Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Affandi, dari sebelah barat

Pengarang: popo iskandar jakarta: akademi, 1977 resensi oleh: bambang bujono. (bk)

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AFFANDI Oleh: Popo Iskandar Tebal: 71 halaman Ilustrasi: 49 reproduksi lukisan Affandi, berwarna dan hitam putih Penerbit: Akademi Jakarta, 1977 BUKU karangan Popo ini - yang juga seorang pelukis--kiranya memang buku terbaik tentang pelukis Indonesia sampai saat ini. Sebelumnya, Nugraha Sumaatmadja pernah juga menulis tentang Affandi (Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1976), yang lebih menitikberatkan pada manusia Affandi daripada kesenian Affandi. Cara Popo menulis memang apresiatif: mencoba menjelaskan segala sesuatu secara obyektif. Bab pertama menceritakan cara melukis Affandi dan kenapa ia melukis dengan cara itu. Kemudian perbandingan antara Affandi dan pelukis Belanda yang kesohor yang banyak dihubung-hubungkan dengan dirinya: Van Cogh. Selanjutnya perbandingan Affandi dengan pelukis Aust ria Oscal Kokoschka. Bab kedua lebih kurang penilaian Popo terhadap karya Affandi Dalam bab ketiga adalah rekaman omongan Affandi sendiri. Tak banyak sebetulnya yang bisa menambah pengetahuan kita jika kita telah membaca Affandi tulisan Nugraha di muka. Memang buku Popo lebih sistimatis. Meskipun agak mengembang ke kanan-kiri kurang efisien. Barangkali gaya menulis Popo - jika anda pernah membaca beberapa eseinya--memang demikian. Karena itu yang penting dalam buku ini adalah pandangan Popo tentang Affandi dan karyanya. Popo mengatakan tentang Affandi bahwa " .... sejak lukisannya Pengemis yang dibuatnya tahun 1944, sebenarnya tidak ada perubahan yang asasi pada karya-karyanya" (hal. 44). Tapi itu tak berarti negatif. Popo dengan rendah hati mencoba menyarankan: "Sebaiknya pula kita bisa melihat apa yang tersirat di balik gayanya yang tersurat. Apabila kita inin kembalikan seni kepada maknanya yang paling hakiki: Ekspresi!" (hal. 64). Sedang karya Affandi bagi Popo adalah karya-karya yang ".... sebenarnya lebih menyatakan sikap mentalnya sebagai manusia daripada menerangkan hubungannya dengan seninya" (hal. 36). Ini sejaiar dengan pernyataan Affandi sendiri ' .... saya melukis berdasarkan perikemanusiaan" (hal. 66). Ekspresionisme Yang agak mengejutkan kita barangkali pendapat Popo yang ini: "Affandi lelah memberikan sesuatu yang baru dalam perkembangan seni lukis di Indonesia: unsur garis yang merupakan pernyataan yang berdiri sendiri .... " (hal.59). Popo mustinya membuktikan hal itu: 'memberikan sesuatu yang baru'. Sebab berbicara tentang unsur garis ada dua orang pelukis seangkatan Affandi yang, pada hemat saya, juga menekankan unsur galis dalam karya - ialah Rusli dan Sudjojono. Karya cat air Rusli punya garis-garis yang tak memberi kesan apa, tapi artistik dan menyatu dengan keseluruhan lukisan. Sudjojono, terutama dalam sketsa, jelas sama-sekali menekankan pada garis untuk keberhasilannya. Tapi ketiga pelukis itu pun cukup meragukan bila disebut sebagai "memberikan sesuatu yang baru." Soalnya banyak pelukis yang tahu dan faham bahwa gans bisa berdiri sendiri -- tidaklah dari karya ketiga pelukis tersebut. Mereka tahu lebih dari buku-buku --kalau mereka membaca - atau dari dosen kalau pernah duduk di bangku kuliah. Pelajaran komposisi pertama yang diberikan di "ASRI" adalah, bahwa garis merupakan unsur paling krcatif dalam seni lukis .... Yang paling mengganggu saya dalam buku Popo adalah penekanannya, bahwa Affandi ekspresionis. Tanpa menjelaskan bahwa isme di Barat terpaut erat dengan latar kebudayaan dan sejarah seni lukis mereka, pembaca bisa sampai pada kesimpulan yang salah: bahwa Affandi adalah warga ekspresionisme. Tapi hal itu memang agak susah menghindarinya, sebab seni lukis modern Indonesia tidak berakar dalam bumi Indonesia. Susahnya, menulis tentang seni lukis kita butuh istilah untuk menjelaskan gaya seorang pelukis. Di situlah isme isme yang bertebaran dalam tulisan tentang seni lukis Indonesia seyogyanya memang difahami sebagai hanya menunjukkan gaya lukisnya tok, tanpa kaitan konsepsi. Itulah yang kurang dijelaskan Popo. Popo juga tidak menyebut satu buku referensi pun yang ia gunakan. Sehingga pemyataannya bahwa "lukisan hendaknya menjadi pesta untuk mata' menjadi semboyan bagi kaum impresionis termasuk Van Gogh dan selanjutnya hampir semua tokoh seni modern" (hal. 31), sulit sekali saya terima. Apa lagi Popo tidak menyebut contoh di situ. Demikianlah tulisan-tulisan tentang seni lukis, sebagian atau sama sekali, berpijak pada sejarah seni lukis Barat. Sehingga agak meragukan pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya. Dan demikianlah dalam beberapa hal, antara lain kesimpulan Popo bahwa Affandi ekspresionis, bahwa warna memegang peranan dalam seni modern, menjadi kabur dalam buku ini. Padahal. tentang Afrandinya sendiri sebetulnya Popo telah berangkat dengan baik: bertolak dari diri Affandi dan dukungannya, misalnya dengan menceritakan juga rumah Affandi di Yogya. Barangkali memang diperlukan editor untuk itu: memudahkan kalimat-kalimatnya, menyederhanakan ceritanya, sehingga tak ada bagian yang diulang-ulang tanpa menunjukkan relevansinya. Dan juga indeks. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus