Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Cara Bunuh Diri, Dengan Asap

67% kematian di baliem, ir-ja disebabkan penyakit paru-paru. mereka biasa tinggal di rumah bundar. pembakaran kayu dalam rumah itu menimbulkan asap banyak dan menjadi sumber penyakit.(ilt)

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBAH Baliem di pedalaman Irian Jaya kembali mengundang perhatian. Bukan lantaran Obahorok mau kawin lagi dengan perempuan kulit putih. 67 % kemudian di pedalaman pengunungan Jayawijaya itu, dikabarkan disebabkan oleh penyakit paru-palu berasap (fumocosis). Terutama penyakit itulah yang menekan umur rata-rata penduduh Lembah Baliem sampai 40 tahun saja. Ini dikemukakan seorang dokter Belanda yang masih bertugas di sana, Win Vriend, dalam Simavi-Publikatie oktober 1976. Tingginya persentase kematian lantaran paru-paru berasap itu, menurut dr Vriend, disebabkan oleh kebiasaan hidup dalam pondok kecil yang penuh asap. Karena itulah ketika masih bekerja di tengah orang Jali di Angguruk, Kabupaten Jayawijaya, dia mengusulkan kepada gereja kristen injili di sana agar memperkenalkan bentuk rumah sehat dengan saluran asap. Juga dengan bantuan GKI Irja Klasis Baliem-Yalimo di mana dia bertugas waktu itu, dokter itu bermaksud berubah bentuk pondok yang bundar dari dedaunan dan kulit kayu menjadi rumah kotak papan. Sayangnya, sampai sang dokter ditarik. Pemerintah untuk bekerja di rumah sakit Umum di Wamena, ibukota kabupaten, pimpinan gereja di Jayapura belum bersedia menerima gagasan rumah sehat yang bebas asap itu. Sehingga orang Dani dan Yali yang tinggal pada ketinggian 1500 meter dimana suhu malam sampai 10øC dipersilakan terus menyedot asap alias bunuh diri perlahan-lahan. Lemak Babi Sebenarnya, gagasan dr Vriend itu dapat dianggap cukup radikal. Menurut taksiran tak resmi, 40 sampai 60% penduduk Irian Jaya (jumlah hanya sekitar 1 juta orang) bermukim di lembah-lembah pegunungan Pegunungan Jayabaya dan Pegunungan Sudirman. Konsentrasi terbesar tinggal di Lembah Baliem dan sekitarnya (Kabupaten Jayawijaya), dan di sekitar Danau Paniai (Kabupaten Paniai). Kawasan Lembah Baliem dihuni Suku Dani, sukunya Obahorok, sedang Suku Ekari bermukim sekitar danau tadi. Sebelum ini, di punggung selatan Pegunungan Sudirman konsentrasi Suku Amungme cukup tinggi. Tapi banyak yang sudah dimukimkan kembali lebih ke selatan untuk memungkinkan maskapai lembaga Freeport Copper dari AS lebih bebas beroperasi di sekitar Gunung Bijih (Ertsberg). Nah, kembali ke Suku-suku Dani dan Yali di Pegunungan Jayawijaya. Seperti dicatat Toeti Kakiailatu dari TEMPO yang meninjau kembali Lembah X dan Lembah Baliem di masa gempa bumi 1976, "ada tiga cara orang Dani (yang hidup di ketinggian 1000 - 2500 meter) menghangatkan badan". Pertama: melumuri badan yang nyaris telanjang itu dengan minyak lemak babi. Kedua: berdiang di dalam pondok bundar mereka (honei) di depan api. Dan ketiga: tidur berdempet-dempet di malam hari dalam honei yang dapat menampung - 10 orang. Posisi tidur mengelilingi api diatur seperti ruji roda kaum lelaki dan kaum wanita tidur terpisah dalam honei khusus untuk masing-masing. Operasi Koteka Sebagian orang Dani yang sudah masuk Kristen sudah mengenal hidup berkeluarga dalam satu rumah. Tapi tetap juga rasanya lebih hangat bersesak-sesak dengan kaumnya sendiri dalam rumah kolektif. Tak banyak bedanya adalah adalah cara hidup Yalidi Yalimo Rumah khusus lelaki di sana disebut yowi, sedang rumah yang dibangun seorang suami untuk isteri-isterinya disebut oba-alma. Namun baik rumah orang Dani maupun orang Yali pada prinsipnya sama. Dinding terbuat dari rusuk-rusuk kayu yang dilapisi kulit kayu atau daunan. Begitu pula atap. Bahan bangunan itu lapuk dalam tiga tahun. Tidak mengapa tinggal pergi ke hutan mengambil bahan dan membangun rumah baru. Dan dalam bangunan yang bagai kubuh itu, api dibiarkan terus menyala sepanjang malam. Menurut penelitian dr Vriend, asap itu per 1000 kg kayu mengandung 250 gram formaldehyde, 1 kg karbohidrat, 15 kg karbon, 5 kg oksida zat lemas, dan 1 kg oksida belerang. Jadi betapa orang tak mati muda ya kan? Beberapa cendikiawan muda Irian Jaya yang ditemui TEMPO di Jakarta, menyayangkan sikap gereja yang tak merasa penting mengambil langkah drastis merombak cara rumah rakyat dan cara penghangatan itu. Namun di pihak lain mereka menyadari pula, bahwa rencana yang terlalu drastis seperti Operasi Koteka yang dengan terlalu bersemangat mau mencomot pembungkus alat vital orang Dani dan menukarnya dengan celana tak akan banyak hasilnya. Begitu pula pembabatan honei untuk ditukar dengan drastis dengan rumah papan -- dengan pediangan seperti di Pegunungan Alpen, Eropa -- juga bisa menarnbah frustrasi orang Dani sendiri. Mendirikan penggergajian kayu di Lembah Baliem, tak banyak soal. Dr Vriend malah mengangan-angankan penggergajian semi-mekanis yang digerakkan generator listrik mini bertenaga air. Dan memang, Pegunungan Jayawijaya cukup kaya dengan hutan serta sungai yang mengalir melalui lembah-lembahnya. Namun bagaimana dengan perubahan sosial yang perlu mengiringi pembangunan fisik? Bagaimana cara menghapuskan kebiasaan tidur bergerombol di rumah kolektif, misalnya? Arsitektur Bali Vriend, menurut rekan-rekannya di Jakarta, adalah penganut faham perubahan sosial secara cepat. "Orang Irian kan sudah diajak melompat dari abad batu ke abad pesawat terbang. Jadi mengapa mereka tak dapat diajar terbiasa dengan rumah kayu yang bebas asap? Kan mereka sudah sering melihat model rumah yang banyak dibangun misionaris di sana?", begitu argumentasi dokter Belanda yang memahami sejumlah logat pedalaman itu. Namun Vriend tentunya juga tahu, Suku Dani dikenal sangat ngotot mempertahankan kebudayaannya. Menurut kepercayaan suku ini, kebudayaan mereka merupakan induk kebudayaan suku-suku pedalaman lainnya, khususnya Paniai dan Amungme. Makanya, di kalangan pekerja pembangunan sosial di Irian Jaya ada semacam pemeo yang bunyinya: siapa dapat mempengaruhi orang Dani dapat mempengaruhi orang. Revolusi sosial di Irian Jaya harus dimulai dari Lembah Baliem dengan mencari dukungan orang Dani. Mungkin juga, ide Vriend yang "terlalu kebarat-baratan" itu dapat sedikit diperlunak. Misalnya: konstruksi rumah lebih diperkuat tanpa merubah colak bundarnya. Pemanasan api dibuat secara tak langsung, dengan menyaring asapnya sehingga tak tersedot ke paru-paru. Atau dibangun rumah panggung dengan pemanasan dari bawah. Pokoknya kolektifitas orang Dani dan corak arsitektur tradisionilnya tak perlu buru-buru dipermak. Mungkin ada baiknya ide perombakan itu didiskusikan dulu dengan Kelompok Studi Arsitektur Tradisionil IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia), misalnya Kelompok arsitek muda yang dipimpin ir Robby Sularto ini, belakangan juga sedang sibuk menghidupkan kembali arsitektur tradisionil Bali yang tahan gempa di daerah Seririt, Bali. Rumah-rumah di sini tempo hari terlanda bencana - hampir berbarengan dengan gempa di Lembah X Jayawijaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus