Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH Charles Robert Darwin menerbitkan karyanya, On The Origin of Species by Means of Natural Selection, 150 tahun yang silam, apa yang masih bisa dilakukan oleh para ahli biologi sesudahnya? Pertanyaan ini menyiratkan seolah-olah teori yang dibangun oleh Darwin sudah final. Ada dua hal pokok yang disampaikan Darwin lewat publikasi itu: pertama, evolusi itu memang benar terjadi, dan kedua, evolusi itu terjadi melalui mekanisme seleksi alam.
Satu setengah abad adalah waktu yang relatif panjang untuk menguji gagasan Darwin. Tak cuma memicu kontroversi di kalangan Victorian, karena dianggap menggerogoti keistimewaan status moral manusia, gagasan seleksi alam Darwin terus menghadapi kritik dan dukungan. Pada 1930-1940-an, misalnya, ahli biologi evolusioner seperti Erns Mayr dari Universitas Harvard berada di barisan yang mengukuhkan ulang teori Darwin.
Mayr menggabungkan gagasan Darwin dengan genetika. Inilah yang disebut ”sintesis modern”. Gagasan intinya: evolusi bertahap dapat dijelaskan melalui mutasi acak dan rekombinasi genetis. Genetika kemudian menjadi senjata ampuh di tangan Richard Dawkins, guru besar Universitas Oxford. Karya masyhurnya, The Selfish Gene (1976), mengubah fokus seleksi alam dari spesies menuju gen—yang dikomentari sesama Darwinis ”telah mematikan secara prematur ide seleksi kelompok”. Argumen Dawkins: yang terpenting dari seleksi alam ialah apakah gen tertentu—bukan individu atau kelompok individu—mereplikasi diri sehingga menghasilkan generasi masa depan. Gen-gen yang tak mereplikasi diri berarti gagal berevolusi.
Sebagai Darwinis yang keras, Dawkins menyerang siapa saja yang menentang teori Darwin, yang dianggapnya sebagai ”penyingkapan alam yang tertinggi dan tanpa tandingan”. Dengan pedas ia menyebut ide punctuated equilibrium yang dikembangkan Stephen Jay Gould tak lebih dari ”serpihan yang cukup menarik dalam teori neo-Darwinisme”.
Gould, paleontolog Harvard yang sudah almarhum, memang tergolong ilmuwan yang berambisi menumbangkan dominasi teori Darwin. Bersama Niles Eldredge, ia memperkenalkan teori punctuated equilibrium. Menurut Gould, spesies tumbuhan dan hewan muncul relatif cepat (kurang dari 100 ribu tahun) dan bukan melalui proses perubahan bertahap ala Darwin. Gould juga menyebut teori Darwin tak menawarkan penjelasan yang memadai, apalagi komprehensif, mengenai perkembangan budaya atau kompleksitas perilaku manusia.
Lynn Margulis, yang bersama James Lovelock mengembangkan ide gaia, juga mencoba menandingi Darwin dengan menyodorkan simbiosis sebagai alternatif atas peran kompetisi antarindividu dan spesies. Ia menganggap simbiosis bisa menjelaskan kenapa spesies tertentu muncul tiba-tiba dan tak berubah untuk waktu begitu lama.
Margulis tak menyalahkan premis dasar Darwin dan sepakat bahwa evolusi memang terjadi dan masih terjadi. ”Pertanyaannya, bagaimana evolusi itu terjadi. Di sinilah orang berbeda pendapat,” katanya. Sementara Margulis menawarkan simbiosis, Stuart Kauffman menyodorkan prinsip pengorganisasian diri, yang menurut ahli biokimia dan penulis The Origin of Order (1993) ini lebih berfungsi dibanding seleksi alam, terutama untuk kehidupan yang kompleks.
Kendati terus dikritik, bahkan kecaman-abadi datang dari kalangan kreasionisme, Darwin tetap membiakkan pengaruhnya hingga ke arena sosiobiologi yang dipelopori Edward O. Wilson. Penulis Sociobiology (1975) ini menerapkan prinsip evolusi untuk menjelaskan perilaku sosial serangga guna memahami perilaku hewan lain, termasuk manusia. Seluruh perilaku makhluk ini, kata Wilson, adalah produk hereditas dan stimuli lingkungan, serta pengalaman—bahkan, warisan genetis berperan lebih besar. Muncul kontroversinya: apakah perilaku jahat seseorang adalah akibat sifat yang diturunkan atau dibentuk oleh lingkungannya?
Di dunia psikologi, gagasan evolusi dikembangkan Steven Pinker, psikolog kognitif dari MIT. Murid Wilson ini menorehkan dalam The Language Instinct bahwa kapasitas manusia dalam berbahasa adalah berkah genetis sebagai hasil evolusi melalui seleksi alam terhadap jaringan saraf khusus di otak.
Kita, dalam waktu dekat ini, mungkin tak akan menyaksikan tumbangnya teori seleksi alam Darwin, yang digambarkan oleh Gould sebagai ”revolusi ideologis terbesar dalam sejarah sains”. Berbagai penemuan, termasuk penemuan struktur DNA oleh Watson dan Crick (1953), sejauh ini memperkuat intuisi Darwin. Jadi, untuk sementara, yang dapat dilakukan ilmuwan ialah terus menambahkan catatan kaki atas karya Darwin.
Dian R. Basuki, peminat isu sains
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo