Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kabar Muram dari Yaman

Setelah lebih dari lima tahun, perang Yaman belum menunjukkan tanda akan berakhir. Korban terparah adalah anak-anak.

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ibu membawa anaknya untuk menjalani perawatan akibat malnutrisi selama perang Yaman, di Hodeidah, Yaman, November 2018./Reuters/Ahmed Yosri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Setelah lebih dari lima tahun, perang Yaman belum ada tanda-tanda akan berakhir.

  • Dua juta anak di bawah usia lima tahun menderita kekurangan gizi.

  • Hampir 3.500 anak-anak diculik dan dipaksa berperang.

MOHAMMED Moharram Sa'ad al-Oshari bersama istri dan dua anaknya semula tinggal di kamp pengungsian di Provinsi Al-Jawf, sekitar 190 kilometer dari Sana'a, ibu kota Yaman. Saat daerah itu menjadi medan perang barisan pemberontak Houthi melawan pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi, mereka pindah ke kamp di selatannya, di Provinsi Marib. Seperti banyak pengungsi lain, mereka hidup dari bantuan makanan melalui Program Pangan Dunia (WFP).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bantuan itu ternyata tidak memadai untuk keluarga Sa'ad. Ketika ada kunjungan dari tim kesehatan keliling, dua putrinya, Arwa, 14 bulan, dan Bulqis al-Oshari, 2 tahun, diketahui mengalami malnutrisi parah. "Jika tidak ada perang, kami bisa berada di rumah sekarang," kata Sa’ad kepada tim dari UNICEF, badan dunia yang menangani anak-anak. "Lima tahun perang ini berdampak parah pada kami."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Kepala Bidang Komunikasi dan Advokasi UNICEF Yaman Bismarck Swangin, saat diperiksa tim medis, kondisi fisik Arwa dan Bulqis lemah meskipun stabil. "Matanya pucat, pertanda anemia," ucapnya kepada Tempo melalui surat elektronik, Kamis, 2 Juli lalu. Keduanya lantas dirawat, mendapat terapi makanan, dan diberi suplemen vitamin A. "Tim nutrisi terus memantau pemulihan mereka."

Apa yang menimpa Arwa dan Bulqis merupakan kondisi yang banyak dialami anak-anak Yaman sebagai akibat perang sipil. Kini mereka pun berada di bawah ancaman baru pandemi Covid-19. Perang yang kini memasuki tahun keenam itu tak hanya menewaskan lebih dari 100 ribu orang, tapi juga menciptakan bencana kemanusiaan terburuk di dunia. Lebih dari 3 juta orang telantar di negara sendiri dan dua pertiga populasinya bergantung pada bantuan makanan untuk bertahan hidup.

Perang Yaman bermula pada 2014, saat pemberontak Houthi, kelompok Syiah yang didukung Iran, menyerbu Sana'a dan sebagian besar daerah di Yaman utara. Serangan ini memaksa pemerintah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi lari ke pengasingan. Koalisi pimpinan Saudi yang didukung Amerika Serikat mengerahkan militer pada tahun berikutnya untuk memulihkan pemerintahan Hadi.

Meski sudah berlangsung lebih dari lima tahun, belum ada tanda jelas kapan perang akan berakhir. Pemimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa berseru agar lebih banyak tekanan kepada pihak yang bertikai supaya melakukan gencatan senjata. "Rakyat Yaman sangat menderita dan Covid-19 memperburuk situasi mereka," ujar Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam wawancara dengan The Associated Press, Selasa, 23 Juni lalu.

Konfrensi pers Koalisi Arab Saudi mengenai perkembangan Perang Yaman di Riyadh, Arab Saudi, 2 Juli 2020./Reuters/Ahmed Yosri

Utusan PBB untuk Yaman, Martin Griffiths, mendesak koalisi pimpinan Saudi dan kelompok Houthi cepat menyelesaikan perbedaan atas langkah-langkah kemanusiaan dan ekonomi untuk mendorong upaya perdamaian dan membantu negara melawan pandemi. Para diplomat menekankan bahwa perjanjian damai perlu disepakati bukan hanya oleh pemerintah dan Houthi, tapi juga oleh kelompok separatis di selatan dan utara.

Bukan hanya Houthi yang harus ditangani koalisi pimpinan Saudi, tapi juga Dewan Transisi Selatan yang didukung Uni Emirat Arab. Akhir Juni lalu, koalisi Saudi menyatakan setuju melakukan gencatan senjata dengan Dewan Transisi. Yaman Selatan merupakan negara yang merdeka pada 1967 hingga bersatu dengan Yaman Utara pada 1990. Dewan Transisi berharap bisa mengembalikan Yaman Selatan seperti kondisi sebelumnya.

Dalam laporan berjudul “Yemen five years on: Children, conflict and Covid-19” yang dirilis pada 26 Juni lalu, UNICEF menggambarkan dampak kejam perang terhadap anak-anak. Konflik bersenjata ini menyebabkan sistem kesehatan hancur sehingga hanya setengah dari total fasilitas kesehatan yang beroperasi. Lainnya mengalami kekurangan obat-obatan, peralatan, dan staf. Sampai 2019, gaji petugas kesehatan belum dibayar hampir tiga tahun dan bahkan sekarang banyak yang tidak menerima apa-apa atau hanya mendapat uang saku sangat kecil. Sekitar 18 persen dari 333 distrik di negara itu tidak punya dokter.

Yaman, menurut UNICEF, dilanda salah satu krisis pangan terburuk di dunia. Pada 2019 saja, sebanyak 15,9 juta orang membutuhkan bantuan pangan dan mata pencarian yang mendesak. Dua juta anak di bawah usia lima tahun menderita kekurangan gizi, termasuk sekitar 325 ribu yang menderita kekurangan gizi akut yang mengancam jiwa. Hampir separuh dari total anak berusia di bawah lima tahun mengalami pertumbuhan yang terhambat akibat kekurangan gizi kronis yang membuat mereka terlalu pendek untuk orang seusia mereka dan menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada perkembangan kognitifnya.

Ketersediaan air bersih dan sanitasi yang buruk di Yaman juga meningkatkan risiko penyakit. Sekitar 9,58 juta anak-anak ditaksir tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi. Pada April 2017, Yaman menderita wabah kolera terburuk di dunia. Penyakit ini masih terus menyebar dan secara keseluruhan ada sekitar 2,39 juta orang yang terpapar dengan lebih dari 3.795 orang meninggal. Seperempat dari mereka yang menjadi korban adalah anak-anak berusia di bawah lima tahun.

"Menurut proyeksi terbaru oleh Johns Hopkins University, yang diterbitkan di jurnal Lancet Global Health, ada tambahan 6.600 anak berusia di bawah lima tahun yang bisa meninggal akibat pemicu yang sebenarnya dapat dicegah pada akhir tahun, alias ada peningkatan 28 persen. Itu fakta yang menyedihkan," kata Bismarck Swangin.

Ekonomi yang hancur dan sulit juga membuat anak-anak menjadi rentan, termasuk dinikahkan pada usia dini. Menurut UNICEF, sejak konflik meningkat, ada tren kenaikan jumlah pernikahan anak. Dua pertiga perempuan berusia di bawah 18 tahun menikah pada 2017, naik dari sebesar 52 persen pada 2016. Salah satu korbannya adalah Amina, yang dipaksa menikah ketika masih anak-anak dan sekarang telah bercerai.

Amina keluar dari sekolah saat berusia 11 tahun. Ia tinggal bersama keluarganya di pinggiran Kota Aden. Ayahnya, yang bekerja sebagai sopir, menikahkan Amina saat ia berusia 16 tahun dengan seorang lelaki berusia 30-an tahun yang memiliki sedikit uang. Setelah mengalami kekerasan hebat dari suaminya, Amina kembali ke rumah dan keluarganya berhasil menegosiasikan perceraiannya.

Perang berkepanjangan di Yaman juga menyeret anak-anak terlibat secara langsung, seperti yang dialami Ali. Ia meninggalkan bangku sekolah pada usia 11 tahun. Anak kelima dari tujuh bersaudara itu bekerja serabutan untuk membantu keluarganya. "Saya melihat keluarga saya sangat miskin. Mereka hidup dalam kondisi yang buruk sehingga saya ingin pergi dan mencari nafkah," tutur Ali kepada tim UNICEF. Niat itulah yang membuatnya tertarik pada tawaran bertugas di garis depan pertempuran.

Ali menghabiskan enam bulan bersama pasukan yang didukung koalisi Saudi sampai akhirnya dia dijebloskan ke penjara di Sana'a sebelum dikirim ke pusat penampungan sementara. Sebagai bagian dari upaya mengakhiri perekrutan anak-anak, Ali ditampung di pusat perawatan sementara yang didukung UNICEF. Dia lantas menerima perawatan psikologis dan kembali bersekolah.

PBB mencatat, jumlah anak-anak yang terlibat dalam pertempuran cukup banyak. Sejak Maret 2015, ada 3.467 anak yang direkrut untuk terlibat dalam pertempuran, 98 persen di antaranya laki-laki. Mereka dipaksa bertempur, berpatroli di pos pemeriksaan, dan bekerja sebagai penjaga. Badan dunia itu juga memverifikasi setidaknya 441 anak telah diculik, 435 di antaranya laki-laki. Mayoritas dari mereka dipaksa terlibat dalam pertempuran. PBB juga menemukan 3.153 anak-anak terbunuh dan 5.660 lainnya terluka.

Anak-anak, kata UNICEF, sering terbunuh atau terluka di tempat-tempat mereka seharusnya dilindungi, termasuk rumah, sekolah, dan fasilitas medis. Sebanyak 219 sekolah dan 142 rumah sakit diserang dalam lima tahun terakhir. Dua fasilitas umum itu juga sering terseret ke dalam konflik karena diambil untuk keperluan militer. PBB telah memverifikasi 199 sekolah dan 23 rumah sakit yang diambil alih untuk keperluan militer.

UNICEF memperkirakan kondisi buruk yang dialami anak-anak makin parah karena dana bantuan internasional berkurang. Pada saat yang sama, ada ancaman tambahan dari pandemi Covid-19. Menurut data Worldometer, hingga Jumat, 3 Juli lalu, Yaman mencatat 1.221 kasus Covid-19 dan 325 korban meninggal. "Konflik yang berkelanjutan dan sekarang adanya kendala pendanaan di tengah Covid-19 menimbulkan ancaman yang lebih besar bagi anak-anak daripada sebelumnya," ujar Swangin.

Bantuan internasional memang turun drastis. Dalam sebuah konferensi virtual untuk Yaman yang diselenggarakan Amerika Serikat dan Arab Saudi pada 2 Juni lalu, hanya 31 donor yang menjanjikan bantuan kemanusiaan senilai US$ 1,35 miliar, kurang US$ 1 miliar dari yang dibutuhkan lembaga bantuan dan hanya setengah dari jumlah yang dijanjikan para donor pada 2019.

Dalam konferensi itu, Arab Saudi menjanjikan bantuan senilai US$ 500 juta, termasuk US$ 25 juta untuk membantu memerangi Covid-19. Saudi dikritik keras oleh kelompok-kelompok hak asasi internasional karena keterlibatannya dalam perang mematikan itu. Inggris, yang menjual senjata kepada pasukan koalisi, dan Jerman masing-masing mengumumkan bantuan senilai US$ 201 juta dan US$ 140 juta. Amerika, yang juga mendukung koalisi, berjanji memberikan bantuan darurat senilai US$ 225 juta.

Menurut Swangin, komunitas internasional perlu berbuat lebih banyak untuk mencegah situasi Yaman memburuk. "Itulah sebabnya kami memperingatkan bahwa kecuali ada upaya yang segera dilakukan, ada tambahan 30 ribu anak yang bisa mengalami malnutrisi akut berat yang mengancam jiwa selama enam bulan ke depan. Jumlah keseluruhan anak-anak kurang gizi di bawah usia lima tahun dapat meningkat menjadi total 2,4 juta, setengah dari total balita di negara ini," ucapnya.

Tambahan bantuan dana itu sangat diperlukan untuk membantu negara miskin dengan populasi 28 juta jiwa tersebut. Menurut taksiran Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), perang ini menyebabkan sekitar 24 juta penduduk memerlukan berbagai bentuk bantuan atau perlindungan. Bagi Swangin, yang tak kalah penting kini adalah mendesak pihak yang bertikai segera mengakhiri perang. "Perdamaian adalah solusi utama untuk krisis," tuturnya.

ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, REUTERS)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus