LEMBAH Baliem di pedalaman Irian Jaya kembali mengundang
perhatian. Bukan lantaran Obahorok mau kawin lagi dengan
perempuan kulit putih.
67 % kemudian di pedalaman pengunungan Jayawijaya itu,
dikabarkan disebabkan oleh penyakit paru-palu berasap
(fumocosis). Terutama penyakit itulah yang menekan umur
rata-rata penduduh Lembah Baliem sampai 40 tahun saja. Ini
dikemukakan seorang dokter Belanda yang masih bertugas di sana,
Win Vriend, dalam Simavi-Publikatie oktober 1976.
Tingginya persentase kematian lantaran paru-paru berasap itu,
menurut dr Vriend, disebabkan oleh kebiasaan hidup dalam pondok
kecil yang penuh asap. Karena itulah ketika masih bekerja di
tengah orang Jali di Angguruk, Kabupaten Jayawijaya, dia
mengusulkan kepada gereja kristen injili di sana agar
memperkenalkan bentuk rumah sehat dengan saluran asap.
Juga dengan bantuan GKI Irja Klasis Baliem-Yalimo di mana dia
bertugas waktu itu, dokter itu bermaksud berubah bentuk pondok
yang bundar dari dedaunan dan kulit kayu menjadi rumah kotak
papan. Sayangnya, sampai sang dokter ditarik. Pemerintah
untuk bekerja di rumah sakit Umum di Wamena, ibukota
kabupaten, pimpinan gereja di Jayapura belum bersedia menerima
gagasan rumah sehat yang bebas asap itu. Sehingga orang Dani
dan Yali yang tinggal pada ketinggian 1500 meter dimana suhu
malam sampai 10øC dipersilakan terus menyedot asap alias
bunuh diri perlahan-lahan.
Lemak Babi
Sebenarnya, gagasan dr Vriend itu dapat dianggap cukup radikal.
Menurut taksiran tak resmi, 40 sampai 60% penduduk Irian Jaya
(jumlah hanya sekitar 1 juta orang) bermukim di lembah-lembah
pegunungan Pegunungan Jayabaya dan Pegunungan Sudirman.
Konsentrasi terbesar tinggal di Lembah Baliem dan sekitarnya
(Kabupaten Jayawijaya), dan di sekitar Danau Paniai (Kabupaten
Paniai). Kawasan Lembah Baliem dihuni Suku Dani, sukunya
Obahorok, sedang Suku Ekari bermukim sekitar danau tadi.
Sebelum ini, di punggung selatan Pegunungan Sudirman
konsentrasi Suku Amungme cukup tinggi. Tapi banyak yang sudah
dimukimkan kembali lebih ke selatan untuk memungkinkan
maskapai lembaga Freeport Copper dari AS lebih bebas
beroperasi di sekitar Gunung Bijih (Ertsberg).
Nah, kembali ke Suku-suku Dani dan Yali di Pegunungan
Jayawijaya. Seperti dicatat Toeti Kakiailatu dari TEMPO yang
meninjau kembali Lembah X dan Lembah Baliem di masa gempa bumi
1976, "ada tiga cara orang Dani (yang hidup di ketinggian 1000
- 2500 meter) menghangatkan badan".
Pertama: melumuri badan yang nyaris telanjang itu dengan minyak
lemak babi. Kedua: berdiang di dalam pondok bundar mereka
(honei) di depan api. Dan ketiga: tidur berdempet-dempet di
malam hari dalam honei yang dapat menampung - 10 orang.
Posisi tidur mengelilingi api diatur seperti ruji roda kaum
lelaki dan kaum wanita tidur terpisah dalam honei khusus untuk
masing-masing.
Operasi Koteka
Sebagian orang Dani yang sudah masuk Kristen sudah mengenal
hidup berkeluarga dalam satu rumah. Tapi tetap juga rasanya
lebih hangat bersesak-sesak dengan kaumnya sendiri dalam rumah
kolektif. Tak banyak bedanya adalah adalah cara hidup Yalidi
Yalimo Rumah khusus lelaki di sana disebut yowi, sedang rumah
yang dibangun seorang suami untuk isteri-isterinya disebut
oba-alma.
Namun baik rumah orang Dani maupun orang Yali pada prinsipnya
sama. Dinding terbuat dari rusuk-rusuk kayu yang dilapisi
kulit kayu atau daunan. Begitu pula atap. Bahan bangunan itu
lapuk dalam tiga tahun. Tidak mengapa tinggal pergi ke hutan
mengambil bahan dan membangun rumah baru.
Dan dalam bangunan yang bagai kubuh itu, api dibiarkan terus
menyala sepanjang malam. Menurut penelitian dr Vriend, asap itu
per 1000 kg kayu mengandung 250 gram formaldehyde, 1 kg
karbohidrat, 15 kg karbon, 5 kg oksida zat lemas, dan 1 kg
oksida belerang. Jadi betapa orang tak mati muda ya kan?
Beberapa cendikiawan muda Irian Jaya yang ditemui TEMPO di
Jakarta, menyayangkan sikap gereja yang tak merasa penting
mengambil langkah drastis merombak cara rumah rakyat dan cara
penghangatan itu. Namun di pihak lain mereka menyadari pula,
bahwa rencana yang terlalu drastis seperti Operasi Koteka yang
dengan terlalu bersemangat mau mencomot pembungkus alat vital
orang Dani dan menukarnya dengan celana tak akan banyak
hasilnya. Begitu pula pembabatan honei untuk ditukar dengan
drastis dengan rumah papan -- dengan pediangan seperti di
Pegunungan Alpen, Eropa -- juga bisa menarnbah frustrasi orang
Dani sendiri.
Mendirikan penggergajian kayu di Lembah Baliem, tak banyak soal.
Dr Vriend malah mengangan-angankan penggergajian semi-mekanis
yang digerakkan generator listrik mini bertenaga air. Dan
memang, Pegunungan Jayawijaya cukup kaya dengan hutan serta
sungai yang mengalir melalui lembah-lembahnya. Namun bagaimana
dengan perubahan sosial yang perlu mengiringi pembangunan fisik?
Bagaimana cara menghapuskan kebiasaan tidur bergerombol di rumah
kolektif, misalnya?
Arsitektur Bali
Vriend, menurut rekan-rekannya di Jakarta, adalah penganut faham
perubahan sosial secara cepat. "Orang Irian kan sudah diajak
melompat dari abad batu ke abad pesawat terbang. Jadi mengapa
mereka tak dapat diajar terbiasa dengan rumah kayu yang bebas
asap? Kan mereka sudah sering melihat model rumah yang banyak
dibangun misionaris di sana?", begitu argumentasi dokter Belanda
yang memahami sejumlah logat pedalaman itu.
Namun Vriend tentunya juga tahu, Suku Dani dikenal sangat ngotot
mempertahankan kebudayaannya. Menurut kepercayaan suku ini,
kebudayaan mereka merupakan induk kebudayaan suku-suku pedalaman
lainnya, khususnya Paniai dan Amungme.
Makanya, di kalangan pekerja pembangunan sosial di Irian Jaya
ada semacam pemeo yang bunyinya: siapa dapat mempengaruhi orang
Dani dapat mempengaruhi orang. Revolusi sosial di Irian Jaya
harus dimulai dari Lembah Baliem dengan mencari dukungan orang
Dani.
Mungkin juga, ide Vriend yang "terlalu kebarat-baratan" itu
dapat sedikit diperlunak. Misalnya: konstruksi rumah lebih
diperkuat tanpa merubah colak bundarnya. Pemanasan api dibuat
secara tak langsung, dengan menyaring asapnya sehingga tak
tersedot ke paru-paru. Atau dibangun rumah panggung dengan
pemanasan dari bawah. Pokoknya kolektifitas orang Dani dan corak
arsitektur tradisionilnya tak perlu buru-buru dipermak.
Mungkin ada baiknya ide perombakan itu didiskusikan dulu dengan
Kelompok Studi Arsitektur Tradisionil IAI (Ikatan Arsitektur
Indonesia), misalnya Kelompok arsitek muda yang dipimpin ir
Robby Sularto ini, belakangan juga sedang sibuk menghidupkan
kembali arsitektur tradisionil Bali yang tahan gempa di daerah
Seririt, Bali. Rumah-rumah di sini tempo hari terlanda bencana -
hampir berbarengan dengan gempa di Lembah X Jayawijaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini