Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Usk dan Monumen yang Terlupakan

Wallace tak cuma mengilhami ilmuwan, tapi juga penyair dan perupa. Tempo mengunjungi kota kelahirannya di Wales.

2 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Kota Usk, nama Alfred Russel Wallace terkikis oleh lupa. Penduduk kota kecil di wilayah Monmouthshire di selatan Wales itu menggeleng atau mengangkat bahu setiap ditanya tentang Wallace, Monumen Llanbadoc, atau Kensington Cottage/House—rumah masa lalu Wallace.

”Bukankah dia lahir di sini?” Tempo bertanya kepada seorang resepsionis hotel. Sang petugas berusaha memeras ingatan sebelum akhirnya angkat bahu. Ia pun meminta maaf tak bisa memberikan informasi apa pun.

Usk—baca ausk, dengan au yang hampir terdengar seperti o—berpenduduk sekitar dua ribu jiwa. Berada di tengah-tengah perbukitan antara Kota Newport dan ibu kota Wales, Cardiff, kota ini hampir tak terjangkau oleh turis. Tak ada kereta menuju Usk. Perjalanan panjang lebih dari lima jam dengan kereta dari Poole, Inggris—setelah berganti kereta di Southampton Central—hanya sampai di stasiun kereta Newport. Setelah itu hanya ada pilihan menggunakan mobil untuk sampai ke Usk.

Jalan utama yang membelah Usk mentok di bibir hutan. Meski terpencil, masyarakat setempat menganggap kota ini sebagai tempat peristirahatan bagi kalangan berduit. Hutan dan ladang banyak dijadikan ranch serta tempat melatih kuda milik orang kaya dari kota besar seperti London atau Cardiff.

Di kota sunyi dengan hutan yang sebagian telah beralih rupa inilah Wallace memulai kegemarannya mengumpulkan jenis satwa dan fauna. Penyair Anne Cluysenaar yang ditemui Tempo menceritakan kisah Wallace kecil yang amat tertarik melihat perbandingan antara pohon satu dan pohon lainnya. ”Ia juga penasaran pada jenis ikan sungai yang beragam. Mengapa, misalnya, ikan tertentu hanya ada pada musim tertentu,” ujar Cluysenaar.

Cluysenaar adalah sebuah perkecualian dari sekian banyak penduduk Usk yang bolot terhadap reputasi putra terbaik mereka. Putri dari pelukis terkenal asal Belgia, Jean Cluysenaar, ini sebenarnya bukan warga Usk. Ia tinggal di Usk hanya untuk menghabiskan masa pensiun. Dua puluh tahun lalu, warga negara Irlandia ini bersama suaminya membeli sebuah peternakan kecil di bibir hutan dekat Sungai Usk yang membelah kota menjadi dua bagian. Bagian timur sungai adalah pusat Kota Usk, sementara di seberangnya terdapat wilayah kecil Desa Llanbadoc.

Di awal kepindahannya ke Usk dari Irlandia, Cluysenaar mengikuti sebuah wisata sejarah alam yang diselenggarakan oleh ilmuwan Wales, Colin Titcombe. Suatu kali, Colin berhenti di tepi Sungai Usk dan menunjuk sebuah rumah di seberang jalan. Ia mengatakan di sanalah rumah Wallace dilahirkan. ”Seperti juga reaksi banyak orang, saya bertanya: siapa tuh?” Cluysenaar mengisahkan.

Penjelasan Titcombe itu memicu rasa penasaran Cluysenaar. Ia rajin pergi ke berbagai museum sejarah alam di Inggris untuk mengetahui siapa dan apa peranan Wallace dalam evolusi seleksi alam. ”Saya mendapati Wallace tak pernah membatasi dirinya hanya berada dalam pagar sains,” kata Cluysenaar.

Wallace memang tak hanya menjadi salah seorang ahli biologi lapangan terhebat pada abad ke-19. Ia memiliki minat yang luas, mulai dari menulis buku geografi, demokrasi, filsafat, agraria, pengobatan alternatif, frenologi—studi tentang kepribadian seseorang berdasarkan bentuk dan ukuran tengkorak—hingga komunikasi dengan roh.

Cluysenaar menambahkan satu lagi: Wallace punya minat pada seni. Buku otobiografi Wallace, My Life: A Record of Events and Opinions, misalnya, menurut Cluysenaar, memperhatikan betul pendekatan seni. ”Saya membaca tulisannya seperti membaca puisi kehidupan,” kata Cluysenaar.

Suatu kali Wallace menulis: ”…meskipun kita bisa bilang tujuan eksistensi kita telah lengkap, sesungguhnya ada begitu banyak keajaiban dan keindahan dari penciptaan di sekitar kita yang luput kita catat.” Dari kalimat inilah Cluysenaar terinspirasi menulis sejumlah puisi yang kemudian diterbitkan dalam buku puisi terbarunya berjudul Batu-Angas: Envisioning Nature with Alfred Russel Wallace (Oktober, 2008). Kumpulan puisi ini mendapat banyak pujian dari kritikus di jurnal-jurnal seni di Inggris dan Wales. Seperti judulnya, buku puisinya yang kelima ini berusaha menyusuri pemikiran Wallace.

Bersama Cluysenaar, Tempo kemudian menyusuri Desa Llanbadoc, tempat Wallace lahir pada 1823. Kensington Cottage atau sekarang lebih dikenal sebagai Kensington House terletak persis menghadap Sungai Usk. Kensington Cottage masih persis seperti foto lama yang terdapat di buku My Life.

Bedanya sekarang ada jalan raya yang melintas di depannya. Juga pada warna cat putih yang terlihat baru serta perubahan kecil pada bagian teras belakang. Kensington Cottage berdiri menyendiri, jauh dari rumah-rumah lainnya. Rumah putih ini menghadap sungai, dikelilingi halaman luas dan hutan kecil. Sayangnya, pemandangan langsung ke arah sungai sekarang terhalang oleh tepi sungai yang ditinggikan untuk melindungi jalan raya dari luapan air jika musim hujan menjelang.

Sambil berjalan menyusuri tepian sungai dan memandang Kensington Cottage dari seberang jalan, Cluysenaar menunjukkan sebuah bangku besi yang menghadap sungai dan terlihat tak berbeda dari bangku-bangku lain yang biasa terdapat di bibir sungai. ”Bangku ini semacam monumen yang diperuntukkan bagi Wallace,” kata Cluysenaar sambil menunjuk bangku yang terletak di seberang jalan di depan Kensington Cottage.

Benar saja, ada sebuah plakat di atas bangku besi yang bertuliskan: Erected by Llanbadoc Community Council August 1988 to commemorate Alfred Russel Wallace 1823-1913, Self Taught Scientist, World Traveler, Social Reformer and Originator of The Theory Of Evolution Independently of Darwin in 1858. Born in Kensington Cottage (opposite) and lived there until 1829.

”Kalau tak memperhatikan, orang tak akan tahu bangku ini adalah monumen,” kata Cluysenaar. Karena kurangnya pengetahuan masyarakat sekitar tentang Wallace, Cluysenaar berencana menghimpun komunitas setempat agar membuat brosur berisi peta dan sejarah singkat Wallace yang akan disebarkan ke berbagai hotel di Usk. ”Agar turis atau siapa saja yang berkunjung bisa dengan mudah menemukannya,” kata Cluysenaar.

Tak begitu jauh dari Kensington Cottage terdapat gereja tua Llanbadoc yang dipenuhi dengan rimbun pohon cemara. Gereja Llanbadoc yang dibangun sekitar 1500 merupakan tempat Wallace dibaptis. Di halaman gereja yang juga berfungsi sebagai kuburan ada pula dua kuburan saudara perempuan Wallace yang meninggal di usia belia.

Di depan gereja inilah terdapat sebuah batu monumen yang dibangun pada 2006 dan dinamai Monumen Llanbadoc. Monumen yang didedikasikan untuk Wallace ini terbuat dari fosil batu kapur berumur 350 juta tahun. Di beberapa bagian, jika hujan baru mengguyur, akan tampak fosil-fosil binatang laut yang menempel di batu purba ini.

Cluysenaar menulis fragmen XV pada buku puisi Batu-Angas: Envisioning Nature with Alfred Russel Wallace:

On a rainy day, I climbed there,
Slipping, cutting my palms.
I couldn’t see much, but my fingers
Picked out from a litter of stones
Fossiliferous scumble – the debris
Of salt shallows.

Di komunitas seni, Cluysenaar tak sendirian mengagumi Wallace. Cornelia Hesse-Honegger, misalnya, menerbitkan buku berjudul Heteroptera: The Beautiful and The Other, or Images of Mutating World. Buku ini berisi puluhan ilustrasi gambar belalang, serangga, kupu-kupu, dedaunan hingga ke detail-detail serat, bahkan bulu kaki yang terdapat di binatang-binatang kecil.

Dari sekadar hobi mengkoleksi serangga, Cornelia kemudian terpikir menggambar koleksinya dengan berbagai macam alat, mulai dari pensil hingga cat air. Ia pun menemukan sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa. Keindahan lukisannya memunculkan sebuah fakta baru: ternyata di sejumlah daerah rawan nuklir mulai dari Ticiono, Swedia, hingga Chernobyl, belalang dan serangga di sekitarnya ikut terkena getah. Semuanya cacat dengan komposisi tubuh tak lengkap.

Di sini Cornelia telah memerankan diri sebagai scientific-illustrator. Dalam On Learning to See by Painting Pictures, ia menulis: ilmuwan bisa menemukan berbagai cara untuk melihat atau menciptakan karya ilmiah lewat karya seni.

Seperti juga Wallace, Cornelia menyadari berbagai perbedaan yang ”tak terlihat mata telanjang” dalam gambar-gambar yang dibuatnya. ”Saya mengenal Wallace dan saya bisa bilang bahwa kami sama-sama terinspirasi oleh alam dan misteri yang disimpannya,” kata Cornelia.

Mengutip kata Wallace dalam My Life: ”… I possessed a strong desire to know the causes of things, a great love of beauty in form and colour….”

Asmayani Kusrini (Wales)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus