis agar lampu beberapa bagian tertentu, misalnya, taman, mati di saat-saat tertentu. Kemegahan dan rasa nyaman, apa boleh buat, di zaman ini memang memerlukan listrik. Dan artinya BBM. Kesalahpahaman yang sering timbul ialah penghematan BBM dengan serta merta diartikan sebagai penghematan penggunaan listrik secara menyeluruh. Bagaimana penghematan itu bisa terjadi bila pemerintah pun -- seraya berseru hemat listrik - juga memasukkan listrik ke desa? Listrik ke desa tentu saja perlu. Tiap penduduk Indonesia dewasa ini masih hanya menikmati lampu sebesar 8 watt rata-rata, sepanjang tahun. Dibandingkan dengan penduduk Malaysia, yang bisa menikmati lampu 67 watt rata-rata per kapita. Indonesia jelas masih dalam babakan suram. Melihat itu, penghematan BBM tak dengan sendirinya berarti harus penghematan listrik. Memang, kampanye hemat energi dewasa ini sasaran pentingnya adalah barang dagangan PLN itu. Tapi soalnya akan lain bila pembangkit listrik tidak sebagian besar berasal dari bahan bakar minyak--suatu hal yang tengah diusahakan pemerintah kini. Seperti dikatakan Dr. Semaun Samadikun, Dir-Jen Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi. "Pada akhir Pelita IV nanti penggunaan BBM unuk listrik hanya 40 sampai 50%. Itu cuma salah satu usaha, bagaimana Indonesia perlu bebas dari jeratan BBM yang mulai kian terasa sekarang. Kalau tidak, akibatnya sanat berat. Penghematan pemakaian BBM di dalam negeri bukan cuma untuk mengurangi subsidi --yang tiap tahun suah meningkat tapi pasti akan dikurangi (lihat grafik), bahkan dicabut pelan-pelan tapi juga agar produksi minyak yang ada cukup juga buat ekspor. Menurut perhitungan, bila laju konsumsi BBM dari tahun ke tahun 10%, dalam waktu kurang dari 15 tahun tak akan terasa lagi jatah yang buat dijual ke luar. Yang jadi pertanyaan, tentu, sejauhmana kecenderungan menurunnya konsumsi BBM yang disebut Menteri Subroto akan menghasilkan suatu cara penggunaan BBM yang lebih rasional. Mungkin naiknya harga BBM akan mengajar tiap kosumen ke arah sikap yang lebih efisien. Tentu dengan biaya yang pahit. Biaya yang paling pahit pastilah tidak dalam bentuk rupiah, tapi dalam rasa keadilan. Sementara kenaikan harga BBM akan bisa berakibat kian leluasanya pemerintah menggunakan dananya untuk pembangunan (tak cuma buat subsidi energi), perstiwa itu pertama-tama akan memukul lapisan terbawah. Yang justru miskin energi. Di lapisari atas, naiknya harga BBM memang cukup memukul, tapi hantamannya masih tertahankan. Ambillah contoh sebuah rumah di Jakarta. Bangunan itu bertingkat, berkolam renang dan terletak di tengah kebun bunga. Sebuah alat pendingin sentral dipasang buat menyejukkan tiap ruang. Dengan AC, lampu-lampu rumah dan lampu taman, dengan alat listrik di dapur dan pompa air untuk kolam renang, sang nyonya rumah membayar tiap bulannya Rp 400 ribu buat listrik. Kini dia menghemat, sedikit-sedikit. Tapi dialah salah satu dari segelintir ibu rumahtangga yang berhemat karena anjuran pemerintah - bukan karena takut bangkrut. Kepala sama berbulu, rekening berlainan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus