PERHATIAN pemerintah terhadap modal asing, rasanya, mendadak berubah bagai seorang musafir haus di tengah perjalanan panjang. Semua peraturan yang hari-hari ini keluar -- baik di bidang tata niaga, moneter, maupun penanaman modal -- seperti khusus dibuat untuk memikat calon penanam modal dari luar agar berbondong masuk ke Indonesia. Coba saja lihat ketentuan mengenai visa kunjungan usaha beberapa kali perjalanan (VKUBP), yang sebelumnya hanya berlaku untuk masa empat bulan, dan setiap kali berkunjung hanya diperbolehkan tinggal paling lama tiga minggu. Mulai pekan lalu, VKUBP itu diberlakukan untuk kunjungan berkali-kali selama 12 bulan, dengan ketentuan setiap kali berkunjung bisa tinggal di sini selama dua bulan. Dua hari sebelumnya, keluar-peraturan yang membebaskan perusahaan yang akan menerima kunjungan usahawan asing, dengan tujuan bukan untuk bekerja, dari keharusan memiliki izin kerja. Kunjungan itu bisa berbentuk peninjauan ke lapangan, melakukan perundingan, mengikuti pameran, maupun mengadakan penjajakan bisnis dengan rekan usahanya. Tapi tidak semua ketentuan yang dibuat untuk memberi kelonggaran dan memperjelas kedudukan calon penanam modal itu mudah dipahami pihak yang berkepentingan. Hiroshi Oshima, Direktur Japan External Trade Organization (Jetro) di Jakarta, misalnya, menilai ketentuan itu belum menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan tenaga kerja asing (TKA) di sini. "Tapi saya selalu menganjurkan agar pengusaha Jepang yang ke sini mengambil visa bisnis dua bulan," katanya. Yang jelas dan terang benderang maksudnya sejauh ini baru Paket Kebijaksanaan 25 Oktober, yang berusaha mengatur kembali ketentuan di bidang tata niaga, perbankan, dan penanaman modal asing. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, pemerintah kini tampak memberi kelonggaran seluasnya bagi calon penanam modal yang akan masuk ke sini. Modal asing, misalnya, sekarang bisa masuk Indonesia tanpa perlu membentuk badan usaha baru. Artinya, mereka yang telah memiliki saham di usaha patungan, atau yang sama sekali baru datang, diperbolehkan menanamkan uangnya dengan membeli saham di perusahaan nasional yang sudah berdiri. Pemilikan saham asing di perusahaan PMA yang memerlukan penambahan modal, sementara itu, bisa dinaikkan sampai 95% jika pemilik saham nasional dianggap tidak mampu meningkatkan bagian sahamnya. Tapi, secara bertahap, pemilikan saham nasional di perusahaan PMA itu harus dikembalikan ke perbandingan semula dalam jangka waktu lima tahun. Dalam hal saham nasional semula porsinya kurang dari 51%, maka usaha mengembalikan pemilikan saham itu ke angka semula dilakukan dalam jangka sepuluh tahun. Dengan demikian, usaha menaikkan saham nasional menjadi pemilik mayoritas lewat program Indonesianisasi tidak lagi harus dilakukan tepat 10 tahun setelah PMA itu beroperasi. Harus diakui, Keputusan Ketua BKPM 25 Oktober itu memang lebih maju dibandingkan dengan UU No. I tahun 1967, dan UU No. 11 tahun 1970, serta ketentuan pelengkapnya kemudian yang mengatur usaha PMA di sini. "Bagi rekan usaha nasional waktu lima tahun itu saya kira cukup digunakan untuk menghimpunkan dana hingga memungkinkan mereka memperbesar bagiannya," kata Sanyoto Sastrowardoyo, Wakil Ketua BKPM. Iklim baru rupanya dibuat BKPM dengan memperlonggar program Indonesianisasi. Tidak seperti dugaan banyak kalangan, program memperbesar saham pengusaha lokal itu ternyata berjalan tidak mulus gara-gara pemegang saham nasionalnya kekurangan uang. Karena menghadapi persoalan kelangkaan uang itulah, separuh lebih dari 30 perusahaan PMA tahun ini gagal melakukan program Indonesianisasi. Nah, untuk mengatasi kemacetan itu, BKPM lalu memberi kesempatan modal asing masuk ke situ. Jika setelah masa perpanjangan lima tahun itu pengusaha nasional tetap belum mampu memperbesar bagiannya, bagian saham yang seharusnya dibeli mitra lokal itu bisa diambil alih lembaga keuangan nonbank. Tapi lembaga ini hanya boleh memegang selama lima tahun lagi. Setelah itu harus dijual kepada pengusaha lain atau dilego ke bursa. Memang, dengan beleid 25 Oktober itu, komposisi saham nasional di perusahaan PMA yang harus mengekspor produksinya tadi suatu ketika bisa tinggal 5% -- suatu hal yang tak akan terjadi bila UU dan peraturan mengenai PMA terdahulu dilaksanakan secara ketat. Sebab, memang pengusaha lokalnya lemah. "Sampai hari ini belum ada yang mengajukan keberatan, dan saya berharap tak perlu ada," ujar Wakil Ketua BKPM Sanyoto. Pengusaha asing mana yang pernah bermimpi BKPM memberi kelonggaran begitu luas dalam program Indonesianisasi dengan memberl kesempatan mereka jadi pemegang saham mayoritas untuk masa lima sampai sepuluh tahun lagi? "Pada hakikatnya, memang banyak pengusaha Jepang tak suka kalau perusahaan PMA mereka dipegang rekan usaha lokal -- khawatir perusahaan akan kehilangan inisiatif dan sulit berkembang," kata Hiroshi Takeda, Direktur Jetro Jakarta. Bukan hanya itu sesungguhnya kemudahan yang disediakan untuk menciptakan iklim baru bagi PMA. Dengan paket kebijaksanaan 25 Oktober, mereka kini diberi hak sama dengan PMDN dalam memperoleh kredit untuk membiayai kegiatan ekspornya. Sebelumnya mereka hanya bisa mengambil kredit ekspor itu sebesar 70%, sejak itu mereka bisa memperoleh 85% dari seluruh kebutuhannya ke bank devisa. Dan untuk mencegah perusahaan PMA tersodok kerugian akibat perubahan kurs, mereka kini boleh sekenyang-kenyangnya memanfaatkan fasilitas swap -- kombinasi dari tindakan membeli/menjual valuta asing secara tunai (spot) dan menjual/membelinya kembali secara berjangka (forward contract). Artinya, usaha men-swap-kan utang valuta asing kini tak lagi dibatasi pagu, asal mereka mampu dan mau membayar preminya yang tinggi. Hiroaki Okubo, Presiden Direktur Century Textile Industry, jelas senang sekali melihat kelonggaran baru di bidang moneter itu. Bila tampak tanda-tanda rupiah kelak akan mengalami depresiasi hebat, Okubo tentu akan cepat menubruk fasilitas itu, untuk membentengi utang valuta asing perusahaannya yang kini US$ 1,5 juta. "Tapi perlu ada jaminan dari bank, nantinya, agar preminya tidak memberatkan," katanya. Lalu, supaya perusahaan PMA yang sudah beroperasi di sini tidak merasa makin terjepit setelah devaluasi, tata niaga dan ketentuan tarif ratusan bahan baku dan penolong impor diperlonggar. Sejumlah 59 bahan baku dan penolong impor yang tarifnya semula 5% sampai 30% kini tak dikenai bea masuk sama sekali. Kemudian bea masuk bagi 94 bahan baku dan penolong impor yang sebelumnya dikenai 10% sampai 40% diturunkan jadi 5%. Usaha membentengi mereka dengan sistem kuota dan penunjukan importir tertentu, ternyta, diduga malah menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Memang, belum semua beleid itu bisa menyenangkan semua pihak, termasuk Wim Kalona yang banyak mendirikan industri farmasi yang paling royal memakan bahan penolong impor. "Lha, kalau devaluasinya saja sampai 45%, penurunan bea masuk dari 5% ke nol persen itu 'nggak ada artinya. Bagaimana harga obat tidak mau naik" katanya, agak ngilu. Apa pun kritik pengusaha nasional terhadap beleid 25 Oktober itu, banyak pengusaha Jepang menganggap paket tadi sebagai perubahan besar sikap pemerintah Indonesia dalam memandang modal asing. Arah yang ingin ditujunya lebih jelas dibandingkan dengan Paket Enam Mei (Pakem) -- yang masih begitu repot membagi-bagi berapa saham nasional seharusnya ditetapkan dalam perusahaan PMA. Yang menarik, supaya PMA itu tidak "menerbangkan" sebagian atau seluruh keuntungannya, dengan Pakem mereka diberi kesempatan menanamkan kembali labanya ke sektor usaha lain. Maklum jika diperhatikan perbandingan antara modal yang masuk dan angka repatriasi laba PMA belakangan ini, harganya malah lebih besar yang pulang kandang (lihat Keuntungan yang Terbang Keluar dan Modal yang Masuk). Jadi, jangan kaget kalau Singer, yang biasanya dikenal hanya menghasilkan mesin jahit, kini juga membikin lemari es dan kipas angin. Kesempatan mereinvestasikan laba itu terbuka lebar setelah Pakem memberi lowongan PMA bisa masuk ke 926 bidang usaha sementara sebelumnya baru ke 475 bidang usaha. Sayang, memang, bila hasil usaha di sini itu setiap tahun dipulangkan ke induk perusahaan. Jadi, supaya dolar tadi tidak lari apa boleh buat, industri sepatu yang semula ditimang-timang, misalnya, kini dibuka bagi PMA. Dan supaya mereka bisa berusaha dengan tenteram, izin usaha perusahaan PMA itu, sebelum habis berumur 30 tahun, bisa diperpanjang lagi. Cukup nyaman, 'kan? Apalagi ditambah dengan Paket 25 Oktober, kurang apa lagi konsesi yang diberikan bagi PMA? "Tapi pengusaha Jepang masih ada yang khawatir jangan-jangan kebijaksanaan itu akan berubah lagi bila nanti Pak Ginandjar tak lagi di BKPM," ujar Hiroshi Oshima. "Saya kira memang sebaiknya semua ketentuan baru itu ditampung dalam sebuah undang-undang agar tidak mudah diubah," tambahnya. Sejauh ini memang perubahan tata cara dan persyaratan penanaman modal asing, syukur, dinilai cukup positif. Artinya, setiap kritik dan keluhan pengusaha kemudian ditanggapi dengan memberi kelonggaran kepada pemilik modal aar mudah bererak. Ruwetnya peraturan dan ketentuan pengaturan penanaman modal, misalnya, kemudian disederhanakan dengan cara meringkasi jumlah izin yang harus didapat dan menyingkat prosedur. Toh, untuk mendapat izin usaha di sini, harus diakui masih belum sesederhana seperti di Malaysia atau Singapura misalnya (lihat Musim Berganti untuk Modal Luar Negeri). Dengan segala kelebihan dan kekurangan peraturan penanam modal itu, pemerintah seperti tak jemu-jemunya berusaha membujuk agar para pemilik uang mau membuka usaha mereka di Indonesia. Beberapa kali Menteri Negara dan Ketua Bappenas Dr. J.B. Sumarlin memimpin misi kampanye penanaman modal ke Amerika dan Jepang. Segera setelah Paket 25 Oktober dikeluarkan, Ketua BKPM Ginandjar keliling ke Taiwan dan Jepang. Semua pejabat sekarang seperti berusaha menjadi salesman terbaik untuk menjual kemudahan menanamkan modal di Indonesia. Bahkan Menteri Ekuin Ali Wardhana sendiri, pekan lalu, tampil menjajakan pembaruan iklim investasi itu di pertemuan Economic Monde Forum (EMF) Foundation yang dihadiri banyak pengusaha besar luar negeri. Kampanye memang perlu dilakukan, karena Malaysia dan Singapura, misalnya, sampai perdana menterinya sendiri yang menjajakan kemudahan investasi negerinya. Mengapa semua negara di kawasan ASEAN, Asia Timur, dan Pasifik, seperti berlomba memikat modal asing? Apakah benar Indonesia betul-betul memerlukan modal asing? Semuanya akan jadi jelas bila serentetan kelonggaran investasi dan kegiatan kampanye tadi dikaitkan dengan jatuhnya harga mmyak. Iklim balk bagi penanaman modal itu, mungkin, tak akan keras diikhtiarkan seandainya tabungan pemerintah -- yang merupakan sisa dari penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin -- masih cukup besar jumlahnya. Tapi, apa mau dibilang, harga minyak, yang semula pernah US$ 28, di kuartal ketiga tahun ini pukul rata ternyata bisa berada di bawah angka US$ 10 per barel. Karena harga minyak turun, penerimaan dalam negeri, yang sebagian besar berasal dari pajak migas, ikut menciut pula. Di tengah situasi suram seperti, pengeluaran rutin ternyata malah cenderung sulit direm gara-gara angsuran utang dan gaji pegawai negeri yang harus dibayar makin besar. Akibatnya bisa ditebak: tabungan pemerintah 1986-1987 disasarkan hanya Rp 5,2 trilyun. Angka ini dengan kata lain, lebih rendah Rp 1,2 trilyun dibandingkan tabungan pemerintah tahun anggaran sebelumnya. Karena tabungan mengecil, otomatis kemampuan pemerintah membiayai investasi di pelbagai proyek dan perusahaannya jadi ikut menciut. Lalu, karena harga minyak diduga belum akan cepat sehat, kekuatan tabungan pemerintah untuk membiayai usaha investasi tak akan bertambah besar. Modal asing kemudian dilihat sebagai salah satu sumber pembiayaan investasi terbaik. Sayang, di saat potensi itu dibutuhkan, situ'asi ekonomi dunia tidak begitu baik neraca pembayaran Amerika defisit besar, yen menguat terus, dan Eropa lama dililit sembelit ekonomi. Dalam situasi seperti itu Amerika tetap dilihat sebagai lokomotif untuk menarik ekonomi dunia. Akibatnya kemudian: kebanyakan pemilik modal lalu lebih suka memilih Amerika sebagai tempat berusaha. Perusahaan Jepang yang mempunyai banyak surplus yen tak terkecuali juga mengalihkan perhatian ke sana (lihat Ke Mana Yen Ditanam). Sebuah survei yang diselenggarakan Keizai Doyukai (Organisasi Pimpinan Perusahaan) Jepang, Oktober tahun lalu, terhadap 550 perusahaan Jepang di ASEAN seolah seperti memperkuat anggapan itu. Lebih dari 60% (157 perusahaan) dari 248 perusahaan menjawab akan memilih Amerika (juga Kanada), ketika ditanya negara mana yang akan dijadikan pilihan utama untuk rencana investasi baru. ASEAN bagi mereka tinggal menduduki urutan ketiga, setelah Eropa. Mengapa Amerika? Amerika dipilih dengan alasan demi kepentingan strategi bisnis di luar negeri. Selain itu, potensi pertumbuhan pasarnya dinilai cukup tinggi. Sedangkan yang memilih Eropa lebih melihat pada potensi pertumbuhan pasarnya. Yang memilih ASEAN juga melihat serupa itu. Tapi, bila ditanya mengenai keadaan usaha mereka, jawabannya ternyata cukup beragam. Yang berusaha di Indonesia sebagian besar (46%) menjawab perlu meninjau kembali sebagian kegiatan mereka. Tapi yang berusaha di Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Brunei menyebut usaha mereka mulus saja sejauh ini. Hasil survei itu tampaknya senada dengan survei Jetro Jakarta, tahun lalu, terhadap 218 perusahaan Jepang di sini. Kalau mereka ditanya mengenai prospek usaha di sini, karena ketika itu Pakem dan Beleid 25 Oktober belum digelindingkan, hampir separuh (72 perusahaan) dari 149 perusahaan menjawab akan memelihara apa yang sudah ada. Yang menjawab akan mengurangi kegiatannya 14% atau 21 perusahaan. Stagnasi pasar di dalam negeri dan ketatnya persaingan di antara mereka memang menyebabkan hanya 48 responden (32%) yang menyatakan akan menaikkan kapasitas usaha mereka secara kecilkecilan (lihat Mau Diapakan Modal Jepang di Sini). Tapi tentu bukan karena alasan itu saja iklim investasi di sini dianggap kurang nyaman. Mereka yang ditanya bila investasinya di Indonesia diminta ditinjau kembali, menurut hasil survei Keizai Doyukai itu, juga menjawab alasan perubahan beleid pemerintah, dan menurunnya daya saing buruh serta bahan baku, sebagai sejumlah alasan utamanya. Tentang makin mahalnya harga bahan baku dan penolong impor, semua orang sudah tahu soal itu muncul gara-gara pemerintah ingin melindungi kelangsungan hidup industri hulu di sini. Menurut Mochtar Riady, bankir, kehadiran industri hulu seperti Pusat Aromatik dan Krakatau Steel itu terlalu dini. Produk bahan baku untuk industri hilir yang mereka hasilkan ternyata tidak bersaing dengan yang eks impor karena biaya investasinya mahal. "Lalu mereka minta proteksi, inilah yang membuat munculnya ekonomi biaya tinggi," katanya. Dalam situasi yang serba mepet seperti sekarang, bagi Mochtar, akan lebih baik situasinya bila pemerintah mau mendahulukan kepentingan industri hilir yang menyerap 1,7 juta pekerja dibandingkan dengan hulu yang hanya mempekerjakan 100 ribu orang. "Kalau kepentingan industri hulu dikesampingkan untuk sementara, 'kan roda perekonomian tidak akan terganggu secara keseluruhan," tambah Wakil Presiden Direktur Bank Central Asia itu. Kalaupun kadar proteksi untuk industri hulu dikurangi dengan Paket 25 Oktober, efeknya dianggap masih kecil dalam mengurangi biaya produksi. Begitu juga usaha merampingkan birokrasi perizinan, yang menurut sebuah sumber pengutip penelitian BERI SA (Amerika), tetap belum menunjukkan hasil: ongkos masih banyak keluar untuk melicinkan segala perizinan. Selain itu, menurut Direktur Bank Perkembangan Asia Priasmoro Prawiroardjo, aparat birokrasi di tingkat bawah kelihatan kurang tangkas dalam melaksanakan beleid dari pusat. "Kesenjangan ini yang menyulitkan beleid pusat dijalankan secara lancar," katanya. Calon penanam modal juga sering menghadapi banyak pungutan. "Hal seperti itulah yang harus dikurangi bila pemerintah ingin mengundang modal asing." Sudah banyak memang usaha yang dilakukan pemerintah untuk menyingkirkan penghalang itu -- termasuk mengusahakan lahirnya RUU Hak Paten. Dan untuk mengurangi harga masukan bahan baku dan penolong impor, tata niaga impor kabarnya akan lebih disederhanakan. Yang tak mungkin ditawarkan lagi, tentu, soal tax holiday yang diakui banyak pengusaha asing penting secara simbolis, sekalipun bukan hal pokok yang bisa dijadikan daya saing. Undangan sudah diedarkan. Kenyamanan sudah ditawarkan. Pada akhirnya, tinggal soal percaya atau tidak, selain aparat pelaksana yang dituntut lebih ramah menerima tamu yang terhormat: modal asing. Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini