Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kemewahan kecil yang tak ternilai ...

Kota yogya telah berubah, tidak ada lagi suara gamelan dalam ketentraman pagi. kini merupakan kota yang penuh dengan kebisingan dan ketergesaan, akibat dari gaya hidup budaya industri.

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSANNYA untuk tidak memperpanjang kontraknya dan memilih kembali ke negerinya -- untuk bekerja di sebuah universitas kecil nun di bagian tengah-barat Amerika Serikat sana -- mengejutkan saya. Sepanjang pengetahuan saya dia selalu mencintai Yogya yang dia kenal dengan baik pada waktu dia menyiapkan disertasinya kurang lebih 10 tahun yang lalu. Dan alangkah rindu dia selalu akan kota gudeg ini. Surat-suratnya dari Amerika Serikat selalu penuh dengan sumpah serapah menyesali nasibnya habis-habisan karena harus bergulat menyelesaikan disertasinya. Selalu saja dalam surat-suratnya itu dia menanyakan tentang "kemewahan-kemewahan kecil yang tak ternilai harganya". Maksudnya harumnya bau durian, puncak Gunung Merapi yang di waktu pagi kadang kelihatan menyembul mengeluarkan asap, jalan andong yang tertatih-tatih, suara nang-ning-nung gamelan dalam ketenteraman pagi, atau kesyahduan malam dan bahkan "gudegmu yang manis dan tidak bergizi itu . . .". Bertahun-tahun dia menginginkan benar mendapatkan satu kesempatan untuk datang lagi di Yogya. "Kali ini untuk tinggal yang lamaaa sekali!", katanya. Akhirnya datanglah kesempatan itu. Ia mendapat kontrak dengan salah satu badan internasional yang aktif di Yogya. Kontrak pertama itu setahun lamanya untuk kemudian bisa diperpanjang bila ia menginginkannya dan juga bila badan itu cukup puas dengan pekerjaan teman saya itu. Setahun hampir habis. Begitu saja dia beritahu saya bahwa dia tidak akan memperpanjang kontraknya. "Lho, kok kamu ternyata nggak krasan di sini?" Bung bule sahabatku tersenyum menyedot rokok Djarumnya. *** Begitulah. Menurut bung bule, sahabatku itu, Yogya sudah kehilangan semuanya yang selama ini sangat dia cherish sangat dia hargai dan junjung tinggi. Yakni apa yang dia sebut sebagai "kemewahan kecil yang tak ternilai harganya" itu. Begini keluhnya .... Aku kaget melihat perubahan kotamu, kotaku yang tercinta ini. Sekarang bising bukan main. Becak, sepeda motor, mobil, andong semrawut tidak keruan. Dan colt kampus dan mini-bus itu. Minta ampun. Dan Malioboroku? Apa yang telah kalian perbuat dengan jalanku yang tercinta itu? Kau pasangi jalan itu dengan toko-toko yang gemerlapan. Kau pulasi itu dengan cat yang belang-belonteng nggak keruan. Sementara pedagang kakilima makin banyak berjejal di sepanjang trotoar menjajakan dagangan "Seni Yogya" yang tidak bermutu buat para turis. Ya dan turis-turis bule itu! Ngapain mereka itu semua makin banyak berkeliaran di Malioboro dengan baju kumal tidak keruan itu. Bikin malu saja. Kau kira pariwisata macam itu yang akan membuat ekonomimu maju? Dan orang dan orang dan orang berjejal terus di mana-mana. Dari mana mereka itu, mau ke mana mereka itu, mau apa mereka itu? Di rumahku pun bising bukan main. Selalu saja orang ngomong dan ngomong. Dulu memang kalian orang Jawa ngomong juga. Itu bagian kebudayaanmu yang penting 'kan? Tapi entahlah. Sekarang ini kayaknya kok lain cara kalian orang Jawa ngomong. Kedengarannya lebih tegang. Dan aduh, anak-anak muda Yogya sekarang dengan sepeda motor mereka. Aku nggak habis 'ngerti bagaimana telinga dan kepala kalian bisa bertoleransi dengan knalpot sepeda motor anak-anak muda itu. Aku bahkan melihat banyak sepeda motor orang-orang tua mulai berbunyi seperti itu juga. Dan durian yang kau tanyakan itu? Apakah itu sudah tidak merupakan kemewahan kecilku lagi? Tidak! Memang durian masih banyak. Rasanya pun masih enak. Tapi toh jadi tidak seenak dulu! Begini. Durian adalah buah manja yang minta dimanjakan untuk memanjakan orang yang manja. Karena itu beli dan makan durian tidak boleh kesusu. Berjongkoklah lama-lama di depan bakul durian itu. Cium yang ini, letakkan. Cium yang itu, letakkan. Ngobrollah dengan mas penjaja. Dari mana? Gunungpati atau Purworejo? Baru mulai tawar pelan-pelan sesudah jadi kalau mau makan di situ pecahlah pelan-pelan. Sambil jongkok, makan, ngobrol ngalor-ngidul. Begitu aku menghayati kalian orang Yogya menikmati durian. Itu memang seni hidup yang bermutu tinggi yang di negeriku yang celaka itu tidak dikenal lagi. Eh, kok sekarang kalian mau ikut-ikut kehilangan itu. Tempo hari aku mau ngongkrong durian di Ngabean dan Jalan Diponegoro. Wah, didesak sana, didesak sini. Semua mau buru-buru saja. Juga bakulnya sekarang tidak sabar lagi seperti dulu. Gamelan? Tarian klasik Mataram? Mana semua itu! Betul masih terdengar nang-ning-nung tapi ditingkah begitu banyak kebisingan di mana-mana apa artinya itu? Betul orang di sana-sini masih menari tapi rasanya kok makin gemerlapan bajunya, makin kesusu narinya, makin komersial mutunya. Betul nggak observasi saya ini? Pokoknya aku merasa kehilangan banyak sekali. Aku sedih. Aku juga sedih karena kau kelihatannya kok nggak begitu sedih .... **** Uah, uah, uuwwaahh! Cleng, cleng, cleng rasanya mendengar keluhan sang bule ini. Alangkah menyakitkan tetapi juga alangkh aneh rentetan keluhan begitu keluar dari mulutnya. Mulut seorang yang datang dari satu dunia yang selalu kita asosiasikan dengan kebisingan dan ketergesaan sebagai akibat dari gaya-hidup budaya industri. Tapi yang sekarang merasa tidak kerasan tinggal di Yogya karena kebisingan dan ketergesaan. Apakah ini? Kecewa terhadap citra "Proporsi kebudayaan" yang dia bentuk sendiri? Mungkin ada gambar-gambar yang sudah dia sediakan buat masing-masing kebudayaan yang indah dan seakan tidak akan berubah. Waktu kemudian ternyata gambar itu bisa berubah dia gelo bukan main. Maka buru-buru dia mengepak kopornya kembali ke gambar-budayanya yang anehnya bisa indah, tenteram dan lengang. Kota universitas kecil yang dia pilih di Amerika Serikat itu masih banyak yang bergambar-budaya begitu. Deretan pohon maple, rumah-rumah bercat putih, suara kloneng-kloneng genta gereja kecil . . . Gambar-budaya kota universitas Gadjah Mada yang adem ayem, tentrem, adi luhung sedang berubah bagaimana? Seberapa berdaya kita ikut menentukan rupa gambar itu? Kemewahan-kemewahan kecil masih adakah kamu . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus