Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jalur Ganda Vaksin Corona

Indonesia menempuh dua jalur untuk mendapatkan vaksin Coronavirus Disease 2019. PT Bio Farma dan PT Kalbe Farma bekerja sama dengan pembuat vaksin asal Cina dan Korea Selatan. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman memimpin pengembangan vaksin mandiri.

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Peneliti memisahkan cairan dari saluran pernapasan kelelawar untuk mendapatkan virus corona sebagai bahan penelitian vaksin di laboratorium penelitian di Surabaya,Jawa Timur, Februari 2020./ANTARA /Moch Asim
Perbesar
Peneliti memisahkan cairan dari saluran pernapasan kelelawar untuk mendapatkan virus corona sebagai bahan penelitian vaksin di laboratorium penelitian di Surabaya,Jawa Timur, Februari 2020./ANTARA /Moch Asim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pemerintah menempuh dua jalur pencarian vaksin Coronavirus Disease 2019.

  • Lembaga Biologi Molekuler Eijkman memimpin konsorsium pengembangan vaksin secara mandiri yang berjenis vaksin protein rekombinan.

  • PT Bio Farma bekerja sama dengan Sinovac Biotech dari Cina melakukan uji klinis dan memproduksi vaksin CoronaVac, sedangkan Kalbe Farma berkolaborasi dengan Genexine Inc dari Korea Selatan mengembangkan vaksin GX-19.

TUGAS baru menambah kesibukan Kusnandi Rusmil, 70 tahun. Profesor pediatrik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan dokter spesialis anak Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, itu mengepalai tim uji klinis vaksin CoronaVac buatan Sinovac Biotech Ltd asal Cina yang bekerja sama dengan PT Bio Farma (Persero). Meskipun ia telah terlibat 30 uji klinis vaksin, untuk vaksin Coronavirus Disease 2019 ini, pengujiannya terbilang luar biasa. “Sekarang dikejar waktu. Biasanya paling cepat sembilan bulan yang optimal,” kata Kusnandi, Rabu, 17 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kusnandi mengaku sudah langganan menguji vaksin produksi PT Bio Farma. Termasuk vaksin polio yang disuntikkan alias inactivated polio vaccine, yang jenisnya sama dengan CoronaVac karena berupa virus yang dinonaktifkan. Menurut dia, untuk mengembangkan vaksin dari tahap awal hingga tahap akhir produksi, biasanya membutuhkan waktu delapan tahun. “Bahkan ada yang perlu 13 tahun,” ujarnya. Adapun CoronaVac dikembangkan ilmuwan Cina sejak akhir Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

CoronaVac sukses melalui uji klinis fase I dan II di Cina. Pada uji klinis fase II yang melibatkan 600 relawan, vaksin itu diklaim berhasil menciptakan neutralizing antibody pada lebih dari 90 persen relawan. “Studi fase I/II kami menunjukkan bahwa CoronaVac aman dan bisa menghasilkan respons imun,” kata Chief Executive Officer Sinovac, Weidong Yin, dalam rilis persnya. CoronaVac juga sudah disetujui untuk dilakukan uji klinis fase III di Cina, di Brasil oleh Instituto Butantan, dan di Bandung oleh Bio Farma.

Kusnandi menargetkan 1.640 relawan untuk uji klinis itu. Syaratnya, relawan berusia 18 tahun ke atas dan lolos pemeriksaan kesehatan. Mereka mesti bebas dari gejala batuk dan pilek serta tidak berkontak langsung dengan pasien Covid-19 dalam dua minggu terakhir sebelum imunisasi. “Rencananya uji klinis dimulai pertengahan atau akhir Juli sesuai dengan kesiapan Bio Farma,” ujar Kusnandi, yang merekrut selusin dokter spesialis dan 30 dokter umum untuk memantau kondisi relawan.

Setelah disuntik dosis pertama, relawan harus diperiksa tiga hari kemudian. Pemeriksaan diulangi lagi tujuh hari kemudian. Pemeriksaan lanjutan dilakukan setelah 28 hari berselang yang diikuti dengan suntikan dosis kedua. “Saya tidak mau gagal, harus dengan kualitas terjaga jangan sampai buang waktu, tenaga, dan dana,” katanya. Agar relawan tak berhenti di tengah jalan, Kusnandi menyasar kenalannya, seperti pegawai rumah sakit, anggota staf fakultas dan universitas, serta guru besar dan dosen beserta keluarga.

Head of Corporate Communications Department PT Bio Farma Iwan Setiawan mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran sebagai pusat uji klinis. Adapun Laboratorium Mikrobiologi Unpad akan melakukan uji polymerase chain reaction (PCR) jika ada relawan yang terinfeksi Covid-19 pasca-imunisasi. “Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menjadi penguji netralisasi sampel darah subyek uji klinis,” ucapnya.

Menurut Iwan, CoronaVac akan diproduksi dan ditujukan untuk pasar Indonesia. Bila ada kelebihan kapasitas produksi, baru diekspor ke negara-negara Asia Tenggara. “Setidaknya produksi Bio Farma sebanyak 100-250 juta dosis vaksin Covid-19 per tahun,” kata Iwan dalam penjelasan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 24 Juni lalu. “Target produksinya pada kuartal pertama 2021. Dengan syarat uji klinis fase III, audit Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta nomor izin edar vaksin berjalan lancar,” ujarnya.

Selain bekerja sama dengan Sinovac, Bio Farma menjalin kerja sama dengan Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI). Menurut Neni Nurainy, Project Integration Manager, Research and Development Division PT Bio Farma, sama seperti Sinovac, Bio Farma akan mendapatkan bulk vaksin dari CEPI. Bulk vaksin adalah bahan aktif farmasi dari suatu vaksin. “Kami mengisi bulk vaksin ke wadah vial (botol kecil), pengemasan serta kendali mutu produk akhir,” kata Neni menjawab e-mail Tempo, Kamis, 2 Juli lalu.

CEPI adalah aliansi internasional pengembangan vaksin baru yang bermarkas di Oslo, Norwegia, yang didirikan oleh pemerintah Norwegia dan India, Bill & Melinda Gates Foundation, Wellcome Trust, serta World Economic Forum di Davos, Swiss, pada 2017. Saat ini, CEPI mendapat dukungan pendanaan dari Bill & Melinda Gates, Wellcome Trust, Komisi Eropa, serta pemerintah Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Ethiopia, Jerman, Jepang, Meksiko, Norwegia, dan Inggris.

Sampai saat ini, CEPI mendanai lima mitra pengembangan vaksin Covid-19 yang sudah memasuki tahap uji klinis, yakni Moderna Inc, Novavax Inc, University of Oxford-AstraZeneca, Inovio Inc, dan Clover Biopharmaceuticals. Menurut Neni, Bio Farma dan CEPI masih dalam tahap pemilihan platform yang sesuai dengan kapasitas Bio Farma. “Masih dalam penjajakan kandidat vaksin dari mitra CEPI mana yang nanti akan diproduksi massal,” ujarnya.

Menurut Neni, Indonesia punya posisi tawar yang tinggi untuk memperoleh vaksin dari produsen vaksin di luar negeri. “Indonesia memegang peran penting dalam perlindungan dunia terhadap penyakit infeksi karena penduduknya terbesar keempat di dunia,” katanya. “Indonesia juga memiliki Bio Farma sebagai produsen vaksin yang sudah memenuhi kualifikasi WHO dan satu-satunya produsen vaksin di Asia Tenggara,” Neni menambahkan.

Bukan hanya badan usaha milik negara yang berupaya mencari penangkal virus corona, tapi juga perusahaan farmasi swasta PT Kalbe Farma, yang telah membentuk anak usaha PT Kalbe Genexine Biologic. Anak perusahaan ini bergerak dalam riset dan pengembangan produk biologi dengan perusahaan Korea Selatan, Genexine Inc, sejak 2016. Menurut Direktur Utama PT Kalbe Farma Vidjongtius, Genexine mengundang perusahaannya menjadi mitra kolaborasi vaksin GX-19.

Menurut Vidjongtius, saat ini GX-19 tengah menjalani uji klinis fase I di Korea Selatan. Pada saat bersamaan, Kalbe berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Riset dan Teknologi, Badan Pengawas Obat dan Makanan, berbagai lembaga peneliti nasional, serta profesi kedokteran dan akademikus untuk mempersiapkan protokol uji klinis fase II di Indonesia sebagai pusat uji kedua. “Kami harapkan uji klinis fase II dapat dimulai di kuartal keempat 2020,” ujar Vidjongtius melalui surat elektronik, Jumat, 3 Juli lalu.

CoronaVac keluaran Sinovac yang diuji klinis bersama dengan Bio Farma./Sinovac Biotech Ltd

Kalbe Farma belum memiliki produksi vaksin. Namun Vidjongtius mengatakan, jika uji klinis GX-19 berjalan lancar, pabrik produk biologi Kalbe di Cikarang, Jawa Barat, akan ditambahkan dengan lini produksi vaksin. “Kapasitas produksinya belum dapat diperkirakan pada saat ini. Tapi tujuan Kalbe ikut konsorsium GX-19 ini adalah untuk memastikan Indonesia mendapatkan akses vaksin nanti setelah berhasil,” ucap Vidjongtius.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia melakukan pendekatan jalur ganda dalam pencarian virus Covid-19. “Track pertama, mengembangkan vaksin sendiri yang dipimpin Lembaga Eijkman,” kata Bambang dalam wawancara melalui video konferensi, Rabu, 1 Juli lalu. “Track kedua, kerja sama dengan pihak asing karena kita melihat vaksin ini solusi yang membantu pemulihan ekonomi juga.”

Menteri Bambang mengatakan track kedua dilakukan secara paralel oleh PT Bio Farma dan PT Kalbe Farma. “Kami tidak mau hanya bergantung pada satu sumber. Siapa yang cepat yang kita produksi. Yang penting vaksin Merah Putih tetap dapat tempat,” ucapnya. Bambang menyebutkan vaksin buatan Indonesia mendapat pendanaan Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 yang bersumber dari Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan.

Amin Soebandrio, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, membenarkan kabar bahwa lembaganya memimpin pengembangan vaksin secara mandiri dengan mendapat dana riset inovatif produktif sebesar Rp 5,2 miliar untuk tahun pertama. “Ya, Rp 5,2 miliar itu dana minimal. Idealnya dibutuhkan 10 miliar karena bahan-bahan dan hewan percobaan itu mahal. Dibutuhkan 10-20 ekor monyet yang harganya Rp 100 juta per ekor,” ujarnya.

Amin menyatakan kemajuan pengembangan virus telah mencapai 20 persen. Kalau dianalogikan bangunan, kata dia, 20 persen itu adalah fondasi dari keseluruhan bangunan. Tahap yang telah diselesaikan adalah pengurutan (sequencing) genom virus yang ada di Indonesia. “Lembaga Eijkman sudah mempunyai 10 virus yang semua genomnya sudah diurutkan. Targetnya 100 virus,” ucapnya.

Dari sequencing, kata Amin, diketahui bagian virus yang berperan dalam menginfeksi sel, yakni protein S (spike) dan protein N (nukleokapsida). “Dua minggu lalu, kami berhasil mengamplifikasi gen protein S dan gen protein N sebulan yang lalu,” tuturnya. “Tahap selanjutnya adalah cloning (memperbanyak) gen yang menyandi protein S dan N itu dengan cara memasukkannya ke sel mamalia, Chinese hamster ovary.” Antigen yang dihasilkan lalu dimurnikan sebagai kandidat vaksin jenis protein rekombinan.

Amin memperkirakan kandidat vaksin buatannya dapat mereka serahkan kepada PT Bio Farma pada Februari atau Maret 2021 agar dapat diuji klinis kepada manusia. “Untuk uji klinis berarti vaksinnya harus dibuat dulu. Yang bisa membuat adalah industri farmasi yang memiliki pedoman cara pembuatan obat yang baik,” ujar profesor mikrobiologi klinis dari Universitas Indonesia tersebut.

Dokter spesialis penyakit dalam dan vaksinolog lulusan University of Siena, Italia, Dirga Sakti Rambe, menanggapi cara pengembangan vaksin yang dikebut tersebut. Menurut dia, tidak ada satu pun orang yang dapat memastikan efektivitas vaksin, apalagi untuk penyakit baru, sebelum vaksin digunakan secara luas. “Efektivitasnya baru diketahui setelah dipakai ratusan ribu orang,” kata Dirga, yang memprediksi efektivitas vaksin corona tahap awal cuma 50-an persen.

Dirga merujuk pada sejarah pengembangan vaksin di dunia yang rata-rata membutuhkan 10-15 tahun. “Ada satu vaksin yang relatif cepat dikembangkan, yakni vaksin mumps atau gondongan, yang 3-4 tahun,” ujarnya. Dirga juga mengingatkan tingkat kesuksesan pengembangan vaksin selama ini adalah 10 persen. Artinya, kata dia, kalau ada 100 kandidat vaksin, hanya akan ada 10 vaksin yang benar-benar efektif.

Lama pengembangan vaksin dari nol, menurut Dirga, sangat bergantung pada kapasitas laboratorium dan pabrik serta hasil dari tiap tahapan. Ia menjabarkan, untuk penyiapan antigen, butuh 3-6 bulan. Uji klinis yang normalnya 2-3 tahun bisa dipersingkat menjadi 9-12 bulan. “Jika vaksinnya aman dan efektif, dapat diproduksi massal, yang butuh 1-2 tahun lagi. Prediksi yang masuk akal, vaksin buatan sendiri itu baru diproduksi pada awal 2022,” ujarnya.

Baik Iwan Setiawan maupun Vidjongtius tidak dapat memperkirakan harga satu dosis vaksin Covid-19 yang kelak mereka produksi. Yang pasti, kata Iwan, harganya tak akan memberatkan masyarakat. Vidjongtius menekankan, vaksin ini harus bisa terjangkau masyarakat seluas-luasnya. Adapun Dirga memprediksi harga vaksin Covid-19 dari produsen mencapai US$ 10 per dosis. “Ini sangat mahal dan harus ditekan karena harga yang ideal itu US$ 1,” ucap Dirga.

DODY HIDAYAT, GABRIEL WAHYU TITIYOGA, NUR ALFIYAH, MAHARDIKA SATRIA HADI, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus