KALAU ada tenaga ahli yang terus-menerus bergelut dengan masalah energi di pabrik gula, mungkin Abel Silalahi orangnya. Tahun lalu, misalnya, rektor Institut Teknologi Nasional (ITN), Malang, itu merancang alat pengering yang mampu meningkatkan nilai opak ampas tebu (TEMPO, 7 Juli 1984). Kini, insinyur pertama lulusan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (1970) itu mengumumkan penemuannya: instalasi pengering dan pembuat arang ampas tebu. Memiliki pengalaman kerja 25 tahun di beberapa pabrik gula di Indonesia, Abel, 55 sempat pula melakukan penelitian di Australia dan Hawaii. "Ternyata, instalasi seperti yang saya rancang ini belum ada di kedua tempat itu," katanya kepada M. Baharun dari TEMPO, pekan lalu. Menurut perhitungan Abel, dengan instalasinya ini devisa negara bisa dihemat sekitar Rp 41 milyar setahun. Hingga 1954, pabrik-pabrik gula di Indonesia menggunakan bahan bakar ampas tebu dan kayu-kayuan, dengan teknologi pemerasan yang menghasilkan kadar air hanya 47%. Setelah itu, pabrik gula mulai menggunakan bahan bakar minyak bumi residu. Dalam penelitian Abel di 60 pabrik gula, hingga 1982, BBM residu yang terpakai rata-rata 200.359,74 ton per musim giling per tahun. "Kalau harganya Rp 200 ribu per ton, hitung saja jumlahnya," ujar ayah empat anak itu. Pada sistem Abel, digunakan alat pengering yang memanfaatkan asap buangan pabrik dari cerobong asap. Dengan "memainkan" suhu antara 300C dan 400C, kadar air ampas tebu bisa ditekan sampai 35%. Pada tingkat ini bisa dicapai nilai bakar 2.540 kcal per kg. Namun, Abel belum menganggap nilai bakar ini maksimal. Melalui sebuah proses, nilai itu bisa ditingkatkan tiga kali. Caranya, ampas tebu yang hanya mengandung kadar air 35% itu dimasukkan ke dalam kotak khusus dari baja, dan dipanasi selama waktu tertentu dengan suhu 500C-600C. Keluar dari box ini, ampas berubah menjadi arang, dengan nilai bakar 8.100 kcal per kg. Box itulah yang, kemudian, di bengkel kerja ITN mendapat nama Bagasse Drying and Carbon System (BDCS), alias "mesin pembuat arang". Bersama komponen lain yang merupakan instalasi hemat energi itu, mesin ini terpajang dalam bentuk miniatur dan sempat ditinjau Menteri P dan K Nugroho Notosusanto (almarhum) dalam sebuah kunjungan ke perguruan tersebut. "Bentuk lain yang bisa dioperasikan sedang dibuat," tutur Washington, staf peneliti ITN yang membantu Abel. Penelitian itu - menurut insinyur asal Pematangsiantar, Simalungun, Sumatera Utara, tersebut - melibatkan 60 tenaga dan menelan biaya Rp 50 juta. Dana itu, "Selain dari kantung saya sendiri, juga dari ITN dan PT Indocode Surabaya," kata anggota veteran RI pemegang tiga bintang jasa itu. PT Indocode, yang bergerak di bidang jasa konsultan, memang sudah lama tertarik pada gagasan dan penemuan Abel. Sayangnya, sang penemu masih keberatan menjelaskan rumus dan hitungan terinci instalasinya. "Berbeda dengan alat pengering ampas tebu terdahulu, instalasi ini belum saya patenkan," katanya. Dengan kata lain, Abel khawatir desainnya dijiplak. Toh, keseluruhan instalasi itu sudah ia beri nama gagah, Combustion Technology Bagasse Drying (CTBD). Dilihat dari nilai bakarnya, 8.100 kcal per kg, instalasi ini layak di pertimbangkan. Dari catatan 1936 hingga 1941 di seluruh pabrik gula di Indonesia, rata-rata nilai ampas tebu berkisar antara 2.050 kcal per kg dan 2.107 kcal per kg. Opak adalah ampas yang baru keluar dari gilingan akhir dan langsung diumpankan ke dapur ketel. Untuk CTBD, 90% komponen bisa dibuat di dalam negeri. "Hanya beberapa komponen kecil yang harus dibeli dari luar, misalnya alat pengukur panas," ujar Abel, yang sedang menyiapkan disertasi doktor bidang teknik mesin di Universitas Brawijaya, Malang. Ia sudah siap menerima pesanan instalasi dengan kapasitas yang berkisar antara 700 ton per 24 jam dan 22.700 ton per 24 jam. Penemuan ini dimaksudkan Abel, selain menghemat energi dan meningkatkan hasil pembakaran, juga mempercepat masa giling. Untuk menghadapi kemungkinan kekurangan bahan ampas tebu, yang berjumlah 4.120.306,3 ton per tahun, CTBD dibikin "luwes", bisa juga menerima bahan lain, misalnya limbah pertanian - seperti tempurung kelapa, alang-alang, kulit kopl, ampas serai, dan batang jagung. Rata-rata bahan tadi mempunyai nilai bakar antara 2.000 dan 3.000 kcal per kg. Instalasi juga dilengkapi dengan "alat cetak", yang bisa menghasilkan briket arang Tetapl, untuk penggunaan d pabrik tebu, briket itu sebetulnya tidak diperlukan. Malah, proses pencetakannya bisa memboroskan waktu dan memperlambat masa giling. "Alat cetak itu hanya untuk pantas-pantasan kalau kebetulan orang ingin arang yang berbentuk bagus dan seragam," kata Abel. Yang terasa berat, mungkin, iustru harga Instalasi itu. Abel memasang harga sekitar Rp I milyar untuk sebuah unit instalasi. "Tetapi, bagi pabrik gula, investasi itu sudah kembali dalam masa tiga kali musim giling," katanya, yakin. Bagaimana kalau hanya mesin pembuat arangnya? "Sekitar Rp 300 juta, dan kami siap menerima pesanan sewaktu-waktu," jawab Abel. Sampai saat ini memang belum ada pihak yang memesan . Yang tampaknya agak berminat adalah PTP Surabaya. Mereka telah mengutus anggota dewan direksinya menjenguk Abel dan meminta penjelasan perihal penemuan tersebut. Namun, "Prioritas penjualan akan saya berikan untuk pabrik gula," kata Abel. Kalau toh mereka tidak berminat ia berniat menjual penemuan ini ke luar negeri. Mesin pengering temuan Abel terdahulu, misalnya, sempat diincar beberapa perusahaan dari Singapura, Hong Kong, dan Jerman Barat. Instalasi baru ini memang belum "ditawar". Tetapi Abel yakin sekali. Apalagi, setelah percobaan beberapa kali, hasilnya dinilai sukses. "Akan segera saya patenkan," kata Abel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini