Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dikepung Bukit-bukit Gundul

Banjir dan krisis air mengancam Bandar Lampung. Bukit-bukit di sekitarnya nyaris rata dengan tanah karena dikeruk setiap hari.

25 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKIT-bukit di Lampung menjelang ajal. Bertahun-tahun ditambang, digerus, dan dikeruk setiap hari, bukit-bukit itu kini nyaris rata. Di Kelurahan Tanjung Raya, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Bandar Lampung, misalnya, ada Bukit Camang, yang disebut penduduk sebagai bukit botak. Bukit yang dulu tingginya sekitar seratus meter itu sudah tergerus sekitar 60 persen. Lereng yang dulu ditumbuhi pohon kelapa, aren, pisang, durian, dan aneka tanaman keras itu kini jadi tebing curam yang telanjang dan sewaktu-waktu bisa runtuh.

Menurut Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Bandar Lampung, kota itu memiliki 32 bukit dan gunung, tapi 23 di antaranya sudah rusak. Bukit Camang dan delapan bukit lainnya hancur setelah ditambang atau diubah menjadi kawasan permukiman.

Kerusakan bukit-bukit itu membuat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung menyampaikan protes ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandar Lampung pada Selasa dua pekan lalu. Walhi menilai penghancuran bukit-bukit itu akan mengancam kota dan seluruh isinya. ”Dampak selanjut­nya, krisis air akan melanda warga kota,” kata Hendrawan, Direktur ­Walhi Lampung.

Para penambang memakai linggis untuk mencongkel bongkahan batu di ketinggian sekitar 50 meter. Batu yang dicongkel lalu dinaikkan ke truk-truk yang hilir-mudik sepanjang hari. Satu truk berisi sekitar 4 meter kubik batu, yang biasanya dijual Rp 350-400 ribu. ”Para pemecah batu hanya mendapat Rp 100 ribu untuk setiap empat meter kubik itu,” kata Wahyudi, penambang batu di Bukit Camang.

Wahyudi mengatakan puluhan orang tewas sejak penambangan liar itu marak. Dalam empat bulan terakhir saja tercatat empat penambang di tempat itu tewas tertimpa batu dan material galian.

Penambang besar ikut pesta-pora dengan memakai ekskavator dan truk yang lebih besar. Alat itu, kata seorang penambang yang enggan menyebut namanya, milik pengusaha ternama di Bandar Lampung.

Para penambang umumnya datang dari Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Timur. ”Kalau warga sekitar bukit mah ogah jadi tukang pecah batu. Mending cari pekerjaan lain saja,” kata Yayah Rohimah, warga Tanjung Raya yang bermukim di kaki bukit itu.

Penambangan di Bukit Camang dijaga ketat. Mandor tambang akan menghalau siapa saja yang hendak memotret lokasi itu. Tempo dilarang mendekat saat hendak mengambil foto. Tapi penjagaan agak longgar di bukit lain, misalnya Gunung Kunyit, Teluk Betung Se­latan. Bukit yang berada tepat di bibir­ pantai itu kini tinggal sepertiga saja.

Di bukit yang berada di Jalan Yos Sudarso itu tampak pula sebuah ekskavator sedang menggerus lerengnya. Alat berat itu bisa masuk ke lokasi tersebut setelah pemerintah memperlebar dan meratakan tanah bekas bukit. ”Alat itu bagian dari rencana pembangunan kawasan wisata di bekas bukit ini,” ujar Endit.

Pemerintah memang sedang membangun kawasan wisata di tempat itu. Restoran dan bungalo yang menghadap ke laut akan segera dibangun. Kawasan wisata itu meniru pantai Losari di Makassar dan menjadi bagian dari rencana besar pemerintah membangun kota tepi pantai. Bibir pantai di balik bukit itu telah diuruk hingga seratus meter ke tengah laut.

Di atas Bukit Camang juga akan dibangun perumahan mewah. Saat ini baru sebuah kantor pemasaran berwarna biru yang selesai dibangun di sana, yang bisa dilihat dari tepi pantai Teluk Lampung.

”Itu sebenarnya bukit cadas dan kapur. Untuk resapan air juga tidak signifikan, seperti halnya Gunung Ku­nyit di Teluk Betung Selatan,” kata Kepala Bidang Pertambangan dan Energi Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung Budiono.

Namun, menurut Hendrawan, lereng dan puncak gunung itu sebenarnya merupakan daerah yang lumayan subur, karena tanahnya berhumus tinggi. Jika dilihat dari sisa-sisa penggerus­an, ketebalan tanah yang menyelimuti Bukit Camang dan Gunung Kunyit itu 1-3 meter. Tumbuhan seperti kelapa, durian, melinjo, aren, pisang, dan aneka pohon besar bisa tumbuh dengan subur di sana.

Pemangkasan puncak Bukit Camang itu membuat warga di sekitarnya selalu cemas. Setiap musim hujan, kata Rahmat, warga Kelurahan Garuntang, Teluk Betung Selatan, sudah berkali-kali banjir terjadi. ”Air dan lumpur sering datang bergulung dari atas jika hujan lebat turun. Kami selalu cemas,” katanya.

Kekhawatiran serupa juga dirasakan warga di Jalan Rasuna Said. Bukit Lungsir atau Bukit Rasuna Said telah dikeruk dan di sana hendak didirikan perumahan mewah. Puncaknya pada 18 Desember 2008, saat hujan lebat, bukit yang hanya berjarak lima ratus meter dari kantor Wali Kota Bandar Lampung itu pun longsor dan menerjang rumah warga yang berada di bawahnya. ”Peristiwa itu belum pernah terjadi sebelumnya. Warga kini juga mulai kesulitan mendapatkan air,” kata Suryadi, salah seorang warga.

Walhi Lampung menuding kerusakan sejumlah bukit dan gunung itu karena pemerintah tidak serius menghentikan penggerusan. ”Belum ada iktikad baik pemerintah kota menghentikan penggerusan itu,” kata Hendrawan. Padahal, kata dia, bukit-bukit itu berfungsi sebagai tempat perlindungan jika terjadi tsunami dan menahan angin puting beliung serta sebagai kawasan hijau kota.

Walhi mendesak pemerintah segera mendata gunung dan bukit di ibu kota Provinsi Lampung itu. ”Pemerintah harus menentukan mana daerah konservasi, daerah resapan air, dan ruang terbuka hijau untuk publik. Itu karena kepemilikan gunung, bukit, dan lereng di Bandar Lampung masih simpang-siur,” katanya.

Menurut Surat Keputusan Wali Kota Bandar Lampung Nomor 33 Tahun 1996, setidaknya ada sebelas bukit dan gunung yang telah ditetapkan sebagai daerah konservasi, yaitu Gunung Sulah, Gunung Banten, Gunung Sari, Gunung Kunyit, Gunung Kucing, Gunung Perahu, Bukit Sukamenanti, Bukit Klutum, Bukit Randu, Bukit Camang, dan Bukit Kapuk. Namun, ”Hanya Gunung Ban­ten, Gunung Kucing, dan Gunung Sulah yang masih terjaga,” ujar Hendrawan.

Kota itu pun sebenarnya sudah merasakan dampak kerusakan bukit-bukit tersebut. Banjir besar pernah melanda pada 18 Desember 2008. Hampir seluruh kota terendam air dan lumpur.

Pemerintah, kata Hendrawan, seharusnya memenuhi kewajiban menjadikan 30 persen wilayahnya sebagai ruang terbuka hijau, tapi Bandar Lampung baru memiliki 9 persen. ”Sembilan persen itu pun berupa tanah makam. Itu sangat ironis karena kota ini terpilih sebagai kota percontohan program jejaring kota-kota Asia untuk perubahan iklim,” ujar Hendrawan. Bandar Lampung dan Semarang terpilih sebagai Asian Cities Climate Change Resilience Network pada Desember lalu.

Budiono mengaku telah berupaya menghentikan kegiatan pengerukan bukit itu meski tidak mudah. Papan larangan menambang di kawasan tersebut, misalnya, sudah dipasang. Tapi warga setempat selalu mencabutnya. ”Kalau ada yang mengeruk dengan alat berat, pasti kami hentikan. Tapi mereka selalu sembunyi-sembunyi dan memanfaatkan hari libur,” ujar Budiono.

Masalah tambah rumit karena status kepemilikan Bukit Camang tidak jelas. Pemerintah kota hanya mengetahui sejumlah nama yang diduga menjadi pemilik Bukit Camang itu. Sebelah timur gunung itu dimiliki oleh Sayuti, Sugiono, Marsudiono, dan Muzakir. Adapun bagian baratnya milik PT Bukit Alam Surya. ”PT Bukit Alam Surya mengantongi izin dan mereka memilikinya secara sah, sedangkan yang lain tidak pernah mengajukan izin penambang­an,” kata Budiono.

Upaya Tempo menghubungi salah satu pemilik bukit itu, Sayuti, warga Jalan Jati, Tanjung Raya, Kecamatan Tanjung Karang Timur, tak berhasil. Saat didatangi ke rumahnya, seorang penjaga rumah mengatakan dia sedang pergi. Dia sempat menjawab telepon Tempo dan mengaku tidak tahu, tapi kemudian mengirim pesan pendek: ”Lo salah alamat.”

Sejauh ini pemerintah, kata Budiono, hanya memberikan izin penambangan skala besar pada galian jenis C (batu, pasir, dan tanah) kepada lima perusahaan. Mereka adalah PT Budi Wirya dan PT Sari Karya yang menggali Bukit Panjang, PT Ganda Pahala yang menggarap sebuah lereng di Jalan Soekarno-Hatta, PT Batu Penjuru Makmur yang menambang Bukit Umbul Kunci, serta PT Batu Makmur yang mengeruk tanah dan batu Bukit Tirtayasa.

Sebenarnya, jika merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bukit dan Lereng, semua bukit dan lereng yang ada di Bandar Lampung harus dipertahankan sebagai daerah tangkapan air. Sayangnya, dalam beleid tersebut tidak secara tegas disebutkan soal sanksi hukum bagi perusak bukit.

Ketua DPRD Kota Bandar Lampung Budiman A.S. berjanji akan menyelidiki­ kasus penggerusan bukit ini. ”Kami akan membentuk tim untuk menyelidiki­ perusakan gunung, bukit, dan lereng yang ada di Bandar Lampung,” katanya.

Kurniawan, Nurochman Arrazie (Bandar Lampung)

Kondisi Bukit dan Gunung di Bandar Lampung

Gunung Kunyit, Teluk Betung Selatan
Peruntukan: Hutan kota
Kondisi: Rusak parah

Gunung Sari, Tanjung Karang Pusat
Peruntukan: Hutan kota
Kondisi: Permukiman

Gunung Kucing, Tanjung Karang Barat
Peruntukan: Hutan kota
Kondisi: Masih hijau

Gunung Sulah, Sukarame
Peruntukan: Hutan kota
Kondisi: Masih hijau

Gunung Banten, Kedaton
Peruntukan: Hutan kota
Kondisi: Masih hijau, konservasi PDAM

Gunung Perahu, Kedaton
Peruntukan: Hutan kota
Kondisi: Penambangan

Bukit Sukamenanti, Kedaton
Peruntukan: Hutan kota
Kondisi: Penambangan liar

Bukit Randu, Tanjung Karang Timur
Peruntukan: Hutan kota
Kondisi: Hotel/restoran, izin wisata 20 persen

Bukit Klutum, Tanjung Karang Timur
Peruntukan: Paru-paru kota
Kondisi: Penambangan liar

Bukit Kapuk, Tanjung Karang Timur
Peruntukan: Paru-paru kota
Kondisi: Permukiman

Bukit Camang, Tanjung Karang Timur
Peruntukan: Hutan kota
Kondisi: 60 persen penambangan

Sumber: SK Wali Kota Nomor 33 Tahun 1996 dan data Walhi Lampung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus