Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekelompok ilmuwan membuat sel punca (stem cell) tumbuh menjadi embrio sintetis tikus yang bahkan mampu mulai mengembangkan organ jantung dan otaknya, mirip seperti embrio yang asli atau alami. Hasil eksperimen ini telah dipublikasi dalam jurnal Nature pada Kamis, 25 Agustus 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Embrio buatan laboratorium itu, yang dibentuk tanpa sel telur ataupun sperma dan diinkubasi dalam vial kaca di sebuah alat yang berputar dengan cepat, bertahan sampai 8,5 hari. Itu hampir separuh periode kehamilan tikus pada umumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang periode itu, sebuah kantong rahim dikembangkan di sekeliling embrio sintetis itu sebagai penyuplai nutrisi. Embrio itu sendiri teramati mengembangkan sistem pencernaannya; tabung saraf, atau permulaan dari sistem saraf pusat; jantung yang berdenyut; dan otak dengan subseksi yang cukup jelas, termasuk otak depan dan tengah.
"Ini sudah menjadi impian bertahun-tahun dan fokus besar eksperimen kami selama satu dekade, dan akhirnya, kami telah melakukannya," ujar anggota tim eksperimen embrio sintetis itu, Magdalena Zernicka-Goetz, profesor biologi stem cell dan perkembangan mamalia yang bekerja di laboratorium University of Cambridge, Inggris, juga California Institute of Technology, Pasadena, AS.
Hasil eksperimen itu memberikan hasil yang juga sangat mirip dengan studi sebelumnya yang dipublikasi di jurnal Cell pada 1 Agustus 2022. Studi itu dipimpin oleh Jacob Hanna, ahli biologi stem cell embrionik di Weizmann Institute of Science di Israel. Hanna juga terlibat dalam tim peneliti dengan eksperimen yang terbaru bersama Zernicka-Goetz.
Dalam laporan hasil penelitiannya yang terdahulu, Hanna dan timnya menggunakan awalan stem cell yang berbeda tapi inkubator yang sama untuk kultur embrio tikus buatan selama 8,5 hari. Selama 8,5 hari itu pula, embrio-embrio bikinan Hanna dan timnya juga sudah sempat mengembangkan sistem pencernaan, jantung yang berdetak, dan organ otak mungil sebelum akhirnya mati.
Awalan yang berbeda dalam eksperimen Hanna dkk dilakukan dengan membuat stem cell ke dalam kondisi 'naif-nya', sebuah kondisi dari mana mereka akan mampu berubah ke dalam jenis sel apapun, misalnya sel jantung, otak atau usus. Dari sana, tim penelitinya membagi sel-sel naif itu ke dalam tiga kelompok.
Dalam kelompok pertama, mereka mengaktifkan gen-gen untuk membentuk plasenta, dan dalam kelompok yang lain, mereka mengaktifkan gen-gen untuk membuat kantong kuning telur. Dalam kelompok terakhir dibiarkan untuk berkembang menjadi embrio.
Adapun penelitian oleh Zernicka-Goetz dan timnya memulai sudah dengan tiga jenis stem cell yang ditemukan dalam fase awal hidup mamalia, ketimbang memulainya dengan hanya sel-sel naif. Satu tipe stem cell berkembang menjadi embrio, sedangkan dua lainnya berubah menjadi jaringan plasenta dan kantong rahim.
Sepanjang eksperimen mereka mengamati bagaimana ketiga jenis stem cell berinteraksi, saling bertukar pesan kimia dan secara fisik saling dorong dalam vial kaca di mesin inkubator. Menurut para penelitinya, mempelajari aksi reaksi yang terjadi tersebut dapat memberi petunjuk tentang bagaimana tahapan paling awal dari perkembangan embrionik terjadi pada manusia--dan apa yang terjadi ketika segala sesuatunya berkembang keliru.
"Periode awal dari kehidupan manusia begitu misterius, jadi dengan mampu melihat bagaimana ini terjadi dalam sebuah cawan--untuk memiliki akses kepada masing-masing stem cell ini, untuk memahami mengapa ada begitu banyak kehamilan yang gagal dan bagaimana kita mungkin mampu mencegah kegagalan itu--adalah sesuatu yang sangat spesial," kata Zernicka-Goetz.
Dia menambahkan, "Kami mengamati komunikasi yang harus terjadi di antara jenis-jenis stem cell yang berbeda pada saat itu--kami telah menunjukkan bagaimana itu terjadi dan bagaimana itu bisa bermasalah."
Dalam kedua studinya, embrio-embrio sintetis yang dihasilkan mendekati embrio yang alami, meski dengan beberapa perbedaan dan kekurangan kecil dalam bagaimana jaringan bisa teroganisir sendiri. Namun demikian, dalam kedua eksperimen, proporsi yang sangat rendah dari stem cell saja bisa berkembang menjadi embrio, yang memberi dugaan kalau efisiensi dari kedua sistem bisa lebih diperbaiki.
Sebagai tambahan, tidak satupun perkembangan embrio sintetis itu yang bertahan sampai hari kesembilan. Sebuah tantangan, yang menurut para penelitinya, harus dijawab dalam studi-studi lanjutan.
"Kenapa tak bisa berkembang lebih jauh masih belum jelas, tapi mungkin berelasi kepada cacat formasi beberapa tipe sel placenta seperti yang ada dalam laporan studi itu," kata James Briscoe, Wakil Direktur Bidang Riset di Francis Crick Institute, Inggris. Dia tidak terlibat dalam kedua eksperimen.
Riset juga memunculkan pertanyaan soal etika tentang bagaimana dan sepeti apa teknologi ini mungkin diaplikasi ke sel manusia di masa depan.
LIVESCIENCE, CAMBRIDGE