HATI-HATI! Harga bensin serta solar tarif listrik dan entah, apa
lagi, akan naik tajam. Cepat atau lambat. Seberapa tajam, dan
seberapa cepat. belum bisa dipastikan. Tapi peringatan kearah
itu sudah pagi-pagi bisa didengar.
Mula-mula dari Menteri Perdagangan ad tnterm, Bustanil Arifin.
Sebagaimana disiark harian Suara Karya dari Bandung Jumat pekan
lalu, Bustanil mengakui pemerintah sudah "kewalahan" memberi
subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dengan kata lain, pemerintah
bakal tak bisa terus seperti selama ini: menyediakan dana besar
untuk menjaga agar harga BBM tetap terjangkau oleh orang banyak.
Bustanil memang membantah berita bahwa harga BBM akan naik.
Berita itu pekan lalu mengakibatkan pemilik robil dan sepeda
motor berdatangan antre ke pompa bensin di berbagai tempat.
Kenaikan harga itu memang tak akan terjadi di akhir tahun ini,
Insya Allah. Tapi coba kita dengar apa kata Menteri Keuangan Ali
Wardhana di DPR.
Jumat pekan lalu, di hadapan sejumlah wakil rakyat dalam Komisi
Anggaran Belanja Negara (APBN), Ali Wardhana berkata: "Saya kira
sudah wajar, bila yang memiliki kendaraan, menikmati listrik dan
lainnya, diharuskan memberi sumbangan lebih besar untuk bensin
atau solar dan jenis bahan bakar lainnya."
Menteri Keuangan juga mengisyaratkan akan berkurangnya subsidi
pemerintah buat harga BBM. Di tahun 1966 kata Menteri
membandingkan, ekonomi Indonesia masih sulit, toh harga BBM tak
disubsidi. Kini, setelah keadaan ekonomi membaik, dan banyak
orang bisa beli mobil, motor dan kompor, justru harga BBM
ditekan rendah, katanya lagi. Akibatnya pemerintah mengurangi
penghasilan--bahkan sebagian dananya -- agar bisa menutup ongkos
produksi BBM itu. Lama-lama "kewalahan".
Maka, menjelang 1983 -- dengan anggaran baru yang defisit dan
sulit-khalayak ramai sudah mulai diberi aba-aba. Maksudnya,
supaya jangan kaget nanti.
Yang kaget memang salah. Bukan cuma pekan lalu sebenarnya soal
subsidi BBM ini diulang-ulang para pejabat ekonomi pemerintah,
dengan nada cemas. Bahkan hampir 10 uhun yang silam meningkatnya
penggunaan BBM sudah terasa mendesak, hingga--bersama terjadinya
krisis energi -- gagasan hemat energi sudah mulai dilonurkan di
kalangan pemerintah sendiri.
Tentu saja puncaknya di tahun 1979. September, di Jakarta ada
lokakarya konservasi energi. Lokakarya itu bertujuan mencatat
berbagai masalah penghematan. Sebagai salah satu hasilnya,
Desember tahu itu Menteri Pertambangan dan Energi, Subroto,
meresmikan Kampanye Hemat Energi.
Jalan kampanye nampaknya pelan, dan tak nampak. Tapi kemudian,
April, keluar Instruksi Presiden No. 9 tahun 1982. Isinya,
secara ringkas: karena masalah hemat energi merupakan satu soal
nasional dan pemerintah sudah terikat melakukan penghematan,
pelbagai langkah kongkrit di jawatan resmi harus dilakukan.
Hasilnya? Rupanya ada juga hasilnya. Awal November lalu, dengan
gembira Menteri Subroto mengungkapkan: terjadi penghematan
pengeluaran hampir 332 milyar rupiah. Tahun ini, kata Menteri,
konsumsi BBM dalam negeri ternyau kurang dari yang diperkirakan
semula.
Pernyataan itu disertai dengan angka. Ada kecenderungan konsumsi
BBM menurun ujam sejak 1981. Dalam periode 1981-1982 angka
konsumsi itu kurang dari angka yang diproyeksikan, yaitu 159,8
juta barrel (lihat grafik).
Namun yang jadi soal ialah apakah sebenarnya konsumsi itu
turun.Benarkah karena hasil Kampanye Hemat Energi? Atau karena
harga BBM yang naik mengakibatkan orang jadi lebih tak boros?
Auu karena perekonomian yang lesu akibat resesi, hingga
pabrik-pabrik mengurangi kegiatannya-- dan bensin atau solar
atau listrik yang dipakainya untuk produksi berkurang?
Jawaban pertanyaan tadi tentu penting, buat jadi pertimbangan
langkah nanti. Suatu penghematan yang teradi hanya gara-gara
kelesuan ekonomi bisa berarti suatu penghematan semu. Setelah
ekonomi berdegup lagi, "penghematan" itu akan ditinggalkan.
Suatu penghematan akibat kenaikan ' harga BBM, sebaliknya, akan
lebih langgeng.
Dan yang pasti akan mendorong pemerintah untuk kian berani
mengurangi subsidi BBM. Di daerah Cengkareng, Jakarta, ada
sebuah contoh. Pabrik milik PT Sahabat Utama Embroidery Textile
Industries biasanya menghasilkan 6.000 yard tekstil sehari.
Sebagian besar produksi itu buat pasaran lokal. Cuma 20% buat
ekspor. Kini kelesuan ekonomi mampir juga ke sana. Sejak
November tahun lalu, produksinya cuma 3.000 yard sehari--turun
50%.
Dengan sendirinya, pabrik yang menggunakan 17 mesin pemintal itu
pun tak banyak lagi menggunakan listrik. Tapi ternyata bukan
cuma kelesuan ekonomi yang menyebabkan rekening listriknya
turun. Menurut Haji R. Soewandhi, asisten direktur bidang umum
pabrik itu, setelah tarif listrik naik Januari lalu, "rekening
listrik kami melorot jadi Rp 800 ribu sebulan." Sebelumnya: satu
juta rupiah. Kenapa? Dengan naiknya tarif listrik, Sahabat Utama
lebih berhati-hati dengan pemakaian tenaga yang disewa dari PLN
itu.
PLN, atau Perusahaan Listrik Negara, memang penyedia listrik
yang utama bagi Sahabat Uuma. Buat lebih hemat lagi, sulit,
karena tak ada pilihan lain yang lebih murah. Soewandhi
mengatakan pabrik tempat ia bekerja memang menggunakan dua mesin
pembangkit dengan kekuatan 2 KVA yang, menurut dia, lebih irit
ketimbang listrik PLN. Tapi pemakaian generator dengan solar
yang 6.000 liter tiap bulan itu pada dasarnya ditujukan buat
mengatasi masalah servis PLN yang termasyhur: sering mati.
Ada lagi contoh di Bandung. Di pabrik tekstil PT Yuntex, alasan
berkurangnya penggunaan BBM bukan karena listrik mahal. "Tapi
untuk mengurangi produksi," ujar O. Tanujaya, direktur
produksinya. Ini terpaksa dilakukan, menurut Tanujaya pula,
karena lesunya perdagangan tekstil.
Enam mesin diesel yang menggerakkan peralatan tenun di pabrik
itu (dan untuk penerangan), biasanya melahap 40 ribu liter
minyak solar tiap bulan. Kini, menurut Tanu, pemakaian bahan
bakar turun 30%. Sebab: kegiatan produksi menurun sampai 30%.
Pengaruh kelesuan ekonomi juga dirasakan perusahaan angkutan
Kramatjati di Bandung. Waktu operasional bis dikurangi," ujar
Herman, dari bagian operasi perusahaan itu. Biasnya Kramatjati,
yang punya 80 buah bis, mengoperasikan 40 sampai 50 bis tiap
hari pada trayek Bandung-Jakarta-Merak. Sejak tiga bulan yang
lalu hanya sekitar 30 bis yang dioperasikan.
Dan tentu saja itu nampak sebagai penghematan. Jika untuk
Jakarta-Bandung pulang-pergi sebuah bis menghabiskan 300 liter
solar, berkurangnya 10 bis yang dipergunakan akan berarti
"penghematan" 3.000 liter sehari.
Dalam banyak hal, ternyau semangat hemat energi tidak lahir dari
dorongan kampanye pemerintah. Menteri Subroto sendiri mengakui,
berkurangnya konsumsi itu adalah akibat gabungan dua faktor.
Yang pertama ialah kenaikan harga BBM sejak awal tahun dan
kelesuan aktivitas ekonomi tahun ini.
Kampanye nampaknya hanya menjangkau kantor-kantor resmi. Itu pun
dengan efek yang benar-benar minimal.
Gedung BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan, Teknologi),
kantornya Menteri Riset dan Teknologi, yang berupa gedung
bertingkat di Jalan Husni Thamrin, Jakarta, bahkan belum
disentuh oleh kampanye itu sedikit pun. Baik bagian perlengkapan
umum maupun bagian hubungan masyarakat menyatakan tak tahu
menahu tentang program kampanye hemat energi itu. "Yang pernah
dikampanyekan di sini ialah penghematan pemakaian telepon," kata
seorang petugas hubungan masyarakatnya.
Di Departemen Pekerjaan Umum usaha sudah dimulai. Jatah bensin
dan solar dikurangi sekitar 20 sampai 30% untuk kendaraan dinas.
Di tiap ruangan dipasang meter untuk mencatat penggunaan
listrik. Alat AC dimatikan bila tak dipakai, juga lampu. Tapi,
seperti diakui dengan jujur oleh Joko Sularto dari Inspektorat
Jenderal Departemen PU, belum tampak ada perubahan. Direktur
Tata Bangunan Dit-Jen Cipta Karya, Haryo Sabrang, juga mengakui
itu. "Kami masih dalam tahap mengintroduksikan," katanya.
Yang menarik ialah hasil gerakan hemat energi yang dimulai di
Departemen PU sejak Agustus yang lalu justru berakibat terbalik:
penggunaan energi naik jadi 4%. Sebabnya? "Rupanya masih banyak
yang lupa mematikan lampu wakN siang hari," ujar Joko Sularto
setengah berkelakar.
Bagi kantor-kantor pemerintah--dengan disiplin yang ternyata
belum baik benar -- hemat energi memang bukan soal pilihan
antara bangkit dan pailit. Kabar yang agak unik cuma dari Yogya.
Bahkan jauh sebelum kampanye hemat-hematan, di kantor pemerintah
Daerah Istimewa itu cuma disediakan dua ruang yang ber-AC, yakni
kantor Paku Alam VIII, orang pertama setelah Sri Sultan
Elamengkubuwono dan kantor Sek-Wil-Da. Siang hari semua
penerangan harus mati. Kendaraan dinas untuk kepala bagian ke
bawah dihimpun di Dinas Lalu Lint?s Angkutan Jalan Raya
(DLLJR). Alasannya? "Provinsi kami miskin," kata Sudomo
Sunaryo, Kepala Biro Humas dan Protokol dari Pemda Yogya. "Kami
terpaksa berhemat."
Tak semua kalangan bisa menyatakan diri miskin. Tak semua bisa
menekan penggunaan BBM sekecil-kecilnya. Yang jelas sukar
melakukannya adalah hoteIhotel mewah.
Di hotel-hotel jenis ini, pemakaian listrik bukan main. Dan bila
diingat bahwa 5% listrik di Indonesia masih dibangkitkan dengan
bahan bakar minyak, dapat dibayangkan betapa banyaknya peran
hotel-hotel ini -- sebagai bagian dari industri pariwisata yang
diharapkan menanjak -- mengkonsumsikan BBM dengan wajahnya yang
berkilau-kilau.
Untuk menunjang kenyamanan Hotel Borobudur, Jakarta, diperlukan
tiap bulan sekitar 1.500 ribu kwh. Lebih 50% dari kekuatan itu
dipakai menjalankan S6 unit AC sentral dan ratusan AC di kamar
masing-masing yang berjumlah 66 buah.
Di Hotel Indonesia, keadaan hampir serupa. Tiap bulan hotel
internasional tertua di Indonesia ini menggunakan 1.300 ribu kwh
listrik. Sekitar 80% dari jumlah itu berasal dari PLN, sisanya
dibangkitkan sendiri dengan generator diesel.
Bagaimana menghemat? Di hotel-hotel di Singapura, ada alat
khusus, yang menyebabkan lampu kamar seluruhnya mati bila
dikunci dari luar. Di Indonesia ini nampaknya belum dilakukan.
Toh keharusan menghemat kian terasa menekan. Hotel Sari Pacific
yang megah di Jalan Thamrin, Jakarta, misalnya enam tahun yang
lalu hanya membayar kepada PLN Rp 16 juta sebulan. "Kini sering
lebih dari Rp 30 juta," kata Jack Titaley, Asisten Kepala
Engineer ing hotel itu.
Untuk menjaga angka itu tak lebih melonjak, hotel tadi tak
menganjurkan agar para tam berhemat energi -- meskipun tiap
bilik dari hotel yang pun 500 kamar itu makan listrik 600 watt.
Yang dilakukan ialah mengatur secara otomatis agar lampu
beberapa bagian tertentu, misalnya, taman, mati di saat-saat
tertentu.
Kemegahan dan rasa nyaman, apa boleh buat, di zaman ini memang
memerlukan listrik. Dan artinya BBM. Kesalahpahaman yang sering
timbul ialah penghematan BBM dengan serta merta diartikan
sebagai penghematan penggunaan listrik secara menyeluruh.
Bagaimana penghematan itu bisa terjadi bila pemerintah pun --
seraya berseru hemat listrik - juga memasukkan listrik ke desa?
Listrik ke desa tentu saja perlu. Tiap penduduk Indonesia dewasa
ini masih hanya menikmati lampu sebesar 8 watt rata-rata,
sepanjang tahun. Dibandingkan dengan penduduk Malaysia, yang
bisa menikmati lampu 67 watt rata-rata per kapita. Indonesia
jelas masih dalam babakan suram.
Melihat itu, penghematan BBM tak dengan sendirinya berarti harus
penghematan listrik. Memang, kampanye hemat energi dewasa ini
sasaran pentingnya adalah barang dagangan PLN itu. Tapi soalnya
akan lain bila pembangkit listrik tidak sebagian besar berasal
dari bahan bakar minyak--suatu hal yang tengah diusahakan
pemerintah kini. Seperti dikatakan Dr. Semaun Samadikun, Dir-Jen
Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi. "Pada akhir
Pelita IV nanti penggunaan BBM unuk listrik hanya 40 sampai
50%.
Itu cuma salah satu usaha, bagaimana Indonesia perlu bebas dari
jeratan BBM yang mulai kian terasa sekarang. Kalau tidak,
akibatnya sanat berat.
Penghematan pemakaian BBM di dalam negeri bukan cuma untuk
mengurangi subsidi --yang tiap tahun suah meningkat tapi pasti
akan dikurangi (lihat grafik), bahkan dicabut pelan-pelan tapi
juga agar produksi minyak yang ada cukup juga buat ekspor.
Menurut perhitungan, bila laju konsumsi BBM dari tahun ke tahun
10%, dalam waktu kurang dari 15 tahun tak akan terasa lagi jatah
yang buat dijual ke luar.
Yang jadi pertanyaan, tentu, sejauhmana kecenderungan menurunnya
konsumsi BBM yang disebut Menteri Subroto akan menghasilkan
suatu cara penggunaan BBM yang lebih rasional. Mungkin naiknya
harga BBM akan mengajar tiap kosumen ke arah sikap yang lebih
efisien. Tentu dengan biaya yang pahit.
Biaya yang paling pahit pastilah tidak dalam bentuk rupiah,
tapi dalam rasa keadilan. Sementara kenaikan harga BBM akan
bisa berakibat kian leluasanya pemerintah menggunakan dananya
untuk pembangunan (tak cuma buat subsidi energi), perstiwa itu
pertama-tama akan memukul lapisan terbawah. Yang justru miskin
energi.
Di lapisari atas, naiknya harga BBM memang cukup memukul, tapi
hantamannya masih tertahankan. Ambillah contoh sebuah rumah di
Jakarta. Bangunan itu bertingkat, berkolam renang dan terletak
di tengah kebun bunga. Sebuah alat pendingin sentral dipasang
buat menyejukkan tiap ruang.
Dengan AC, lampu-lampu rumah dan lampu taman, dengan alat
listrik di dapur dan pompa air untuk kolam renang, sang nyonya
rumah membayar tiap bulannya Rp 400 ribu buat listrik. Kini dia
menghemat, sedikit-sedikit. Tapi dialah salah satu dari
segelintir ibu rumahtangga yang berhemat karena anjuran
pemerintah - bukan karena takut bangkrut.
Kepala sama berbulu, rekening berlainan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini