AFFANDI
Oleh: Popo Iskandar
Tebal: 71 halaman
Ilustrasi: 49 reproduksi lukisan Affandi,
berwarna dan hitam putih
Penerbit: Akademi Jakarta, 1977
BUKU karangan Popo ini - yang juga seorang pelukis--kiranya
memang buku terbaik tentang pelukis Indonesia sampai saat ini.
Sebelumnya, Nugraha Sumaatmadja pernah juga menulis tentang
Affandi (Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1976), yang lebih
menitikberatkan pada manusia Affandi daripada kesenian Affandi.
Cara Popo menulis memang apresiatif: mencoba menjelaskan segala
sesuatu secara obyektif. Bab pertama menceritakan cara melukis
Affandi dan kenapa ia melukis dengan cara itu. Kemudian
perbandingan antara Affandi dan pelukis Belanda yang kesohor
yang banyak dihubung-hubungkan dengan dirinya: Van Cogh.
Selanjutnya perbandingan Affandi dengan pelukis Aust ria Oscal
Kokoschka. Bab kedua lebih kurang penilaian Popo terhadap karya
Affandi Dalam bab ketiga adalah rekaman omongan Affandi sendiri.
Tak banyak sebetulnya yang bisa menambah pengetahuan kita jika
kita telah membaca Affandi tulisan Nugraha di muka. Memang buku
Popo lebih sistimatis. Meskipun agak mengembang ke kanan-kiri
kurang efisien. Barangkali gaya menulis Popo - jika anda pernah
membaca beberapa eseinya--memang demikian. Karena itu yang
penting dalam buku ini adalah pandangan Popo tentang Affandi dan
karyanya.
Popo mengatakan tentang Affandi bahwa " .... sejak lukisannya
Pengemis yang dibuatnya tahun 1944, sebenarnya tidak ada
perubahan yang asasi pada karya-karyanya" (hal. 44). Tapi itu
tak berarti negatif. Popo dengan rendah hati mencoba
menyarankan: "Sebaiknya pula kita bisa melihat apa yang tersirat
di balik gayanya yang tersurat. Apabila kita inin kembalikan
seni kepada maknanya yang paling hakiki: Ekspresi!" (hal. 64).
Sedang karya Affandi bagi Popo adalah karya-karya yang "....
sebenarnya lebih menyatakan sikap mentalnya sebagai manusia
daripada menerangkan hubungannya dengan seninya" (hal. 36). Ini
sejaiar dengan pernyataan Affandi sendiri ' .... saya melukis
berdasarkan perikemanusiaan" (hal. 66).
Ekspresionisme
Yang agak mengejutkan kita barangkali pendapat Popo yang ini:
"Affandi lelah memberikan sesuatu yang baru dalam perkembangan
seni lukis di Indonesia: unsur garis yang merupakan pernyataan
yang berdiri sendiri .... " (hal.59).
Popo mustinya membuktikan hal itu: 'memberikan sesuatu yang
baru'. Sebab berbicara tentang unsur garis ada dua orang pelukis
seangkatan Affandi yang, pada hemat saya, juga menekankan unsur
galis dalam karya - ialah Rusli dan Sudjojono. Karya cat air
Rusli punya garis-garis yang tak memberi kesan apa, tapi
artistik dan menyatu dengan keseluruhan lukisan. Sudjojono,
terutama dalam sketsa, jelas sama-sekali menekankan pada garis
untuk keberhasilannya.
Tapi ketiga pelukis itu pun cukup meragukan bila disebut sebagai
"memberikan sesuatu yang baru." Soalnya banyak pelukis yang tahu
dan faham bahwa gans bisa berdiri sendiri -- tidaklah dari karya
ketiga pelukis tersebut. Mereka tahu lebih dari buku-buku
--kalau mereka membaca - atau dari dosen kalau pernah duduk di
bangku kuliah. Pelajaran komposisi pertama yang diberikan di
"ASRI" adalah, bahwa garis merupakan unsur paling krcatif dalam
seni lukis ....
Yang paling mengganggu saya dalam buku Popo adalah penekanannya,
bahwa Affandi ekspresionis. Tanpa menjelaskan bahwa isme di
Barat terpaut erat dengan latar kebudayaan dan sejarah seni
lukis mereka, pembaca bisa sampai pada kesimpulan yang salah:
bahwa Affandi adalah warga ekspresionisme.
Tapi hal itu memang agak susah menghindarinya, sebab seni lukis
modern Indonesia tidak berakar dalam bumi Indonesia. Susahnya,
menulis tentang seni lukis kita butuh istilah untuk menjelaskan
gaya seorang pelukis. Di situlah isme isme yang bertebaran dalam
tulisan tentang seni lukis Indonesia seyogyanya memang difahami
sebagai hanya menunjukkan gaya lukisnya tok, tanpa kaitan
konsepsi. Itulah yang kurang dijelaskan Popo.
Popo juga tidak menyebut satu buku referensi pun yang ia
gunakan. Sehingga pemyataannya bahwa "lukisan hendaknya menjadi
pesta untuk mata' menjadi semboyan bagi kaum impresionis
termasuk Van Gogh dan selanjutnya hampir semua tokoh seni
modern" (hal. 31), sulit sekali saya terima. Apa lagi Popo tidak
menyebut contoh di situ.
Demikianlah tulisan-tulisan tentang seni lukis, sebagian atau
sama sekali, berpijak pada sejarah seni lukis Barat. Sehingga
agak meragukan pengertian-pengertian yang terkandung di
dalamnya. Dan demikianlah dalam beberapa hal, antara lain
kesimpulan Popo bahwa Affandi ekspresionis, bahwa warna memegang
peranan dalam seni modern, menjadi kabur dalam buku ini.
Padahal. tentang Afrandinya sendiri sebetulnya Popo telah
berangkat dengan baik: bertolak dari diri Affandi dan
dukungannya, misalnya dengan menceritakan juga rumah Affandi di
Yogya. Barangkali memang diperlukan editor untuk itu: memudahkan
kalimat-kalimatnya, menyederhanakan ceritanya, sehingga tak ada
bagian yang diulang-ulang tanpa menunjukkan relevansinya. Dan
juga indeks.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini