Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memaparkan berbagai dampak kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat terhadap Indonesia. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan salah satu efek yang paling kentara adalah perubahan pola hujan. Intensitas dan frekuensi hujan di wilayah tropis sedang meningkat drastis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Curah hujan meningkat sekitar 10-20 persen di Asia Tenggara, termasuk di sebagian wilayah Indonesia,” katanya kepada Tempo pada Jumat, 17 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski sebagian wilayah Indonesia kebagian cuaca ekstrem, ada juga area yang curah hujannya merosot, terutama wilayah bagian selatan. Perubahan pola hujan bisa menyebabkan kekeringan dan mengganggu pertanian.
Dampak lain peningkatan suhu dunia adalah kenaikan muka air laut. Menurut Dwikorita, pemuian air laut dan pencairan es di kutub membuat muka laut semakin tinggi. “Perubahan massa es di Antartika dan Greenland juga mempengaruhi keseimbangan air laut yang dapat memicu banjir pantai, serta erosi pantai,” kata dia.
Kenaikan suhu global 1,5 derajat Celcius mempercepat pencairan gletser atau tutupan es salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Penurunan ketebalannya mencapai 1-5 meter per tahun. Itu juga sebelum diperparah oleh El Nino.
Hilangnya salju, Dwikorita meneruskan, dapat merugikan ekosistem dan kehidupan masyarakat adat di sekitar Puncak Jaya. "Pada 1850 luas area es di sana masih 19,3 kilometer persegi. Pada April 2022 tersisa 0,23 kilometer persegi," tutur dia.
Kenaikan suhu global, kata Dwikorita, bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan diprediksi akan meningkat frekuensi dan intensitasnya seiring berubahnya pola curah hujan. "Data kebencanaan oleh BNPB menyatakan bahwa bencana hidrometeorologi adalah bencana paling dominan dibandingkan bencana alam lainnya," kata dia.
Hasil studi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebelumnya mengungkapkan risiko kerugian ekonomi senilai Rp 115 triliun di Indonesia akibat dampak perubahan iklim pada 2024. Dwikorita menyebut kebijakan pembangunan rendah karbon, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, menekan risiko tersebut hingga 50,5 persen. Dampak kerugian akibat iklim pada tahun lalu disebut berkurang menjadi Rp 57 triliun. ‘
Efek Domino Lonjakan Suhu Bumi
Dinamika cuaca juga membawa efek domino, yakni penyakit seperti malaria. Sektor kesehatan, kata Dwikorita, diprioritaskan dalam penanganan perubahan iklim. Langkah itu dimasukkan dalam kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI).
"Menurut perhitungan Bappenas pada 2020, kerugian di sektor kesehatan akibat dampak perubahan iklim pada 2020-2024 mencapai Rp 31,3 triliun." ucap dia.
Kenaikan suhu bumi juga dikhawatirkan menggerus habitat alami hewan dan tumbuhan, seperti hutan tropis. Masalah global ini juga mengancam spesies endemik seperti orangutan dan harimau sumatera. Ketahanan pangan, air, dan energi juga turut terancam.