USAHA mengembangbiakkan ikan lele Bangkok tak henti-hentinya dilakukan - para ahli perikanan Indonesia. Sejak ikan itu dibawa ke sini dan mulai diteliti di kolam percobaan Balai Penelitian Perikanan Darat, Cibalagung, Ja-Bar, pada 1972, pengembangbiakannya tetap sulit. Percobaan paling akhir dilakukan di Balai Benih Ikan Cangkringan (BBIC), Yogyakarta, Februari lalu. Hasilnya? "Ada yang lahir, tapi belum memuaskan," kata Ir. Harsono Puspowardoyo, kepala Dinas Perikanan D.I. Yogyakarta. Ia menambahkan uji coba akan dilakukan lagi, pekan ini. Lele Bangkok (Pangasius sutchi), seperti namanya, memang berasal dari Muangthai. Disebut juga jambal Siam, lele ini banyak berkeliaran di selokan-selokan Kota Bangkok. Di sana - juga di negara-negara Indocina lainnya - ikan ini mempunyai nilai ekonomis tinggi, karena laku. Dipelihara secara intensif di kolam-kolam rakyat, di negeri asalnya, lele itu berkembang biak secara alami. Berbeda dengan di kolam asalnya, di Indonesia, teknik pembenihan (yang lazim disebut pemijahan) dilakukan dengan cara injeksi. Yaitu, menyuntikkan hormon hipofisa (cairan otak) ke tubuh lele Bangkok betina untuk merangsang keluarnya sel telur. Hipofisa yang disuntikkan ini diambil dari ikan emas karena jenis ikan ini sudah banyak ada. Sebelum 1979, ketika lele Bangkok ini diteliti di Cibalagung, hipofisa diambil dari ikan sejenis. Cara ini dianggap tidak ekonomis karena lelenya harus diimpor. Pembiakan alamiah belum pernah memberikan hasil, diduga karena perbedaan iklim dan lingkungan perairan. Ketika uji coba pertama yang dilakukan di BBIC, dipilih seekor lele betina seberat 6 kg. Pemijahan dimulai dengan menyuntikkan hipofisa ikan emas sebanyak empat dosis. Karena setiap satu kilogram berat induk lele Bangkok membutuhkan hipofisa ikan emas seberat empat kilogram, maka ikan impor itu membutuhkan hipofisa dari 24 kg ikan mas. Empat dosis hipofisa itu disuntikkan dalam dua tahap dengan tenggang waktu sepuluh jam. Cara serupa juga dilakukan terhadap lele jantan. Sepuluh jam setelah penyuntikan kedua, sel telur di perut lele Bangkok itu dikeluarkan dengan mengurut perutnya (distriping). Hampir bersamaan waktunya, sperma dari lele jantan juga dikeluarkan dan dicampur dengan sel telur tadi, lalu diaduk-aduk sampai benar-benar bercampur. Kemudian campuran itu ditampung dalam dua tempat penetasan - sebuah tabung kaca serat (fibre glass ), dan sebuah kolam beton ukuran empat kali dua meter. Telur yang dimasukkan ke kaca serat, sebanyak 250 butir, sedang yang di kolam tidak dihitung, diamati selama 72 jam - batas waktu penetasan. Menurut Harsono, daya tetas di kolam beton ternyata kurang dari 1%. Sedangkan di tabung kaca serat menetas 2,3%. Harsono berharap pada uji coba kedua hasilnya bisa lebih baik. Bagi Sri Sumastri, M.Sc., kepala Subbalai Penelitian Perikanan Air Tawar (SBP2AT), Departemen Pertanian, berhasilnya penetasan telur lele Bangkok di BBIC merupakan suatu kemajuan. Sebab, percobaan di Cibalagung tak ada yang menetas. "Penelitian yang kami lakukan sekarang adalah bagaimana memelihara larva ikan itu," kata Sri Sumastri. Dari saat menetas sampai berumur 15 harimerupakan usia kritis bagi larva lele Bangkok. Tingkat kematiannya tinggi - sampai 95% - karena larva itu bersifat kanibal, bdak aktif mencari makanan, dan peka terhadap kekeruhan. Jika larva itu melewati masa kritis, pertumbuhannya baik sekali. Di BBIC, ada sekitar 200 ekor lele Bangkok - sebagian dari hasil uji coba awal Februari - yang mempunyai berat sampai 6 kg. Tergolong ikan bergizi tinggi (kandungan proteinnya 18% dan kandungan lemaknya 13%) lele Bangkok tergolong makanan mahal. Harganya, sebelum dimasak, Rp 5.000 per kg - hampir 10 kali harga lele lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini