Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Cahaya untuk penyembuhan

Pengikut sukyo mahikari percaya bahwa dari telapak tangan manusia bisa mengalir "cahaya sejati". upacara mahikari no waza dianggap bisa menyembuhlkan penyakit. di jepang sedang diteliti.

2 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR dua puluh pasangan itu duduk atau berbaring di atas tatami, tikar khas Jepang. Mereka berhadapan muka tanpa bercakap. Inilah upacara mahikari no waza, yang dilakukan kelompok Sukyo Mahikari, sebuah aliran agama Shinto, di suatu gedung di kawasan Shibuya, Tokyo. Dalam upacara itu, seorang peserta mengangkat satu telapak tangannya, dan dihadapkan ke muka pasangannya pada jarak sekitar 30 cm, selama sekitar 10 menit. Posisi telapak tangan sekitar 30 cm dari dahi. Ini dilakukan bergantian. Para penganut Sukyo Mahikari yakin, dari telapak tangan itu akan mengalir seberkas "cahaya sejati" atau "cahaya Tuhan". Cahaya sejati itu konon sangat bermanfaat. "Untuk membersihkan jiwa, nurani, dan jasmani," ujar Takahiro Shibata, 46 tahun, pimpinan Sukyo Mahikari cabang Shibuya itu. Untuk tujuan praktis, mahikari no waza juga dianggap bisa menyembuhkan pelbagai penyakit yang sulit disembuhkan secara medis, seperti kanker, rematik, borok lambung, ginjal, gangguan saraf, atau asma. Mereka yang berniat mengikuti proses mahikari no waza itu biasanya mendaftar untuk program tiga hari. Biayanya 13 ribu yen (sekitar Rp 170 ribu). Setelah mendaftar, para peserta mendapatkan omitomo, semacam kalung yang berfungsi sebagai "antena" untuk menangkap cahaya sejati itu. Ketika prosesi berlangsung, para peserta yang kebagian menerima cahaya itu boleh sedekap atau menempelkan telapak tangannya pada bagian tubuh yang sakit. Sukyo Mahikari kini memiliki 400 ribu anggota, 300 ribu di Jepang, dan 100 ribu lainnya tersebar di 80 negara. Pusatnya di Takayama, sebelah utara Nagoya. Pengobatan model mahikari no waza itu ada pula di Cina, disebut qigong. Cara pengobatannya pun lewat telapak tangan, disertai pengaturan pernapasan. Para ahli qigong pun mengklaim sejumlah sukses pengobatan. Karena tak ada uraian ilmiah yang bisa menjelaskan keberhasilan pengobatan, kini sejumlah ahli yang tergabung dalam proyek Biofoton di Jepang giat mencari jawaban. Proyek ini dikendalikan oleh RDCJ (Research and Development Corporation of Japan), badan yang ada di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Jepang. RDCJ dibentuk 30 tahun lalu untuk menggarap cabang-cabang ilmu dasar. Biofoton sendiri merupakan salah satu dari 16 proyek yang kini digarap RDCJ. Selama lima tahun belakangan (1986-1991) proyek Biofoton mendapat dana 1,5 sampai 2 milyar yen atau 20-26 milyar rupiah. Teka-teki telapak tangan memang belum terjawab tuntas. Namun, Masashi Usa, 34 tahun, peneliti Biofoton, berani memastikan bahwa dari telapak tangan manusia itu memang memancar berkas cahaya. Tapi cahaya itu tidak bisa terdeteksi oleh mata manusia. "Karena besarnya hanya seperseribu sampai seperseratus ribu dari batas cahaya terendah yang bisa dilihat manusia," ujar Usa, master histologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Osaka. Dalam penelitian Biofoton itu, 27 orang (berumur 2-80 tahun) direkrut sebagai sampel. Pengukuran pancaran cahayanya diukur dengan alat yang disebut PMT (Photon Multiplier Tube). Alat ini mampu mendeteksi sinar pada rentangan spektrum ultraungu 160 nm (nanometer) hingga 900 nm inframerah. Sebetulnya, menurut teori yang dikutip Usa, semua bagian tubuh sanggup memancarkan foton, elemen cahaya yang memuat energi. Tapi tim membatasi diri pada bagian tertentu, terutama pada telapak tangan. "Karena alasan anatomis," ujar Masashi Usa. Gejala pancaran cahaya tangan, dalam penelitian Usa, muncul dari ke-27 sampel. Pancaran tertinggi tercatat dari pangkal ibu jari, ujung jari tengah dan jari manis. Teori lama, yang mengatakan bahwa permukaan lebih panas akan memancarkan foton lebih banyak, tak berlaku dalam urusan ini. Buktinya, bagian tengah telapak tangan (suhunya tertinggi), justru pancaran fotonnya paling rendah. Pancaran foton telapak tangan itu juga bergantung pada usia. Seorang anak berumur dua tahun, pancaran fotonnya sebanding dengan seorang kakek 80 tahun, besarnya separuh dari pemuda 30 tahun. Putaran waktu juga terbukti mempengaruhi jumlah pancaran sinar tangan. Jumlah foton terbesar dipancarkan pada siang hari. "Ini ada hubungannya dengan ritme metabolisme tubuh," kata Usa. Aktivitas tubuh secara langsung berpengaruh terhadap jumlah foton. Seorang pemuda berusia 24 tahun diminta joging 15 menit pada siang hari, lalu diukur pancaran fotonnya. Ternyata, ada lonjakan yang berarti, dibandingkan hasil pengukuran sebelum dia joging. Namun, joging tak memberikan foton "ekstra" bila dilakukan pada malam hari. "Kami belum tahu persis mengapa kejadiannya begitu," kata Usa terus terang. Telapak tangan rupanya juga bisa menjadi indikator kesehatan jasmani. Usa membuktikannya lewat pengukuran terhadap seorang laki-laki sehat umur 40 tahun dan seorang lelaki 45 tahun penderita gangguan kelenjar gondok. Pengukuran dilakukan pada ujung jari tengah dan telunjuk secara berulang-ulang. Hasilnya, laki-laki yang sakit itu memperlihatkan pancaran foton yang konsisten lebih rendah dibanding rekannya yang sehat. Usa pernah mencatat pula pengalaman dengan seorang tukang qigong dari Cina, yang didatangkan ke Sendai dua jam dari Tokyo dengan kereta cepat, tempat Usa dan kawan-kawan melakukan penelitian. Ahli qigong itu diminta mengobati seorang pasien laki-laki 30 tahun. Tukang qigong itu "menembak" pasiennya dengan pancaran foton lewat telapak tangannya, ke arah pinggang pasien dari jarak 30 cm. Setelah 28 menit, hasilnya kelihatan. Pancaran foton dari ujung jari kiri pasien merosot tajam. Namun, dahinya memancarkan foton lebih besar. Dan yang aneh adalah pancaran gelombang otak pasien. Mula-mula pasien diketahui memiliki pancaran gelombang beta. Tapi setelah terkena tembakan foton, gelombang otak itu berubah menjadi alfa, persis seperti gelombang otak sang ahli qigong. Usa angkat tangan ketika diminta menjelaskan gejala ini. Seiichi Okawa (Jepang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus