Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan, titik panas atau hotspot di Provinsi Riau telah berkurang dibanding lima tahun lalu. Padahal sebelumnya Riau menjadi salah satu lokasi rawan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia. "Hotspot di Riau berkurang 93,9 persen pada 2023, jika dibandingkan 2019," kata Dwikorita dari keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 29 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merujuk data BMKG, Karhutla di Riau masuk dalam daftar 10 besar dalam soal luasan kebakaran dan dampaknya. Pada 2009, misalnya, luas lahan terbakar di daerah ini mencapai 120,504 hektare, turun menjadi 90,550 hektare pada 2015. Pada 2023 Karhutla di daerah ini seluas 7,267 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain di Riau, kata Dwikorita, Karhutla di Kalimantan juga turut dilaporkan menurun. Menurut dia, hotspot di Kalimantan terjadi pada rentang waktu Agustus-Oktober, namun untuk tahun lalu dan prediksinya di 2024 ini memperlihatkan penurunan dengan skala yang signifikan.
"Ini mengindikasikan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) berhasil menekan laju kenaikan hotspot pada dua pulau langganan Karhutla (Riau dan Kalimantan). Adanya delay lonjakan hotspot mengindikasikan periode kekeringan yang berhasil dipersingkat," kata Dwikorita.
Menurut Dwikorita, BMKG mulai melakukan OMC sejak 2015 lalu. Lembaga ini melakukan pengisian kubah air gambut untuk memastikan tidak terjadi kekeringan yang bisa saja memicu terjadinya kebakaran lahan. "Hotspot yang dipadamkan dengan hujan hasil OMC lebih efektif jika dibandingkan dengan upaya water bombing dan terestrial dalam mengatasi Karhutla."
Dwikorita menambahkan, pemerintah saat ini juga tengah memfokuskan modifikasi cuaca untuk memunculkan awan-awan hujan. Sebab beberapa periode iklim terakhir ditemukan adanya potensi sulitnya keberadaaan bibit awan untuk memicu hujan. Sehingga diperlukan upaya penyemaian NaCl demi terbentuknya kumpulan awan hujan tersebut.
Plt. Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG, Tri Handoko Seto menjelaskan, area karhutla di Indonesia pada tahun 2023 menurun hingga 29,6 persen jika dibandingkan 2019. Emisi karbon yang berhasil diturunkan akibat kebakaran hutan pada 2023 mencapai 70,7 persen dibandingkan 2019.
Seto menjelaskan, gambut yang terbakar tidak hanya di permukaan saja tapi hingga ke dalam. Ketika gambut terbakar semakin dalam maka asapnya akan semakin pekat dan melepaskan banyak emisi karbon. “Saat gambutnya dibasahi, maka eskalasi kebakaran mampu dikurangi intensitasnya dan emisi karbon yang dilepaskan jauh berkurang dibandingkan 2019. "Ini tentu sangat berkontribusi positif untuk upaya komitmen pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim bahwa kita mengurangi emisi karbon,” ujarnya.