DI lehernya selalu membelit handuk putih kecil yang sudah lusuh.
Rokok kretek menyala di bibirnya, tak putus-putus. Matanya
merah. Berwajah keras tapi lesu. Inilah agaknya gambaran umum
dari sopir truk jarak jauh, yang katakanlah hidup di belakang
setir sepanjang hari dan malam. Dan mungkin pula seumur hidup.
Anom Wibawa adalah sopir truk Karya Express yang biasa menempuh
rute Jakarta-Bali p.p. Macam-macam yang diangkutnya. Dari Bali
biasanya ia membawa barang palen-palen, bungkil kelapa dan
barang-barang kecil lainnya. Waktu balik, ia mengangkut
barang-barang elektronik seperti radio, tv, serta kebutuhan
hidup sehari-hari. Januari yang hllu, genap 13 tahun ia pegang
setir truk.
Karier Anom (35 tahun) dimulai sejak 1962 sebagai kondektur.
Setelah bekerja dengan setia selama 5 tahun, statusnya naik jadi
sopir. Nasib baik, mengingat banyak kondektur atau kenek yang
sampai tua tidak pernah naik pangkat. Namun demikian, Anom
kelihatan tidak bangga. Ia malah berkata: "Kalau boleh saya
nasihati anak saya itu (2 anak lelaki 2 perempuan), agar mereka
tidak mengambil pekerjaan sebagai sopir!" Kenapa? Menurut Anom,
masa depan sopir tidak bagus. Terlebih-lebih sopir truk jarak
jauh -- keamanan di jalan selalu menjadi pemikiran. Ibarat
digantung sehelai rambut," katanya memberi umpama.
Dalam sebulan Anom jalan 6 sampai 8 kali. Banyak peristiwa yang
sudah dialaminya. Di tahun 1966 -- waktu masih jadi kondektur --
begitu memasuki Surabaya, seorang bajingan tiba-tiba melompat ke
atas truknya, seperti dikirim oleh setan. "Berteriak, ini
ganjaran!" ancam penjahat itu sambil memperlihatkan celurit
(semacam sabit runcing). Anom tak berdaya. Karena ia tidak
membawa uang, akhirnya sebuah karung berisi gula pasir
diturunkan, sementara truk jalan terus. Bukan itu saja sebelum
penjahat kabur, Anom dimasukkan ke dalam karung dan diikat
bagian bawahnya. Sopir baru tahu kejadian itu tatkala truk mau
bongkar muatan.
Setan Dinas
Pada 1977 sesudah jadi sopir, di daerah Gempol (Ja-Tim) Anom
terlibat perkelahian. Tatkala truk berjalan pelan, seorang
bajingan meloncat dan dengan cepat telah berdiri di sampingnya
menyabet jam tangan Citizen di tangan kanan Anom. Sopir ini
melawan. Malang, celurit mampir di bibir dan tangan kanannya.
Darah tumpah dan jam baru itu hilang. "Ini masih berbekas," kata
Anom menunjukkan sobekan pada bibir dan lengannya.
Bahaya lain ia namakan "setan dinas". Ini bahaya rutin. Semakin
gemuruh orang mengusir "pungli" ternyata semakin galak setan
dinas Ini. Kalau sudah nampak sebuah truk datang, berbagai
pertanyaan akan diajukan, sehingga mau tak mau sopir lebih baik
mengalah. Biasanya segalanya jadi lancar kalau sebuah "lembaran
Sudirman" diselipkan di dalam STNK. Pengusutan akan lancar. Yang
sulit sopir tidak bisa mempertanggungjawabkan uang itu sebagai
biaya tak terduga pada majikan -- karena tak ada kwitansi.
"Kadangkala saya dimarahi, tapi demi keselamatan apa boleh
buat," kata Anom.
Kalau sebulan berangkat 8 kali, Anom bisa mendapat uang Rp 35
ribu plus Rp 500 per hari sebagai uang jalan. Untuk hidup
sebulan pas-pasan. "Saya bahkan sering ngebon," katanya terus
terang. Yang agak menyenangkan adalah adanya solidaritas sesama
sopir di dalam perjalanan. "Bukan hanya kalau sakit, pecah ban
pun kita saling membantu," kata Anom.
Wayan Sumatra (37 tahun) juga sopir truk Denpasar-Surabaya,
mengeluh karena akhir-akhir ini sulit mengatasi para bajingan
yang bertindak dengan koordinasi yang rapi. Karenanya setiap
hendak memasuki Surabaya, ia selalu menyewa Hansip sebagai
pengawal. Sekali bongkar muatan, Hansip itu menerima honor Rp
3.000. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana seluk beluk
mendapatkan Hansip tersebut. "Pokoknya kalau sudah ada Hansip,
saya aman," kata Sumatra.
Minum di Warung
Di Banda Aceh, ada seorang sopir truk jarak jauh bernama Eddy.
Sudah 10 tahun profesinya ini. Trayeknya Banda Aceh-Medan,
berjarak 700 km. "Dulu sebenarnya saya punya tekad untuk jadi
insinyur," kata Eddy yang tamatan SMP ini.
Pendapatan Eddy (33 tahun sekali jalan Rp 8 ribu. "Kalau
setoran tinggi bisa Rp 10 ribu," katanya menambahkan. Untuk
rata-rata 5 kali jalan setiap bulan, Eddy dapat Rp 50 ribu. Ada
uang makan, juga uang dana di jalan (uang minyak dan uang untuk
mengganjal pos-pos penjagaan) sekitar Rp 40 ribu sekali jalan.
Kalau ada sisa, dana itu jadi hak sopir. "Itu merupakan
kesepakatan tidak tertulis dan harus dipatuhi antara toke dan
sopir," tutur Eddy. Kelebihannya menurut Eddy sekitar Rp 6
sampai Rp 7 ribu. Makin banyak bisa mengelakkan pos liar, makin
banyak sisa dana yang bisa dikantunginya.
Eddy berhasil membeli rumah berikut tanah. Ini disebabkan
istrinya pintar pegang uang. Seluruh uang trip (perjalanan) yang
didapatnya, ia serahkan pada istri. Keluarga Eddy dengan 3 anak,
ternyata hanya menghabiskan Rp 30 ribu sebulan. Dengan catatan
Eddy sering tidak di rumah. "Maunya kita istri para sopir jangan
ikut royal-royalan seperti suaminya," kata Eddy.
Eddy sendiri mengaku tidak suka royal. "Kalau sekedar main-main
ya biasa. Maklum orang haus bisa saja minum di warung," kata
Eddy beribarat. Ia tidak mau kawin lagi. Tapi istrinya,
sebagaimana galibnya istri sopir, masih sering mencurigainya.
Untuk menghindari itu, Eddy sering mengalah pada kemauan
istrinya. Tak jarang pada saat-saat akan berangkat datang ajakan
untuk nonton film dan makan di restoran. "Mau tak mau harus kita
penuhi," kata sopir ini.
Meskipun waktunya sempit, jika ada kesempatan Eddy membawa
anak-anaknya melancong. "Saya sering terharu melihat ayah dari
anak-anak yang lain bisa terus kumpul dengan keluarga," katanya
sedih. Dalam hati ia bertekad menghindarkan anak-anaknya dari
profesi sopir. "Saya akan sekolahkan mereka dan mereka tidak
boleh menghampiri pekerjaan saya sekarang," katanya dengan
mantap. Ia sendiri sudah berniat meninggalkan pekerjaannya 5
tahun lagi. Selanjutnya ia berniat membuka bengkel
kecil-kecilan. Kini masih dalam taraf mengumpulkan modal.
"Pekerjaan sopir jarak jauh ini tak pernah menjanjikan
apa-apa," kata Eddy tandas.
Dalam perjalanan Eddy selalu diganggu pikiran jelek. Ia merasa
maut selalu mengintai. Untuk itu ia selalu berhati-hati. Ia
tidur cukup. Sulitnya, tidak sembarang tempat boleh istirahat,
mengingat muatan yang dibawanya. Ia harus parkir di pos Hansip
atau di tempat-tempat yang aman lainnya, agar muatan tidak
disambar maling. Tidur pun tidak bisa lama, paling banter satu
atau dua jam, harus tancap gas lagi.
Yang menguntungkan, Eddy tak pernah sakit keras. Kecuali belum
lama ini ia terpaksa mendekam sampai 1 bulan. Selama itu ia
tidak dapat bantuan khusus dari tokenya. Dapat kiriman obat cuma
sekali. Suntik juga sekali. Dari teman-temannyalah ia memperoleh
dukungan keuangan. "Kami para sopir ini sudah merasa satu nasib.
Tapi tidak melalui sebuah perkumpulan. Masing-masing
pribadilah," kata Eddy, "kalau sekiranya sakit terlalu lama, ya
akan dikeluarkan oleh toke dari kerja. Tanpa pesangon dan uang
lain."
Selama melayani trayek Banda Aceh-Medan, Eddy tidak melihat
persaingan di antara sesamanya. Justru sering cekcok dengan
kelompok sopir bis. Gara-garanya sepele. Kalau bis lari sering
seperti dikejar setan. Jalan yang sempit sangat sulit buat
berpapasan dengan lari yang kencang. Karena sopir bis tidak
sabaran, perang mulut gampang terjadi. Akhirnya berkelahi.
Eddy pernah berkelahi dengan sopir bis di sebuah jalan menurun
di Langsa. Eddy tak mau memberi jalan pada bis yang sedang lari
kencang. Dalam perkelahian Eddy luka-luka, sedangkan lawannya
babak belur. Perkelahian itu kemudian berkepanjangan di stasiun
antara kelompok. Alasan Eddy tidak mau minggir sebenarnya cukup
waras. "Kan mereka itu bawa penumpang banyak. Kalau terbalik kan
bukan hanya sopirnya sendiri yang menderita," ujarnya.
Ngomong-ngomong soal merawat badan, menurut Eddy gampang. "Kita
selalu makan enak," katanya. Ini untuk mengimbangi kerja yang
betul-betul berat sesuai dengan falsafah sopir truk. "Makan
macam raja, tidur bagai gelandangan." Falsafah ini benar-benar
dilaksanakan Eddy.
M. Yusuf yang melayani rute Banda Aceh-Tapaktuan (600 km)
mengatakan jalan yang ditempuhnya terbilang paling sulit. Untuk
melintasi trayek itu dibutuhkan persyaratan keahlian, ketabahan
dan ketahanan tubuh yang luar biasa. Kondisi jalan di sini amat
buruk. Mungkin karena itu uang trip untuk jurusan ini lebih
besar dari Banda Aceh-Medan. Setiap trip Yusuf bisa mengantungi
Rp 15 ribu, dengan catatan sebulan paling banter 3 kali jalan.
Simpanan
Berbeda dengan Eddy, Yusuf mengaku terang-terangan punya
"simpanan" di perjalanan. Bahkan lebih dari satu. "Maklum, kan
keadaan sopir," katanya dengan tenang. Yusuf sebetulnya sudah
kawin. Istrinya yang pertama tidak membuahkan turunan, tapi
wanita itu tidak merelakan suaminya menikah lagi. "Ya terpaksa
diam-diam saja kawin," kata Yusuf (36 tahun). Tapi istrinya yang
kedua juga ternyata tidak membuahkan anak. Lalu ia kawin lagi
dan yang ketiga yang kemudi an memberinya anak. "Dan tak salah
saya kawin untuk mendapatkan anak," kata sopir ini. Sekarang ia
sedang merencanakan untuk menceraikan istrinya yang kedua. "Biar
pakai yang tua dan yang muda saja," kata Yusuf enteng.
Menurut. Yusuf, keuangannya, cukup. Karena ia bisa memanfaatkan
bak truknya untuk dagangan sendiri. Ia sering beli kacang tanah
atau dagangan lainnya. "Kalau hanya mengharapkan yang trip bisa
bangkrut," ujarnya. Kemudian ia tambahkan. "Pokoknya masalah
makan para sopir tak usah khawair, cukup, dengan menu yang
sempurna."
Untuk menghindari sengatan pos-pos liar, truk jurusan Tapaktuan
berangkat malam hari sendiri-sendiri. "Kalau sudah tengah malam
mana ada lagi yang jaga. Paling masuk pos resmi LLAJR," kata
Yusuf.
Setelah 16 tahun, jadi sopir truk, (mulai jadi kenek umur 12
tahun), Yusuf yang tidak tamat SD ini seperti sudah luluh dengan
pekerjaannya. Ia tidak risau. Ia menerima kehidupan dan nasibnya
dengan senang. Bahkan gembira. Tentang masa depan ia tidak mau
pusing. "Buat apa memikirkannya terlalu serius, kan lebih baik
tenang-tenang saja," ujarnya. Lalu disambungnya dengan agak
bangga: "Kalau sopir berpengalaman macam saya ini bisa dipakai
siapa saja!"
Satu-satunya penyakit Yusuf yang paling parah adalah ia biasa
royal. Ia tidak pernah berpikir panjang sebelum menghabiskan
uangnya. Ia meneguk minuman arak, ribuan rupiah sehari.
"Bagaimana tidak, kan minum itu bisa menyegarkan badan. Untuk
apa pikir-pikir hari esok," katanya dengan yakin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini