DEPARTEMEN Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon), memasuki tahun 2000, akan memperkuat angkatan darat AS dengan 5.000 helikopter baru. Badan Proyek Riset Pertahanan Lanjut (DARPA) NASA mempertimbangkan helikopter yang dapat digunakan sebagai senjata perang yang ampuh. Tentu perlu modifikasi, hingga keampuhan helikopter baru itu bisa melebihi kehebatan helikopter masa kini, seperti AH-64 Apache, "tank terbang" seberat 8 ton buatan pabrik McDonnell Douglas, yang dapat membidik tepat seekor kelinci pada malam hari. DARPA juga memperhitungkan, helikopter itu harus dapat menandingi Mi-24 Hind buatan Rusia, penyebar maut yang paling ditakuti pejuang Mujahiddin Afghanistan. Dari segi teknis, heli rancangan baru itu juga harus cukup ringan, hingga lebih lincah dari AH-1 Cobra buatan Bell, satu-satunya helikokter yang mutunya sudah teruji dalam Perang Vietnam. Persyaratan itu menuntut bahwa heli baru tersebut harus dapat terbang bagai pesawat bersayap tetap (fixed-wing aircraft) dan bermesin jet. Kedengarannya fantastis, memang. Bukankah helikopter terbang karena adanya daya angkat yang dihasilkan dari putaran baling-baling. Tapi, DARPA berani merealisasikan rancangan heli baru yang diberi nama LHX (Light Helicopter Experimental) itu. Sebagai tahap pertama, pertengahan bulan lalu, pabrik Sikorsky mulai melakukan uji terbang heli prototip Sayap-X di lapangan riset Ames-Dryden, pangkalan udara Edwards, California. Prototip Sayap-X ini sebenarnya merupakan pengembangan Sikorsky S-72, helikopter dengan baling-baling utama berdiameter 17,59 meter dan baling-baling ekor berdiameter 3,24 meter dengan kelebihan bahwa di bagian bawah badan pesawat (panjang 21,51 meter) dipasang sayap kecil. Melalui Sikorsky Sayap-X inilah proyek LHX diuji. Pengembangan LHX sendiri cukup rumit. Baling-baling utama akan tetap dipergunakan ketika pesawat tinggal landas, mendarat, maupun hovering (bertahan diam pada ketinggian tertentu). Baru setelah pesawat mencapai kecepatan 371 km per jam kerja baling-baling dihentikan. Dalam keadaan berhenti itu, fungsi baling-baling tersebut berubah menjadi sayap rentang dalam konfigurasi X, yang membentuk sudut 45. Pada keadaan seperti ini prinsip kerja heli otomatis berubah, karena pesawat langsung bisa melaju dengan kecepatan 0,8 Mach, seperti pesawat jet. Penggeraknya adalah mesin TF4-GE-400A turbofan, yang terpasang di badan pesawat. Selama transisi 30 detik, waktu yang dibutuhkan bagi perpindahan fungsi baling-baling menjadi sayap, daya angkat pesawat diperoleh dan arus angin yang mengalir melalui celah daun baling-baling. Penyerapan arus ini ilakukan oleh mesin kembar T58-GE-10, yang ditempatkan di bawah baling-baling utama. Menurut jadwal Pentagon, proyek LHX ini diharapkan selesai sebelum tahun 1995. Sebab, pada 1995, heli LHX diproyeksikan sudah memasuki jajaran pasukan tempur AS. Selain itu, dari proyek yang sama, diharapkan pula lahir LHX-Utility, helikopter transpor yang dapat mengangkut enam penumpang. Kedua versi helikopter itu hanya dikendalikan oleh seorang awak, termasuk pelayanan persenjataan, yang meliputi rudal antitank dan rudal udara ke udara. Dan, itu dimungkinkan karena pengendalian pesawat dan persenjataan dilakukan dengan komputer, yang dapat menerima perintah melalul suara pilot. Kelebihan lain, tubuh pesawat diberi lapisan tertentu, yang memungkinkan LHX menyelinap menghindari lacakan gelombang radar maupun deteksi pancaran sinar inframerah. Setahun sebelum Sikorsky mendapat kepercayaan mengembangkan proyek LHX, pabrik McDonnell Douglas mendapat tugas mengembangkan beberapa elemen LHX. Konsep pengembangan mereka muncul dalam dua arah. Pertama, program Army's Advanced Rotorcraft Technology Integration (ARTI), yang berkutat dengan masalah mencari mesin yang cocok bagi program LHX. Kedua, bersama dengan Honeywell dan Hughes Aircraft, mereka mencoba mengembangkan kokpit LHX, yang mereka sebut "kokpit kaca", kokpit berawak tunggal. Sejauh ini, program pengembangan LHX cuma bergaung di Washington. Sekutu AS di Eropa terlihat cenderung mengembangkan program LAH (Light Attack Helicopter). Masalahnya, biaya pengembangan program LHX dirasa terlalu mahal. Departemen Pertahanan AS mengeluarkan dana US$ 77 milyar untuk membiayai prototip Sikorsky Sayap-X. Selain itu, revolusi teknologi helikopter merupakan ancaman tersendiri bagi industri dirgantara Eropa Barat. Tidak seperti industri dirgantara Amerika, mereka tidak ditunjang pemerintah. Kalau mereka mau mengembangkan produk baru, biaya harus keluar dari kantung perusahaan. Pertimbangan lain, para ahli militer Eropa Barat merasa belum dapat ancaman dari kemajuan helikopter Soviet, yang telah menghadirkan Mi-28 Havoc (sejenis AH-64 Apache) dan Hocom (helikopter yang mirip dengan konsep pengembangan LHX). Tidak heran jika, saat ini, program pengembangan helikopter tempur di Eropa Barat terbatas pada proyek mempersenjatai helikopter. Toh, proyek itu pun belum memperoleh kesepakatan di antara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), terutama mengenai jenis helikopter tempur yang diandalkan menghadapi era 2000-an nanti. Terbetik kabar, angkatan darat Inggris ingin memasukkan Lynx-3, buatan Westland. Karena kemampuan Lynx-3 tak jauh beda dari Apache, anggota NATO tidak berminat. Sementara ini, negara-negara NATO agaknya cukup puas dengan kemampuan helikopter Agusta A129 Mangusta, buatan Italia. Sekalipun A129, kata mereka, terlalu kecil untuk menghadapi mandala Eropa Tengah -- medan terberat jika terjadi Perang Dunia III. Atas pertimbangan itu, Inggris dan Italia bersama perusahaan Fokker (Belanda) dan Casa (Spanyol) mencoba mengembangkan program heli Tonal (nama Dewa Perang bangsa Aztec), yang memiliki daya tempur tinggi. Sedangkan Jerman Barat dan Prancis menginginkan helikopter yang lebih canggih ketimbang PAH-2 (Panzerrabehr Hubschrauber, generasi ke-2), buatan konsorsium Jerman-Prancis. Karena alasan persyaratan dan dana, NATO, sementara ini, agaknya akan ikut menunggu kelanjutan program LHX. Agaknya, prototip ini yang bakal jadi heli tempur masa depan Amerika dan sekutu-sekutunya. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini