Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Dua Situs Aborigin Berusia Ribuan Tahun Ditemukan di Bawah Air

Aborigin modern masih menganggap lingkungan laut ini sebagai tempat suci dan sekarang dikenal sebagai 'Negara Laut'.

4 Juli 2020 | 10.01 WIB

Dua orang perempuan anggota komunitas Aborigin ambil bagian dalam tarian upacara asap pada perayaan Hari Australia di Sydney, 26 Januari 2018. Upacara asap adalah kebiasaan suku Aborigin kuno yang dikatakan memiliki sifat penyembuhan dan pembersihan serta membantu mengusir roh jahat AP
material-symbols:fullscreenPerbesar
Dua orang perempuan anggota komunitas Aborigin ambil bagian dalam tarian upacara asap pada perayaan Hari Australia di Sydney, 26 Januari 2018. Upacara asap adalah kebiasaan suku Aborigin kuno yang dikatakan memiliki sifat penyembuhan dan pembersihan serta membantu mengusir roh jahat AP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dua situs Aborigin berusia 8.500 tahun ditemukan di lepas pantai Australia Barat. Para arkeolog menemukan alat-alat batu dan bukti tempat tinggal manusia di lepas pantai Pilbara yang menjadi situs Aborigin pertama yang ditemukan di bawah air. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyelam menemukan dua situs bawah laut melalui serangkaian survei di Kepulauan Dampier di lepas pantai itu. Peneliti berharap, situs-situs tersebut, di Cape Bruguieres dan Flying Foam Passage, dapat memberikan wawasan tentang cara hidup masyarakat Aborigin sejak saat dasar laut itu adalah tanah kering.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dijelaskan kalau permukiman gua itu dulunya berada di tanah padat (terra firma), tapi tenggelam saat permukaan laut melonjak setelah zaman es terakhir. Aborigin modern masih menganggap lingkungan laut ini sebagai tempat suci dan sekarang dikenal sebagai 'Negara Laut'.

Chelsea Wiseman, yang telah mengerjakan proyek itu sebagai bagian dari penelitian doktoralnya di Flinders University, Australia, mengatakan, "Pada satu titik akan ada tanah kering yang membentang sejauh 100 kilometer dari garis pantai saat ini." Tanah itu sejatinya akan dimiliki dan dihidupi oleh generasi orang Aborigin berikutnya.

Penemuan Wiseman menunjukkan bahwa arkeologi bawah laut tetap terjaga meski ditenggelamkan laut. Diduga, ada lebih banyak bukti kehidupan Aborigin masala lalu di perairan yang lebih dalam di lepas pantai itu.

Para penyelam memetakan sebanyak 269 artefak, termasuk peralatan dan batu gerinda, di Cape Bruguieres di perairan dangkal dengan kedalaman sekitar 2,4 meter. Penanggalan radiokarbon dan analisis perubahan permukaan laut menunjukkan situs itu berusia setidaknya 7.000 tahun.

Situs kedua di Flying Foam Passage termasuk mata air air tawar dengan kedalaman 14 meter. Situs ini diperkirakan berusia setidaknya 8.500 tahun. Namun, usia sebenarnya dari situs bisa lebih tua, karena teknik yang dilakukan hanya memberikan usia minimum.    

Profesor Jonathan Benjamin dari Flinders University mengatakan, Australia adalah benua besar tapi hanya sedikit orang yang menyadari bahwa lebih dari 30 persen daratannya telah ditenggelamkan oleh laut setelah zaman es terakhir. "Ini berarti bahwa sejumlah besar bukti arkeologis yang mendokumentasikan kehidupan orang Aborigin sekarang berada di bawah air," kata dia.

Sekarang, Benjamin berujar, dirinya akhirnya memiliki bukti pertama bahwa setidaknya bukti arkeologis itu selamat dari proses kenaikan permukaan laut. Tim peneliti menggunakan model komputer untuk memprediksi di mana situs-situs itu berada dan memeriksa lokasi dengan berbagai teknik penginderaan bawah air dan jarak jauh.

Tim peneliti mengatakan bahwa penemuan situs menekankan perlunya undang-undang yang lebih kuat untuk melindungi dan mengelola warisan bawah laut di Australia. Para ahli mengatakan ada dua juta kilometer persegi tanah yang pernah berada di atas permukaan laut dan mungkin memberikan wawasan besar tentang sejarah manusia.

"Arkeologi pantai kuno tidak hilang untuk selamanya, kami hanya belum menemukannya. Penemuan-penemuan baru ini adalah langkah pertama menuju penjelajahan perbatasan nyata terakhir arkeologi Australia," kata Benjamin mengomentari penelitian yang diterbitkan dalam jurnal PLOS One itu.

DAILY MAIL | PLOS ONE

Zacharias Wuragil

Zacharias Wuragil

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus