Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Manekin

Manekin memperoleh ribuan dolar tanpa jerih payah. dia tidak bekerja seperti kita bekerja. masih memiliki sebuah kantor bisnis, seakan-akan perlu staf & manager. bekerja yang tidak melahirkan peradaban.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA tahu ia punya sebuah kantor bisnis, tapi saya tak pernah tahu bagaimana ia bekerja. la selalu nampak dl lobi hotel interkontinental itu, bersama anak muda sebayanya yang datang dan pergi, seakan-akan menikmati malam libur tiap dua hari sekali. Umur 35. Tampan, berdandan dengan kemeriahan manekin di etalase boutque. Seorang pernah membisikkan kepada saya bahwa penghasilannya 25.000 dolar sebulan. Ia tak berbicara tentang rupiah. Tetapi bagaimana sebenarnya ia dapat menghasilkan itu, saya tak pernah bisa membayangkan. Bahkan, terus terang, saya tak pernah membayangkan bahwa dia "bekerja" dalam arti seperti saya dan Anda bekerja. Dia bukan yuppies seperti yang disebut-sebut di Amerika itu, meskipun mungkin dia mengendarai BMW dan makan kaviar dan minum sampanye Dom Perignon dan menenggak Chivas Regal yang sudah tersimpan 12 tahun. Setidaknya, meskipun dia muda, meskipun dia orang kota besar, dia bukan profesional. Kelebihannya hanya: dia dilahirkan di keluarga yang tepat di saat yang tepat dan dengan koneksi yang tepat. Dia termasuk dari suatu kekuasaan atau posisi yang bisa menyebabkan orang datang dan memberikan uang. Ia mungkin bagian dari generasi yang tumbuh dalam dasawarsa ini. "Uang", kata sutradara Wall Street Oliver Stone, "adalah sex buat dasawarsa 80". Anak muda di lobi hotel yang berdandan seperti manekin itu barangkali juga termasuk yang dicemooh Oliver Stone: orang yang memandang jumlah ribuan angka dolar sebagai sesuatu yang bisa membuat orgasme. Tetapi apa arti jumlah ribuan dolar itu baginya, jika ia sebenarnya tak usah berjerih payah mencapainya? Yang pasti, semua itu bukan suatu "sukses". "Sukses" dalam arti yang lazim: suatu hasil, suatu imbalan, berupa kekuasaan serta prestise, yang berasal dari kerja. Dan kawan yang satu ini, seperti saya katakan tadi, tidak bekerja seperti kita bekerja. Dia lebih seperti Adam sebelum dipindahkan ke bumi. Di dekatnya ada sumber-sumber yang melimpah. Dan ia praktis tak perlu mohon izin kepada si pemilik sumber guna mendapatkan sebagian daripada keberlimpahan yang tersaji. Ia punya akses yang hampir tak dirintangi oleh apa saja. Yang menarik ialah bahha ia kemudian masih punya sebuah kantor bisnis. Ia seakan-akan perlu punya staf dan manager. Ia seakan-akan menganggap ini suatu lambang status atau atribut kekuasaan. Tapi barangkali lebih penting lagi, ia perlu hadir sebagai seorang yang "bekerja", seperti saya dan Anda, dan manusia umumnya bekera. Aneh, memang. Apa makna "bekerja" sebenarnya bagi dia? Apa makna "bekerja" bagi kita, sehingga seorang yang tak benar-benar memerlukannya untuk mendapatkan nafkah toh merasa harus juga untuk seakan-akan keluar keringat dan menyingsingkan lengan baju? Dia butuh kesibukan, kata seorang teman. Dia perlu kegiatan, ketimbang terusmenerus bergunjing di lobi hotel, kata seorang psikolog. Dia memang tak perlu uangnya, karena uang toh akan datang juga. Dia memang tak perlu berpura-pura, karena orang toh tak akan berani mengecamnya. Dia tak butuh kekuasaan dengan jadi bos di sebuah kantor bisnis, karena kekuasaan itu telah ada tanpa kantor sekalipun. Dia cuma perlu variasi. Jika begitu, mungkin ini fenomen baru zaman ini. "Bekerja" telah kehilangan maknanya yang sebenarnya, yakni suatu proses yang dilakukan manusia untuk menghasilkan nilai, tapi sekaligus juga sebuah proses yang mengandung desakan, bahkan sampai derajat tertentu ketidakbebasan: si buruh menyerahkan sebagian atau hampir seluruh kemerdekaannya kepada si majikan, dan si majikan tunduk kepada pasar, atau si manajer kepada perencanaan. Arbeit macht frei, kerja membuat kita merdeka, dan ucapan itu ada benarnya. Tapi kalimat itu dipasang Hitler di gerbang kamp konsentrasi Dachau. Tetapi justru dalam paradoks itulah, kerja -- dalam sejarah -- telah melahirkan peradaban. Barangkali karena di dalam proses bekerja, kita bisa merasakan desakan untuk merdeka dari eksploitasi maupun arus yang rutin, dan pada saat yang sama, dengan bekerja kita melihat bahwa dari tangan kita terlahir sesuatu yang punya harga. Sayangnya, hanya manusia biasa yang dapat mengalami paradoks seperti itu, dan mengatasinya. Manekin, tidak.Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum