LANGIT di atas Jakarta tertutup awan tebal Sabtu sore itu.
Sejumlah kecil orang sudah berkumpul di atap gedung baru (dalam
taraf pembangunan) Pusat Meteorologi dan Geofisika. Mereka --
anggota Sub Bidang Gravitasi dan Tanda Waktu, P.M.G., pimpinan
Soekarman -- semua kecewa. Teropong teodolit balon yang sudah
siap sejak siangnya akhirnya tak terpakai. Dan gerhana matahari
sebagian, jika memang melintasi Indonesia seperti diramalkan
semula, tak terlihat dan tak pula dipedulikan orang umumnya.
Tapi hari itu, 16 Februari, luar biasa sekali bagi India yang
mengalami gerhana matahari total. Banyak sarjana -- termasuk
yang dari Eropa, Amerika Serkat dan Jepang -- berkumpul di sana
untuk melakukan berbagai penelitian ilmiah yang berkaitan dengan
gerhana ini. Juga ribuan pengamat amatir, seperti pelancong,
pergi ke India. Satu biro perjalanan di New York, misalnya,
berhasil menjual tour ini. Hanya untuk melihat peristiwa alam
yang berlangsung selama 2 menit dan 42 detik di desa terpencil
Ankola, 12 jam perjalanan dari hotel mereka di Goa.
Selain penelitian internasional yang terpusat di India, sebagian
ahli sedunia berkumpul di Malindi, pantai timur Kenya, yang juga
akan dilintasi gerhana matahari. Bagi India, inilah gerhana
matahari total pertama sejak 1898. Para ahli meneliti antara
lain apa gejalanya terhadap iklim, pasien, binatang dan tanaman.
Dinas perikanan di Andhra Pradesh, suatu negara-bagian India,
bahkan mempelajari pengaruhnya terhadap perilaku ikan.
Hampir tidak ada peristiwa alam di angkasa yang begitu mencekam
seperti gerhana matahari. Burung gelisah mencari tempat
berlindung karena disangka malam tiba. Binatang lain tampak
bingung dan bunga mengatup daunnya, sementara suhu menjadi
dingin. Suasana kelam cepat menjelma. Bayangan hitam bulan,
bagaikan awan gelap raksasa, menyerbu dari arah barat dengan
kecepatan yang menakjubkan dan seketika menyelimuti pemandangan
sekeliling. Siang seakan jadi malam. Bintang dan planet di
angkasa mulai bermunculan dan matahari seperti bola hitam.
Dr. Bambang Hidayat, astronom Indonesia terkemuka ketika
menyaksikan gerhana matahari total di Australia tahun 1976
menulis: "Saya dapat mengerti mengapa orang dahulu memuja
matahari sebagai dewa, dan harus bersyukur tatkala matahari
muncul kembali dan bersinar sebagai biasa."
Berbagai suku di Afria masih memandang gerhana matahari sebagai
peristiwa menakutkan. Gerhana matahari total terjadi di Afrika
tahun 1974. Tapi yang menarik adalah pandangan suku Borona di
Kenya. Menurut mereka, gerhana matahari diatur oleh bangsa kulit
putih, karena mereka sudah berhasil mendaratkan manusia di
bulan.
Menjelang 16 Februari, ribuan orang India mengungsi dari daerah
Timur Laut, karena khawatir terjadi bermacam malapetaka,
terutama gempa bumi. Pedagang kecil di negara-bagian Naga
menjual habis dagangan mereka dan mengungsi. Di negara-bagian
Manipur, satu-satunya stasiun kereta api di Dimapur penuh sesak
dengan calon penumpang yang ingin menyelamatkan diri. Sementara
itu barisan pemadam kebakaran dan regu penolong telah disebar ke
7 wilayah negara-bagian Naga. Tempat menyimpan makanan khusus
telah didirikan. Hari Sabtu itu semua sekolah dan kantor
pemerintah di India ditutup dan jutaan penganut agama Hindu
mandi di sungai yang suci bagi mereka.
Keyakinan bahwa akan terjadi gempa bumi di kala gerhana berasal
dari kenyataan bahwa bulan dan matahari berada dalam posisi
berderet berhadapan dengan bumi. Secara kebetulan dua hari
sebelumnya -- subuh hari Kamis -- suatu gempa mengguncangkan
daerah India Utara dengan kekuatan 6,5 pada skala Richter. Pusat
gempa itu terletak 750 km di sebelah utara New Delhi, dekat
perbatasan India dengan RRC.
Ktut Gde Rawi
Di Indonesia, Dirjen Bimas Islam, menyerukan agar umat Islam
Indonesia melakukan shalat bersama selama gerhana itu
berlangsung. Bagi umat Islam doa gerhana dan shalat pada saat
itu merupakan sunnah muakkad dan didasarkan atas anjuran yang
terdapat dalam surat Assajdah, ayat 37. Tapi sore itu tidak
banyak orang Indonesia yang menyadari bahwa sedang terjadi
gejala alam itn. Kecuali beberapa pengamat seperti yang
dipimpin Soekarman di PMG. tim Drs Sudarsjah di Planetarium
Taman Ismail Marzuki dan tim di Peneropongan Bintang di Lembang,
hampir tidak ada yang mengetahuinya.
Seorang astronom Austria, Theodor oppelzen, menyusun sebuah
Catalogue of Eclipses di tahun 1880. Katalognya itu memuat lebih
8000 gerhana matahari yang sudah terjadi dan yang akan datang.
Yang terjadi Sabtu laiu pun sudah diramalkannya.
Ramalan itu dibuatnya berdasarkan kenyataan bahwa gerhana
matahari berulang setiap 18 tahun 10 1/3 hari (11 1/3 hari bila
terdapat 5 tahun kabisat). Periode ini yang sudah diketahui
bangsa Babilon ratusan tahun sebelum Masehi, dinamakan saros. Di
Indonesia, seorang bernama Ktut Bambang Gde Rawi, 70 tahun, yang
gemar menyusun penanggalan Caka dari Bali, dua tahun lalu sudah
meramalkan akan terjadi gerhana matahari di India itu.
Dalam jadwal sudah tercantum bahwa gerhana matahari total di
Indonesia akan terjadi 11 Juni 1983. Gerhana ini akan terlihat
terutama di Yogyakarta, Surakarta dan Ujungpandang, tapi mungkin
pula tidak tampak, bila langit crtutup awan seperti terjadi di
Amerika Serikat 26 Februari 1979.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini