LUKISAN S. Sudjojono memang mirip catatan harian. Lukisan lahir
bukan saja karena dorongan estetik tapi memang ada
sangkut-pautnya dengan apa yang dialami. Itulah kenapa ia suka
sekali mencoret-coret lukisannya dengan kalimat-kalimat mirip
puisi. Misalnya pada potret Maya anak bungsu Sudjoiono -- yang
dilukis tahun 1976. ada ditulis: "Maya, tidak ada keagungan kita
dapat dari ngemis." Coret-coretan itu ternyata menambah
keartistikan lukisan: menjelma menjadi salah satu unsur yang
membentuk. Itulah kenapa sebuah Potret Dirinya terasa bagai
lukisan yang belum selesai, dengan terlihatnya penghapusan
coret-coretan yang tidak sepenuhnya bersih.
Menyatunya coretan itu mungkin karena lukisan Sudjojono memang
kasar: goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ketika kwas
belum bersih betul. Dan itulah kejujurannya. Dengan singkat,
lukisan Sudjojono yang berhasil memberi kesan lukisan yang kasar
tapi ramah, menyindir tanpa menyakitkan karena lucu.
Misalnya Perahu-perahu, di laut Tenang. Menggambarkan
perahu-perahu yang lagi berlabuh, sementara di darat ada
seorang tua membawa bakul ada sepasang pria-wanita, dan sapi.
Mungkin di suatu tempat pemandangan macam itu biasa. Tapi
Sudjojono berhasil memberi aksentuasi ada hewan satu itu,
sehingga lukisan terasa lucu. Juga dalam orang Indonesia
Menilpon. Dengan sapuan dan goresan yang kasar dan bentuk kepala
orang yang memang karikatural, dengan cerutu di mulut dan
telepon menempel pada telinga, pada saya terasa bagaimana
Sudjojono menggambarkan "orang Indonesia dan teknologi."
Sebagian besar karya Sudjojono yang dipamerkanya kali ini.
kehilangan hal-hal itu. Mengapa? Pemaandangan misalnya Fajar
Menyingsing, Gunung Gede di Waktu Malam, Borobudur Sekarang,
Megamendung di Sinar Matahari terasa hanya tangkapan potret
tanpa jiwa, tidak menyentuh. Tak ada yang diucapkan lewat
pohon dan gunung. Juga yang dibuat di luar negeri Pyford,
Dibawah Jembatan Westminster, Salju di Belakang Rumah hanya
menunjukkan bahwa pelukisnya seorang pembuat sket yang mahir,
tak lebih. Mengapa?
Dilihat dari bentuk dan gaya, agaknya lukisan Sudjojono mesti
didukung ide. Sebab bentuk dan gaya di sini tidak istimewa.
Bandingkan dengan pelukis lain yang gaya atau sapuan kwasnya
dekat dengan Sudjojono, Srihadi. Srihadi menjadikan gaya
sapuan dan pelotokannya sesuatu yang mencengkam kita. Kwas
artistik sapuan Srihadi punya nilai sendiri di samping ide-ide.
Tanpa hadirnya ide yang digambarkannya secara lucu itu pun
lukisannya masih berharga dilihat dari kwalitas artistiknya.
Sementara Sudjojono tidak sangat istimewa dengan sapuan dan
goresam Satu karya yang berhasil secara fotografis, Anak Saya
Main di Salju, yang dengan amat baik dan segar menggoreskan
mobil-mobil dan pohon-pohon, toh tidak lebih terasa hanya sebuah
ilustrasi. Di situ lukisan terasa hanya wadah. Isinya belum.
Memang kita tak bisa menuntut seorang seniman terus menghasilkan
karya baik. Tapi sebuah ulasan tak bisa tidak tergoda untuk
membandingkan karya baik yang pernah dicapai dengan karya
mutakhir. Tanpa merupakan apa yang telah dicapai Sudjojono
(lahir 14 Desember 1913), misalnya dengan Cap Go Men-nya
(1940-an), karya-karyanya kini agaknya menurun dilihat dari
ketajaman sindiran dan humor. Meskipun bila dibanding beberapa
pelukis sezamannya (misalnya Agus Djaya, Otto Djaya), ia kini
masih lebih. unggul.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini