Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Derita bumi yang gonjang-ganjing

Gempa bumi di tajikistan berkekuatan 6 skala richter. di indonesia, gempa yang berkekuatan 5,1 skala richter bisa menimbulkan kerusakan berat. tapi beruntung karena pusat gempa umumnya jauh.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENCANA itu datang pada keremangan pagi. Disertal suara gemuruh, Senin pagi pekan lalu, jutaan meter kubik lumpur menerjang Desa Sharora dan sekitarnya. Hanya dalam sekejap, kawasan penghasil anggur dan susu, di Negara Bagian Tajikistan, Uni Soviet, itu berubah menjadi kubangan lumpur. Sekitar seribu orang menemui ajal sebelum sempat menatap terbitnya matahari. Musibah di Tajikistan itu merupakan bencana alam kedua akibat gempa bumi, yang terjadi di Uni Soviet selama dua bulan terakhir. Awal bulan lalu, Armenia koyak oleh gempa berkekuatan 6,9 pada skala Richter. Hampir 100 ribu jiwa konon melayang akibat amukan gempa itu. Malapetaka di Tajikistan, 2.100 km di timur Armenia, itu diawali oleh guncangan selama 40 detik, yang sempat membuat sebagian penduduk terjaga. Namun, belum sempat mereka menyadari apa yang terjadi, gulungan lumpur itu telah hadir di pelataran rumah. "Mula-mula lumpur itu menjebol pintu, jendela, lalu menenggelamkan rumah-rumah kami," tutur Mahmad Maradov, penduduk Kampung Okuli Bolo, yang bertetangga dengan Desa Sharora. Gempa berkekuatan 6 pada skala Richter itu tak banyak menimbulkan kerusakan langsung atas rumah-rumah penduduk. Namun, guncangan ini rupanya mengakibatkan runtuhnya tebing dan dinding perbukitan yang mengitari lembah itu, yang berubah menjadi lumpur dan menerjang permukiman penduduk. Kawasan Uni Soviet di bagian selatan, yang berbatasan dengan Turki, Irak, Iran, Afghanistan, hingga Cina memang merupakan bagian bumi yang gonjang-ganjing. Daerah itu berada pada sekitar garis pertemuan antara tiga buah lempengan kerak bumi. Stabilitas tanah, suatu saat, bisa saja berguncang jika lempengan besar yang berdesakan itu itu tiba-tiba ambrol. Daratan dan lautan pada dasarnya bertumpu pada lempengan-lempengan besar, yang berperan seperti fondasi. Ada banyak lempengan yang membangun permukaan bumi ini. Lempengan Eurasia, misalnya, menjadi tumpuan bagi kontinen Eropa, Kepulauan Inggris, sebagian Samudera Atlantik di sebelah barat Eropa, sebagian besar Asia, termasuk Jepang dan Indonesia Barat. Daratan Idia, kendati menyatu dengan Asia, sebetulnya berada di atas lempeng Australia-India. Lempeng ini sebagian besar merupakan tumpuan bagi Samudera Hindia dan sebagian Pasifik di sebelah timur dan selatan Australia. Benua Australia, daratan India, dan sebagian Irian adalah kontinen yang dibangun di atas lempeng ini. Afrika dan sebagian laut di sekelilingnya juga merupakan lempeng tersendiri. Begitu pula dengan kawasan Arab -- mulai dari Yordania, Israel, Arab Saudi, Yaman, dan sebagian Iran serta Irak -- bertumpu pada Lempeng Arabia. Lantas, ada pula Lempeng Amerika Selatan, Lempeng Amerika Utara, Lempeng Laut Filipina, dan Lempeng Carolina, yang meliputi sebagian Irian. Lempeng kerak bumi itu tidak mau berdiam diri. Mereka senantiasa bergerak. "Kecepatannya beberapa senti sampai 10 cm per tahun," kata Prof. John Ario Katili, pakar geologi dari ITB, yang kini menjabat Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral. Akibatnya, tutur Katili, antarlempeng itu terjadi gesekan, tukikan (subduksi), atau benturan. Gerak lempeng itu memiliki pola yang tetap. Lempeng Australia-India, Afrika, dan Arabia, misalnya, senantiasa mendesak ke utara, ke arah Lempeng Eurasia. Desakan inilah yang menjadi sumber energi bagi peristiwa gempa bumi, di daerah sepanjang garis pertemuan antarlempeng, yang disebut Lingkar Thetys. "Sumatera, Jawa, hingga Nusa Tenggara juga berada pada jalur gempa Thetys ini," ujar Dr.Ir. Fred Hehuwat, geolog dari Lembaga Penelitian Geoteknologi-LIPI, Bandung. Lingkar gempa Thetys ini sangat panjang. Jalur ini memanjang mulai dari Portugal Selatan, Spanyol, Italia, terus ke timur melewati Turki, Iran, daerah selatan Uni Soviet, Himalaya, terus berbelok ke selatan menuju Burma. Dari situ jalur ini berlanjut menyusuri lepas pantai selatan Sumatera, Jawa, hingga Timor. Namun, tingkat ancaman gempa di sepanjang garis itu tidaklah sama. Daerah seperti Rusia Selatan dan Himalaya relatif lebih rawan ketimbang kawasan Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara. Pasalnya, menurut Prof. Katili, di daerah Rusia Selatan dan Himalaya, yang berbenturan adalah dua kontinen: daratan di utara jalur Thetys versus daratan di selatannya. Sedangkan di Indonesia yang berhadapan adalah kontinen, dalam hal ini Kepulauan Indonesia, dengan kerak Lautan Hindia. Sifat kontaknya pun berlainan. Di Rusia Selatan dan Himalaya yang terjadi adalah benturan, sementara di kontak di selatan Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara bersifat subduktif: Lempeng Australia menyusup ke bawah dan ditindih oleh Lempeng Eurasia. Subduksi itu, menurut Katili, terjadi pada jarak sekitar 200 km di lepas pantai selatan Sumatera-Jawa. Kondisi itu, konon, membuat gempa-gempa yang di pantai-pantai selatan Indonesia terhitung ringan, lantaran sumber gempa berada nun jauh di dalam perut bumi. Namun, tak berarti bahwa kontak yang bersifat penindihan itu tak bisa mendatangkan gempa besar. Di Jepang, penindihan Lempeng Eurasia terhadap Plat Pasifik sering mendatangkan gempa yang kuat. Soalnya, "Subduksi Lempeng Pasifik itu berada tak jauh dari garis pantai," tutur Prof. Katili. Kendati berada pada daerah rawan, gempa tak selalu menghadirkan musibah besar di Jepang. Gempa berkekuatan 6,9 pada skala Richter, yang menewaskan puluhan ribu penduduk Kota Lenikakan, Armenia, menurut Dr. Fred, tak akan menimbulkan akibat apa-apa di Jepang. "Mereka selalu membangun permukiman dengan struktur tahan gempa," katanya. Keadaan di Indonesia sulit dikatakan lebih baik dari Uni Soviet. Gempa berkekuatan 5,5 skala Richter, seperti terjadi di Bali 13 tahun lalu, ternyata mendatangkan akibat yang parah. Bahkan guncangan 5,1 Richter, seperti terjadi di Garut, Jawa Barat, beberapa tahun silam, juga menimbulkan kerusakan berat. "Kita belum memahami pentingnya bangunan tahan gempa," ujar Fred.Putut Tri Husodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum